Jumat, 12 September 2025
1Tim. 1:1-2,12-14
Mzm. 16:1,2a,5,7-8,11
Luk. 6:39-42
SERING kali kita cepat melihat kesalahan orang lain. Bahkan, tanpa sadar, lidah kita lebih gesit untuk mengkritik daripada hati kita untuk memahami. Kita mudah menunjuk jari, menilai, bahkan menghakimi dengan keras, seolah kita lebih benar, lebih tahu, atau lebih suci.
“Saya ingin istirahat dulu dari aktivitas bersama,” kata seorang ibu.
“Saya ingin kosentrasi dengan keluarga dulu, pasti suatu saat saya akan kembali dalam pelayanan.
“Sebenarnya ada masalah apa, hingga ibu tiba-tiba mundur teratur dalam pelayanan,” kataku.
“Saya masih harus banyak belajar dan memperbaiki hidup serta keluarga, benar kata mereka terhadapku. Masih banyak orang yang kompenten dan mampu melayani dengan lebih baik,” katanya.
“Jangan hanya karena omongan segelintir orang yang suka menilai dan mencari panggung untuk dirinya sendiri, ibu mundur dan meninggalkan pelayanan yang ibu lakukan dengan hati yang tulus.
Kecenderungan menyalahkan lahir dari hati yang tidak mau berani bercermin. Padahal, menyalahkan orang lain tidak pernah menyelesaikan masalah; justru membuat hati semakin keras, penuh kepahitan, dan relasi dengan sesama menjadi rusak,” kataku
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,”Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?”
Ayat ini menelanjangi kenyataan bahwa kita cenderung buta terhadap kelemahan diri sendiri, tetapi tajam melihat kesalahan orang lain.
Ketika kita terburu-buru menghakimi, kita sebenarnya menutup pintu kasih. Kita lupa bahwa setiap orang sedang berada dalam proses, proses belajar, bertumbuh, dan diperbaharui oleh Allah.
Dengan menghakimi, kita bisa mematikan semangat saudara kita. Tetapi dengan memahami, menegur dengan kasih, dan mendoakan, kita justru menjadi sarana Allah untuk membangun mereka.
Yesus sendiri tidak datang untuk menghakimi, tetapi untuk menyelamatkan. Jika kita mau sungguh menjadi murid-Nya, kita pun dipanggil untuk tidak keras hati, melainkan lembut hati. Alih-alih cepat menilai, marilah kita belajar lebih banyak mendengarkan, memahami, dan mendoakan.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah saya pernah merasakan luka atau sakit hati karena disalahkan? Bagaimana pengalaman itu membantu saya lebih berhati-hati dalam bersikap terhadap orang lain?










































