SAGKI V 2025: Mgr. Robertus Rubiyatmoko tentang Gereja Indonesia di Persimpangan Harapan dan Tantangan (5)

0
0 views
Wakil Ketua II KWI Mgr. Robertus Rubiyatmoko dari Keuskupan Agung Semarang. (Dok. Sesawi.Net)
  • SUARA-suara umat dari seluruh pelosok negeri mengalir menuju Jakarta. Dari lembah-lembah di Wamena, Papua hingga pesisir Pontianak, dari desa-desa Katolik di Sumatera hingga komunitas basis di Nusa Tenggara, semua membawa kisah yang beragam namun berpadu dalam satu nada iman: Gereja Indonesia ingin berjalan bersama.

Menjelang Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) V tanggal 3-7 November 2025 di Ancol, Jakarta Utara, Gereja Katolik Indonesia menatap masa depan dengan rasa syukur sekaligus kesadaran akan banyaknya tantangan yang dihadapi.

Sebelum para peserta berjumlah 374 orang akhirnya tiba di sidang agung ini, berbagai keuskupan telah melalui proses PRA-SAGKI – sebuah rangkaian pertemuan, refleksi, dan percakapan rohani di tingkat paroki, kevikepan, dan Provinsi Gerejawi.

Semua proses itu melahirkan satu gambaran yang kaya tentang wajah Gereja Indonesia masa kini: Gereja yang tumbuh dari rahmat, berakar pada budaya, dan sedang belajar berjalan dalam semangat sinodalitas.

Jejak misioner dan wajah Gereja yang hidup

“Dari Semarang sampai Merauke, dari Medan hingga Pontianak, kita melihat Gereja yang hidup dan bergerak,” ujar Wakil Ketua II KWI Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Uskup Keuskupan Agung Semarang dalam forum jumpa pers SAGKI V 2025 hari pertama Selasa 4 November 2025.

Gereja Indonesia hari ini berdiri di atas fondasi karya para misionaris yang telah menanamkan Injil lewat pelayanan sakramental, pendidikan, kesehatan, dan sosial kemasyarakatan. “Dari tangan-tangan mereka tumbuh jaringan sekolah, universitas, rumah sakit, seminari, dan lembaga sosial yang kini menjadi tulang punggung pelayanan Gereja,” ungkap Uskup KAS ini.

Namun, lebih dari sekadar warisan lembaga, para misionaris meninggalkan roh pengabdian dan semangat misioner yang kini diteruskan oleh imam, biarawan-biarawati, katekis, dan umat awam di paroki-paroki.

“Mereka adalah wajah Gereja yang setia menjadi sahabat masyarakat, penggerak perdamaian, dan penabur harapan di tengah dunia yang berubah,” jelas Uskup Mrg. Rubiyatmok yang pernah mengampu tugas dosen Hukum Gereja di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Cermin dari dalam: tantangan hidup menggereja

Hasil refleksi nasional PRA-SAGKI mengungkapkan sejumlah tantangan internal yang kini dihadapi Gereja Indonesia.

Di banyak tempat, pendalaman iman umat masih belum merata. Iman kadang berhenti pada ritual, belum sungguh menjiwai pilihan hidup dan tanggungjawab sosial.

Partisipasi umat juga cenderung menurun. “Ada gejala iman administratif,” sebut salah satu laporan keuskupan. Banyak umat hadir di Gereja, tetapi belum sepenuhnya terlibat dalam kehidupan komunitas.

Tantangan lain datang dari pendampingan anak, remaja, dan OMK. Generasi muda menghadapi tekanan budaya digital, arus sekularisasi, dan gaya hidup konsumtif. Katekese keluarga yang diharapkan menjadi fondasi iman, belum berjalan kuat di semua tempat.

Selain itu, keterbatasan tenaga pastoral—terutama di wilayah 3T- menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Banyak paroki luas ditangani oleh jumlah imam yang terbatas. Kebutuhan akan formasi berkelanjutan dan kolaborasi awam semakin mendesak.

