Merawat Demokrasi

0
0 views
Ilustrasi - Democrazy. (Ist)

DEMOKRASI lahir dari kehendak untuk memastikan kepentingan semua orang terjamin. Demokrasi dimulai dengan demokrasi langsung di mana laki-laki merdeka di Polis-polis (kota-kota) Yunani berkumpul di alun-alun kota untuk mengambil keputusan bersama tiap kali ada permasalahan yang perlu diselesaikan.

Pada masa kejayaan Romawi, bentuk demokrasi ini diikuti dengan munculnya Senat Kerajaan untuk menjamin tersampaikannya aspirasi rakyat kepada Kaisar.

Pada abad pertengahan, demokrasi terwujud dengan pembatasan kekuasaan Raja. Hal ini tampak misalnya di dalam Piagam Magna Carta milik kerajaan Inggris (1215). Di sana salah satunya dikatakan, “The King is not above the law.”

Pemikir politik seperti John Locke, Montesquieu, dan Jean-Jacques Rousseau di abad ke 17 menyatakan tentang kontrak sosial, sebuah konsep yang menggambarkan bahwa kekuasaan tetap ada di tangan rakyat. Pemimpin hanya layak dipertahankan sejauh memenuhi kehendak rakyat.

Di sana mulai dikenal Trias Politika (Eksekutif, Yudikatif, Legislatif) guna menjaga supaya tidak ada kekuasaan yang terpusat pada satu orang atau kelompok saja (David Stavasage, The Decline and Rise of Democracy, 2020).

Saat ini demokrasi elektoral terjadi di mana-mana. Demokrasi ini mengandaikan pemilu sebagai penyerahan kekuasaan. Sayangnya, karena berbagai macam alasan: manipulasi politik; tidak cukup terliterasinya masyarakat; dan biaya politik yang mahal, demokrasi ini tidak menghasilkan orang-orang yang layak memegang kekuasaan.

Salah satu kritik pedas disampaikan oleh Plato dengan Alegori Kapal Bodoh. Ia membayangkan ada sebuah kapal besar yang terapung di lautan lepas nan luas.

Di sana hanya ada Nahkoda Kapal yang bodoh dan para penumpang yang juga tidak punya keahlian dan pengetahuan mengemudikan kapal. Semua hanya mementingkan kepentingan pribadi tanpa peduli bahwa mereka sedang ada dalam bahaya.

Sebenarnya, di antara mereka ada satu sosok yang mampu mengemudikan kapal, tetapi suaranya tenggelam di antara hiruk pikuk kebodohan. Akhirnya kapal berlayar tanpa arah dan tujuan yang jelas (Plato, The Republic).

Peristiwa yang terjadi di penghujung Agustus dan awal September 2025 di Indonesia berhubung dengan penyampaian aspirasi rakyat kiranya adalah upaya untuk memperbaiki demokrasi kita.

Kita tidak ingin melihat kapal negeri ini semakin tanpa arah. Pemimpin, dalam hal ini eksekutif, legisltif, dan yudikatif, sedang diingatkan untuk melihat bahwa ada yang salah dengan kebijakan-kebijakan yang diambil.

Rakyat sedang mempertanyakan ulang buah dari kekuasaan yang sudah diberikan di dalam pemilu. Dalam hal ini, demokrasi tidak berhenti dengan berakhirnya Pemilu. Masyarakat menyadari bahwa pemilu harus tetap dikawal jika ingin menghasilkan demokrasi yang baik.

Peran Publik

Tulisan B Mario Yosryandi Sara di Kompas, 2 September 2025 menyadarkan tentang peran publik untuk mengawal demokrasi. Dia mengatakan, “Demokrasi bukanlah hadiah, melainkan arena perjuangan yang menuntut kewaspadaan terus-menerus. Karena itu, kerja-kerja solidaritas antara organisasi masyarakat sipil menjadi sangat penting. Aliansi semacam ini dapat berfungsi sebagai watchdog yang aktif menekan negara agar tetap akuntabel. Tanpa mekanisme kontrol eksternal yang matang, demokrasi akan sangat mudah dibajak menjadi panggung personalisasi kekuasaan yang dikemas dengan retorika populis.”

Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana peran Gereja dalam mengawal demokrasi?

Tentang perpolitikan, kiranya pesan dasar Gereja tetap satu dan sama, Bonum Commune, kebaikan untuk semua yang menjadi salah satu prinsip Ajaran Sosial Gereja.

Paus Fransiskus mengatakan, “Sejarah barangkali akan menilai yang belakangan dengan kriteria yang ditetapkan oleh Romano Guardini: “Satu-satunya ukuran untuk dengan tepat menilai suatu masa adalah menanyakan sejauh mana masa itu telah memupuk perkembangan dan pencapaian eksistensi manusia secara penuh dan dengan makna sejati, sesuai dengan karakter khas dan kemampuan masa itu” (EG 224).

Suara publik Gereja perlu diperdengarkan ketika martabat manusia dihinakan oleh penguasa yang sudah terpilih melalui proses demokrasi.

Lalu siapakah Gereja? Membayangkan Gereja sebagai institusi saja kiranya adalah naif.

Di negara ini, suara ke-Katolik-an meski sering dipertimbangkan di saat pemilu, tetapi setelahnya seringkali dianggap sebagai angin lalu. Maka, potensi-potensi yang lain kiranya juga perlu tampil: politisi Katolik; pengusaha Katolik; influencer Katolik; dan para akademisi Katolik, kiranya menjadi corong-corong untuk memastikan mimpi Gereja membela martabat manusia tercapai.

Miris kalau melihat bahwa akhir-akhir ini lebih banyak media sosial Katolik sibuk melakukan apologetik melawan kelompok agama lain yang dalam banyak hal tidak berkontribusi banyak upaya membangun bonum commune (untuk tidak mengatakan justru berkontribusi negatif).

Keterlibatan di dalam merawat dan mengontrol proses kepemimpinan bangsa kiranya adalah panggilan yang nyata untuk Gereja Indonesia saat ini. Sudah saatnya menjadi orang Samaria yang baik hati, yang tidak memilih diam dan menghindar ketika ada orang yang mengalami perampokan, seperti halnya dilakukan oleh imam dan orang Lewi itu (Luk 10: 25-37).

Martinus Joko Lelono

Imam Diosesan Keuskupan Agung Semarang; pengajar di Universitas Sanata Dharma

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here