SUATU malam, setelah Doa Completorium (Ibadat Penutup), aku duduk di depan tabernakel. Lilin menyala redup, dan salib di depan tampak lebih bersinar dari biasanya.
“Ibu…” bisikku lirih, ‘aku tidak bisa datang ke pemakamanmu. Tapi aku yakin, kita sudah bertemu di dalam doa’.”
Di tengah tangis, aku menulis surat untuknya – surat yang tak akan pernah terkirim.
“Ibu, aku di sini berusaha kuat. Tapi kehilanganmu bukan hal yang mudah. Aku ingin pulang, tapi aku juga ingin menghormati jalan yang telah kau restui sejak awal.
Semoga Ibu bisa melihatku dari sana. Doakan aku tetap teguh, Bu. Meski hatiku hancur, aku akan terus melangkah. Untuk Ibu. Untuk Tuhan.”
Kehilangan jatidiri
Berbulan-bulan aku kehilangan diriku. Teman dan pembimbing menghiburku. Pembimbingku datang menemaniku; ia tidak banyak bicara, hanya menatap lembut dan berkata: “Kesetiaanmu diuji bukan ketika segalanya mudah, tapi ketika segalanya terasa mustahil.”
Tak mudah bagiku menerima semua itu. Tapi waktu menjawab. Aku mulai belajar menerima bahwa mencintai Tuhan berarti juga berani kehilangan.
Airmataku kini berubah menjadi doa. Setiap tetesnya kupersembahkan bagi Tuhan dan bagi Ibu yang kini beristirahat dalam damai.
Masa Tahun Kanonik menjadi musim tergelap dalam hidupku. Aku diuji dalam iman, emosi, dan tubuh.
Pernah aku bertanya dalam doa, “Tuhan, mengapa kehilangan ini harus terjadi saat aku sedang mencari-Mu dengan sungguh?”
Aku mendengar suara lembut di hati: “Aku tidak menjanjikan jalan tanpa airmata, tetapi Aku akan selalu berjalan bersamamu.”
Sejak itu aku tahu, kesetiaan bukan berarti tak pernah terluka. Kesetiaan adalah keberanian untuk terus melangkah meski airmata belum kering.
Ibu memang telah pergi, tapi cintanya tak pernah hilang. Ia hidup di setiap doa, di setiap langkah panggilanku.
Aku belajar bahwa Tuhan tidak meninggalkanku—bahkan di saat paling gelap sekalipun.
Kini aku mengerti: cinta sejati tidak mati. Ia hanya berubah wujud – menjadi doa, menjadi kekuatan yang lembut. Dan dalam keheningan itu, aku terus melangkah… perlahan, tapi pasti. (Berlanjut)
Baca juga: Mak, mengapa cepat pergi? (2)