Runtuhnya Tembok Sekolah Kami

0
285 views
Ilustrasi - Pemandangan kondisi kelas di sekolah-sekolah zaman dahulu ketika dinding kelas masih terbuat dari gedheg anyaman bambu. (Indonesia Masa Lampau FB)

DI tahun 1980-an, di sebuah dusun yang jauh dari hingar-bingar kota, berdiri sebuah bangunan yang disebut sekolah. Namun, menyebutnya kokoh adalah sebuah lelucon. Bangunan itu terbuat dari gedhek anyaman bambu yang usang, miring, dan lapuk dimakan usia.

Pemandangan dinding yang bolong dan atap yang berlubang sudah menjadi hal biasa bagi kami. Meski demikian, di sanalah kami, Etta, Rina, Rudi, Johan, dan Ridwan, menemukan tempat untuk menimba ilmu.

Ruangan kelas yang sederhana itu terasa hangat, bukan karena perapian, melainkan karena tawa dan semangat yang membara di antara kami. Setiap hari, kami duduk di bangku kayu yang sudah reyot, mendengarkan Pak Guru bercerita tentang dunia yang lebih luas dari dusun kami.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Suatu sore yang awalnya cerah, tiba-tiba langit berubah gelap. Angin kencang datang menderu seperti suara naga yang mengamuk, membuat pepohonan di sekitar sekolah meliuk-liuk tak karuan. Gedung sekolah kami yang sudah rapuh mulai bergetar hebat. Atapnya berkeriut seperti hendak lepas, dan dinding bambunya meliuk-liuk, seolah siap roboh kapan saja.

Rasa panik mulai menjalar di antara kami. Pak Guru, dengan wajah cemas, segera membimbing kami keluar, menjauh dari bangunan yang sudah tidak layak huni itu. Kami berlari menuju lapangan terbuka, menatap pilu sekolah kami yang sudah menjadi saksi bisu perjalanan kami.

Kondisi sekolah kami yang memprihatinkan ini tidak luput dari perhatian para dermawan di kota. Kabar tentang sekolah kami menyebar dengan cepat, menyentuh hati banyak orang. Donasi pun mulai mengalir deras, layaknya sungai yang tak pernah kering. Kami begitu gembira dan terharu.

Ada Pak Burhan, seorang pengusaha sukses, yang menyumbang dana besar untuk membangun tembok sekolah dari bata yang kokoh. Bu Yuli, seorang pedagang kain yang murah hati, menyumbang pintu dan jendela baru yang cantik. Bahkan Pak Darma, seorang petani yang hidup sederhana, menyumbang genting-genting baru untuk atap kami.

Semua sumbangan itu membuat kami, para murid, merasa sangat bahagia.

Setiap hari, kami tak sabar menunggu kedatangan truk material. Setiap kali truk itu tiba, kami berhamburan keluar, berebut membantu para pekerja memindahkan karung semen, tumpukan bata, dan balok-balok kayu. Kami merasa memiliki peran besar dalam pembangunan sekolah ini, seolah-olah kami adalah bagian dari arsiteknya.

Kami tertawa riang, saling berebut mengangkat barang yang terkadang terlalu berat untuk kami. Suasana gotong royong itu begitu terasa, membuat kami semakin semangat.

Kami membayangkan betapa indahnya sekolah baru kami nanti, dengan dinding bata yang kuat dan atap yang tidak bocor.

Namun, kegembiraan itu berubah menjadi ketegangan. Suatu sore, ketika tembok sekolah yang baru berdiri setinggi dua meteran dan masih basah, para pekerja mencoba mendirikan balok kayu besar sebagai tiang penyangga. Balok itu sangat berat, membutuhkan beberapa orang dewasa untuk mengangkatnya.

Kami, para murid, berdiri di sekeliling, menyaksikan dengan antusias. Balok itu perlahan terangkat, berayun di udara, dan semua mata tertuju padanya. Namun, tiba-tiba, tali pengikatnya terlepas. Balok itu jatuh dengan kecepatan penuh, menimpa tembok bata di bawahnya.

Terdengar suara “brukkk” yang memekakkan telinga, disusul oleh suara gemuruh reruntuhan. Debu beterbangan di mana-mana. Kami semua terkejut, berteriak kaget. Namun, kengerian itu belum berakhir. Di tengah reruntuhan itu, kami melihat Etta tergeletak. Balok besar itu jatuh tepat di sampingnya, tetapi reruntuhan tembok menimpanya.