Sementara itu, peran umat awam belum sepenuhnya diberdayakan. Pola pikir klerikalisme (masih kental terfokuskan pada sosok imam dan keberadaan mereka) masih terasa, sehingga Gereja perlu meneguhkan sinergi baru yang mengakui umat awam sebagai mitra sejajar dalam misi.

Tak kalah penting, Gereja pun ditantang memperkuat tata kelola pastoral dan kemandirian ekonomi, agar pelayanan Gereja semakin profesional, transparan, dan berkelanjutan.

Tantangan dunia: Gereja dalam arus perubahan

Selain pergumulan internal, Gereja Indonesia juga berhadapan dengan berbagai persoalan sosial dan budaya yang menuntut keterlibatan nyata.

Pluralitas agama dan budaya di Indonesia menjadi kekayaan yang memerlukan dialog terus-menerus dan kesaksian hidup yang tulus. Namun, di beberapa daerah, kesulitan perizinan rumah ibadah masih menjadi kenyataan yang menyakitkan bagi sebagian umat.

Gereja juga bergulat dengan kemiskinan struktural dan kesenjangan ekonomi, terutama di wilayah terpencil dan perkotaan. “Kita harus menjadi suara bagi mereka yang kecil, miskin, dan tersisih,” tegas Mgr. Rubiyatmoko.

Isu migrasi, pekerja migran, dan perdagangan manusia menjadi perhatian serius, begitu pula krisis ekologis yang melanda banyak wilayah akibat deforestasi dan tambang. Dalam semangat Ensiklik Laudato Si’, Gereja diundang untuk mendengarkan “jeritan bumi dan mereka yang menderita”.

Perubahan besar juga datang dari budaya digital. Dunia media sosial membuka ruang baru bagi evangelisasi, tetapi juga menghadirkan tantangan moral dan rohani. Di sinilah Gereja dipanggil untuk hadir dengan wajah yang lebih komunikatif dan relevan bagi generasi baru.

Melangkah Bersama: Sinodalitas sebagai jalan Gereja Indonesia

Di tengah semua tantangan itu, suara yang paling kuat muncul dari proses PRA-SAGKI adalah kerinduan untuk menjadi Gereja yang sinodal: Gereja yang berjalan bersama, mendengarkan satu sama lain, dan bergerak dalam semangat partisipasi, persekutuan, dan misi.

Arah pastoral ke depan menekankan penguatan Komunitas Basis Gerejawi (KBG), pendampingan keluarga dan kaum muda, digitalisasi pastoral, pemberdayaan ekonomi umat, serta kerja sama lintas agama dalam membangun perdamaian dan kesejahteraan bersama.

“Gereja Indonesia ingin menjadi sahabat bagi masyarakat, tanda pengharapan bagi bangsa, dan saudara bagi mereka yang terpinggirkan,” demikian refleksi yang dirangkum dari berbagai laporan keuskupan.

Dengan semangat sinodalitas, Gereja Indonesia melangkah sebagai komunitas pengharapan – sebuah Gereja yang hidup dari Injil, terbuka pada Roh Kudus, bersaudara dengan semua orang, dan bekerja untuk menghadirkan damai, keadilan, serta martabat bagi setiap anak bangsa.

“Dalam karya Roh Kudus, kita percaya bahwa Indonesia adalah tanah rahmat, di mana iman dapat terus bertumbuh, budaya dihormati, kemanusiaan dimuliakan, dan kasih Kristus menjadi cahaya bagi kehidupan bersama,” ujar Mgr. Robertus Rubiyatmoko menutup refleksinya dalam forum jumpa pers SAGKI V 2025 hari pertama Selasa tanggal 4 November 2025. (Berlanjut)

Baca juga: SAGKI V 3–7 November 2025: Ketua KWI Mgr. Anton Subianto OSC Persilakan 374 Peserta Boleh Bicara Apa Saja (4)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here