Minggu Biasa XXV C 28 September 2025: Uang, Bayang-bayang Berkat Allah

0
0 views
Ilustrasi - Tumpukan uang. (Ist)
  • Am. 8:4-7
  • 1Tim. 2:1-8
  • Luk. 16:1-13

DALAM hidup ini, siapa yang tidak membutuhkan uang? Pasti semua membutuhkannya.

Injil hari ini mengangkat topik yang jarang dibicarakan, yaitu bagaimana sikap kita terhadap uang dalam perjalanan menuju kebahagiaan kekal.

Dalam perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur, Yesus sama sekali bukan memuji ketidakjujurannya, melainkan kecerdikannya melihat situasi dan mengambil keputusan yang menjamin masa depannya.

Pada masa itu, seorang bendahara bertugas sebagai manajer, pengelola harta milik orang kaya. Ia menyewakan tanah kepada para penggarap dengan perjanjian bahwa pembayaran dilakukan lewat hasil panen dalam jumlah yang ditentukan.

Komisi bendahara sudah diperhitungkan dalam pembagian hasil itu. Namun, tampaknya bendahara ini mengambil komisi terlalu besar sehingga pemilik tanah menerima banyak keluhan dari penyewa. Karena itu, ia harus mempertanggungjawabkan tindakannya.

Menghadapi ancaman pemecatan, ia sadar tidak bisa -atau tidak mau- kerja keras atau mengemis. Maka ia mengambil langkah cerdik: menghapuskan komisinya, sehingga para penyewa berutang budi kepadanya.

Dengan cara itu ia menjalin persahabatan menggunakan “mamon yang tidak jujur”, supaya ketika harta itu tak lagi menolong, ia tetap memiliki jaminan hidup. Ia mengorbankan keuntungan demi memperoleh relasi yang lebih menjamin.

Bukankah ini juga yang perlu kita lakukan?

Uang seharusnya menjadi sarana untuk membangun relasi yang lebih baik, agar kita dapat hidup lebih tenang, bahagia, dan lebih mudah mengikuti Tuhan menuju surga. Umumnya orang berpikir hal ini hanya berlaku bila kita punya cukup uang.

Benarkah demikian? Apakah dengan uang yang lebih banyak otomatis hidup kita lebih baik?

Kenyataannya, kerusakan bangsa kita bukan karena para koruptor kekurangan uang – mereka justru memiliki uang berlimpah. Namun keserakahan membuat mereka merusak perekonomian negara. Kita pun mengenal banyak orang berharta besar, tetapi hidupnya penuh masalah: keluarga yang berantakan, kesehatan yang menurun, dan kebahagiaan yang hilang, meski uang berlimpah.

Seorang murid pernah bertanya kepada gurunya:

Gurunya menjawab: “Jika kekayaan itu seperti bayangan pohon bambu di halaman.”

Murid itu pun melihat bayangan pohon bambu menyapu halaman tanpa menggerakkan sebutir debu pun.*

  • Kekayaan adalah bayang-bayang berkat dan penyertaan Allah dalam hidup.
  • Kekayaan hanyalah alat bantu agar kita bisa menjalani hidup lebih bahagia dan semakin dekat dengan Allah.

Pesan Yesus dalam perumpamaan bendahara yang tidak jujur jelas: uang hendaknya dipakai sebagai sarana membina relasi yang lebih dekat dengan sesama, terutama keluarga—pasangan hidup dan anak-anak.

Yang penting bukan jumlah uang, melainkan bagaimana uang dipakai menjadi alat komunikasi dan sarana kebersamaan.

Dalam komunikasi suami-isteri, ada tiga hal yang paling sulit dibicarakan: seks, keluarga, dan uang. Dalam hal keuangan, kesulitan sering muncul karena sungkan, ketidakpercayaan, atau rasa takut membicarakannya dengan pasangan.

Akibatnya, tidak ada keterbukaan. Ada pasangan yang memegang uang masing-masing dan memakainya sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan pasangannya. Hal itu menimbulkan penumpukan barang karena kebutuhan bersama tidak pernah dikomunikasikan. Ada suami yang hanya memberi jatah belanja dan menuntut laporan keuangan dari isteri.

Ada isteri yang mengeluh karena suami hanya memberi uang belanja, tetapi tidak pernah membelikan pakaian atau perhiasan. Hubungan dengan anak pun kerap tegang: apakah terlalu memanjakan atau terlalu pelit dalam memberi sesuatu.

Dalam kondisi seperti ini, uang bukan lagi berkat, melainkan hambatan dalam membangun relasi keluarga. Selama uang ada, masalah tampak tertutup; tetapi ketika kekurangan datang, segala persoalan terpendam muncul sekaligus.

Sebenarnya uang itu netral: tidak baik, tidak buruk. Masalah keuangan dalam keluarga hanyalah puncak gunung es.

Yang tersembunyi di bawahnya adalah cinta diri. Perkawinan mengandaikan keterlibatan dan komitmen. Komitmen adalah keputusan yang diambil dan dijalankan dalam situasi apa pun, dengan perasaan apa pun.

Komitmen bukan hanya soal kesetiaan seksual, melainkan juga mencakup bidang keuangan.

Perkawinan baru berjalan baik bila ada peleburan dua kehidupan: yang satu hidup untuk yang lain. Pada saat itu tidak ada lagi “uangku” dan “uangmu”, tetapi “uang kita”.

Pemisahan keuangan mungkin perlu, tetapi tanpa komunikasi, hal itu sama dengan perpisahan hati. Uang sering berarti kuasa untuk mengontrol – siapa yang memegang uang, dialah yang menentukan.

Dalam perkawinan yang bahagia, mungkin ada kesulitan ekonomi, tetapi tidak ada pertengkaran soal siapa memakai uang untuk apa. Sebab dalam perkawinan Kristiani, yang satu hidup untuk yang lain, dan bersama-sama mereka hidup untuk Tuhan.**

Allah mengasihi kita dan ingin menolong kita. Uang adalah bayang-bayang berkat-Nya agar kita semakin dekat satu sama lain, sekaligus semakin dekat dengan Dia. Yang terpenting bukan seberapa banyak uang yang kita miliki, tetapi sejauh mana kita mengalami Tuhan dalam hidup.

Kekayaan dan uang hanyalah sarana untuk mendekatkan kita kepada sesama. Keterbukaan dalam hal keuangan adalah tanda bahwa kita anak-anak terang yang cerdik -berdiri di sisi Allah, memakai mamon tanpa dikuasainya, dan melayani bersama Allah.

Semoga kita, sebagai anak-anak terang, semakin terbuka dalam mengelola keuangan keluarga, semakin dekat satu sama lain, dan semakin setia mengikuti Tuhan. Amin.

Anthony de Mello, Sejenak Bijak
Harold J. Sala, Money Management

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here