Ia meringis kesakitan, kakinya tertindih material reruntuhan. Rasa panik merayap di dada kami. Rina dan Rudi segera berlari mendekat, mencoba menenangkan Etta, sementara Johan dan Ridwan berlari sekencang-kencangnya menuju puskesmas terdekat untuk meminta bantuan.

Untungnya, puskesmas tidak terlalu jauh dari sekolah kami. Dalam waktu singkat, seorang perawat datang dengan tandu. Dengan sigap, mereka membersihkan material yang menimpa kaki Etta dan membawanya ke puskesmas. Kami semua mengiringi Etta dengan perasaan cemas.

Luka yang dialami Etta memang cukup serius, tapi syukurlah, tidak mengancam nyawanya. Ia harus menjalani perawatan intensif, namun kami semua bersyukur karena Etta masih bisa tersenyum saat kami menjenguknya. Kami berjanji akan menjaganya dengan baik.

Peristiwa runtuhnya tembok dan kecelakaan yang menimpa Etta menyebar ke seluruh kampung dengan sangat cepat. Berita itu membuat para warga desa merasa iba dan prihatin. Mereka berkumpul di lokasi pembangunan sekolah, berdiskusi tentang apa yang harus dilakukan.

Salah seorang warga, seorang bapak yang dihormati, berkata dengan lantang, “Sudah, biar kami saja yang melanjutkan. Kalian, anak-anak, jangan lagi membantu. Ini terlalu berbahaya.”

Kami pun ditarik menjauh dari area pembangunan.

Kami ditugaskan membantu ibu-ibu membuat dapur umum, menyiapkan makanan dan minuman untuk para pekerja. Etta dan teman-temannya hanya bisa menyaksikan dari kejauhan.

Pembangunan sekolah yang awalnya berjalan lambat, kini terasa lebih cepat dan terkoordinasi. Para warga desa bergotong royong, bahu-membahu. Mereka bekerja tanpa lelah, siang dan malam. Bahkan Pak Burhan, Bu Yuli, dan Pak Darma ikut turun tangan.

Mereka semua melebur menjadi satu, bekerja keras untuk memastikan sekolah baru kami bisa segera berdiri. Kami menyaksikan dengan takjub, melihat bagaimana kekuatan kebersamaan bisa menghasilkan keajaiban.

Dalam waktu singkat, bangunan sekolah baru berdiri kokoh, jauh lebih kuat dan megah dari yang kami bayangkan.

Akhirnya, tiba hari yang kami tunggu-tunggu. Hari peresmian sekolah baru. Suasana dipenuhi kegembiraan. Sekolah kami kini memiliki dinding bata kuat, pintu dan jendela baru kokoh, dan atap tidak bocor. Kami, para murid, tidak lagi merasa khawatir akan robohnya bangunan. Kami bisa belajar dengan tenang, tanpa rasa takut.

Sekolah baru itu terasa berbeda. Bukan hanya karena bangunannya, tetapi juga karena cerita di baliknya. Cerita tentang gotong royong dan kebersamaan.

Dari kejadian yang menimpa Etta, kami semua, baik murid maupun warga desa, belajar satu hal yang tak ternilai harganya, yaitu gotong royong. Kami menyadari bahwa tidak ada hal besar yang bisa dilakukan sendirian. Bahwa dengan bersatu, setiap kesulitan dan rintangan bisa diatasi. Kejadian itu menyadarkan kami bahwa kebersamaan adalah kunci untuk mencapai tujuan bersama.

Etta, yang kini sudah pulih sepenuhnya, tersenyum saat menatap sekolah baru itu. Ia tahu, sekolah itu adalah monumen kebersamaan, sebuah pengingat abadi tentang bagaimana sebuah musibah bisa melahirkan kekuatan yang tak terduga.

Sekolah baru itu bukan hanya sekadar bangunan fisik.

Lebih dari itu, peristiwa demikian menjadi simbol persatuan, kebersamaan dan sebagai bukti nyata bahwa sebuah komunitas bisa bangkit dari keterpurukan, dan bahwa sebuah mimpi yang diusung bersama akan selalu lebih kuat dari badai apa pun.

Kami akan selalu mengenang cerita runtuhnya tembok sekolah lama, bukan sebagai kisah sedih, tetapi sebagai awal dari kebangkitan kami.

Kisah yang mengajarkan kami bahwa persahabatan, kepedulian, dan gotong royong adalah tiang paling kokoh dari semua yang ada.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here