MANUSIA adalah satu-satunya makhluk yang bisa tawar-menawar.
Seekor monyet tidak akan pernah mau menukar sebagian pisangnya dengan kacang milik monyet lain. Tetapi manusia berbeda. Kita punya kemampuan unik untuk bernegosiasi, berdialog, dan mencari titik temu.
Namun, kalau kita jujur, di balik segala teori bisnis, strategi pemasaran, atau rumus matematika yang membungkus proses tawar-menawar, inti kita tetaplah manusia yang digerakkan oleh sesuatu yang lebih dalam.
Kita sering bertindak bukan semata karena logika, melainkan karena rasa takut, kebutuhan, persepsi, dan keinginan tersembunyi yang kadang tidak kita sadari.
Di dunia usaha, hal ini sangat terasa. Seorang pengusaha mungkin terlihat percaya diri saat menutup kesepakatan besar, tetapi bisa jadi ada rasa takut kehilangan di dalam dirinya.
Seorang profesional mungkin tampak rasional mengambil keputusan, tetapi sesungguhnya sedang memenuhi kebutuhan akan pengakuan, rasa aman atau makna.
Di sinilah iman kita memberi arah. Firman Tuhan mengingatkan: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” (Markus 8:36)
Ayat ini menegaskan bahwa negosiasi terbesar dalam hidup kita bukan soal harga, saham, atau keuntungan.
Negosiasi terbesar adalah antara hati kita dengan Tuhan.
- Apakah kita hanya menukar rasa takut dengan kenyamanan semu?
- Atau kita berani menyerahkan diri kepada-Nya dan mendapatkan damai sejati?
Sebagai pemimpin Katolik, kita diajak untuk menyadari bahwa setiap tawar-menawar dalam bisnis sejatinya adalah latihan spiritual: bagaimana kita belajar jujur, adil, berbelarasa, dan menghormati martabat sesama.
Pada akhirnya, tujuan kita bukan sekadar “menang” dalam negosiasi, melainkan menghadirkan Kerajaan Allah di dunia usaha – tempat di mana keadilan, kasih, dan kebenaran bisa dirasakan.
Maka, marilah kita membawa iman, harapan, dan kasih dalam setiap proses bisnis yang kita jalani. Karena sesungguhnya, hanya dengan itu tawar-menawar kita tidak berhenti pada angka, tetapi menyentuh hati, dan menjadi berkat bagi banyak orang.