Minggu, 4 Mei 2025
Kis. 5:27b-32,40b-41.
Mzm. 30:2,4,5,6,11,12a,13b; Why. 5:11-14.
Yoh. 21:1-19
DALAM kehidupan sehari-hari, kita sering berjumpa dengan dua jenis orang: mereka yang selalu berkata manis dan menyenangkan, dan mereka yang berkata dengan jujur dan sungguh-sungguh, meskipun kadang terdengar keras.
Secara alami, kita lebih tertarik kepada yang pertama. Kata-kata manis membuat hati kita nyaman dan merasa diterima. Namun, seiring waktu, kita bisa merasa hampa jika ternyata kata-kata itu tidak lahir dari hati yang tulus.
Persahabatan yang sejati tidak dibangun atas dasar kepura-puraan, melainkan atas dasar kejujuran dan kesungguhan hati.
Orang yang berani berkata jujur kepada kita, walaupun kadang menyakitkan, adalah orang yang sebenarnya peduli. Ia tidak ingin kita berjalan dalam kesalahan atau hidup dalam ilusi. Ia lebih memilih melukai ego kita sebentar demi menyelamatkan jiwa kita dalam jangka panjang.
Yesus ingin kita juga menjadi pribadi yang demikian: jujur, tulus, dan sungguh-sungguh dalam berkata dan bertindak.
Dalam dunia yang penuh kepalsuan, orang yang berkata dengan kesungguhan adalah terang yang menunjukkan jalan.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
Yesus bertanya tiga kali kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?”
Dan pada akhirnya, Petrus yang pernah menyangkal-Nya tiga kali hanya bisa berkata, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Sebuah pengakuan yang lahir dari hati yang remuk, namun tulus.
Yesus tidak menuntut Petrus untuk membuktikan kasih itu dengan janji-janji besar atau kata-kata puitis. Sebaliknya, Yesus memberikan satu perintah yang sederhana namun penuh makna: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
Artinya, kasih sejati kepada Yesus tidak cukup hanya diucapkan, kasih itu harus diterjemahkan dalam tindakan nyata: melayani, merawat, dan memperhatikan orang-orang yang dipercayakan kepada kita.
Yesus tahu siapa Petrus. Ia tahu masa lalunya, kelemahannya, bahkan pengkhianatannya. Tapi Yesus juga tahu isi hati Petrus. Dan karena kasih itu sungguh ada, Yesus mengutusnya.
Inilah keindahan relasi dengan Tuhan: Ia tidak menuntut kesempurnaan, tetapi kesungguhan. Dan dari kesungguhan itu, Ia memanggil kita untuk ambil bagian dalam karya kasih-Nya.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku mencintai Yesus dengan segenap hati?