Makna Kehadiran Manusia dalam Dilema Media Sosial: Refleksi Teologis dan Antropologis

0
3 views
Keberadaan manusia di tengah gencarnya arus komunikasi via medsos. (Ist)

DI era digital yang kian kompleks, kehadiran manusia mengalami transformasi yang mendalam. Media sosial telah menjadi ruang baru di mana identitas, eksistensi, dan relasi dibentuk, dimodifikasi, dan dipersepsikan.

Di tengah realitas ini, kita perlu kembali bertanya secara mendasar: Apa makna sejati kehadiran manusia, khususnya dalam terang iman dan spiritualitas Kristiani?

Landasan Teologis: Allah yang Maha Hadir

Pemahaman tentang kehadiran manusia berakar pada refleksi mengenai kehadiran Allah sendiri, yang terungkap dalam misteri Trinitas:

  • Allah Bapa hadir melampaui ruang dan waktu, sebagai Pencipta dan asal segala sesuatu – dasar ontologis dari seluruh keberadaan.
  • Allah Putera, Yesus Kristus, hadir secara inkarnatif di dalam sejarah manusia dua ribu tahun lalu. Dalam Dia, Allah menyentuh realitas manusiawi secara utuh.
  • Allah Roh Kudus hadir menembus batas fisik dan historis, menopang kehidupan serta persekutuan umat beriman sepanjang masa.

Trinitas menyingkapkan bahwa Allah adalah Pribadi yang senantiasa hadir — penuh, otentik, dan menyelamatkan. Kehadiran ini menjadi acuan utama bagi pemahaman kehadiran manusia. Yesus Kristus, Sang Putera, adalah teladan kehadiran yang sejati: kehadiran yang menyapa, mengasihi, dan membebaskan, bukan sekadar “tampil” atau “terlihat”.

Tantangan kehadiran di dunia media sosial

Media sosial membuka peluang luar biasa untuk menghadirkan diri melampaui batas ruang dan waktu. Kita bisa berinteraksi lintas benua, menyuarakan ide, bahkan membangun jejaring solidaritas global. Namun, kehadiran virtual tidak pernah sepenuhnya mewakili keutuhan dan kompleksitas diri manusia. Apa yang kita tampilkan di ruang digital selalu parsial, terkurasi, dan terfragmentasi.

Ada dua sisi dilema yang patut disadari:

Refleksi antropologis dan relevansi bagi kaum religius dan umat kristiani

Dalam terang iman, kehadiran manusia bukan sekadar eksistensi fisik atau visual. Kehadiran sejati berakar pada kasih, keterbukaan, dan relasi dengan Allah serta sesama. Media sosial dapat menjadi sarana menghadirkan nilai-nilai itu, tetapi menuntut kesadaran akan batas-batasnya.

Pertanyaan yang perlu kita renungkan:

  • Apa yang layak dan bijaksana untuk saya tampilkan di ruang virtual?
  • Apakah kehadiran saya di media sosial mencerminkan nilai Injili dan semangat pelayanan?
  • Bagaimana menjaga otentisitas di tengah budaya digital yang serba instan dan dangkal?

Di dunia di mana “kehadiran” bisa direkayasa dan dimanipulasi, kita dipanggil untuk kembali pada Sumber Kehadiran Sejati, yaitu Allah sendiri. Dari relasi dengan-Nya, kita belajar menghadirkan diri secara utuh, bijak, dan otentik – termasuk di ruang digital.

Dengan demikian, media sosial tidak hanya menjadi tempat “menampilkan diri,” tetapi juga medan kesaksian iman. Di sanalah kita bisa membawa terang kasih Allah melalui kehadiran yang jujur, terbatas namun bermakna.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here