Minggu, 31 Agustus 2025
Sir 3:17-18,20,28-29
Mzm 68:4-5ac.6-7ab.10.11
Ibr 12:18-19,22-24a
Luk. 14:1,7-14
RESPONS beberapa pejabat dan beberapa anggota DPR terhadap isu sensitif kerap menyulut kemarahan publik.
Respons itu disampaikan dengan arogansi dan tanpa empati. Misalnya ada menteri, yang dengan kasar minta orang pergi dari negara ini jika tidak setuju.
Ada juga yang bertanya dengan penuh arogan soal tanah, “Saya mau tanya emang mbahmu leluhurmu dulu bisa membuat tanah? Nggak bisa membuat tanah.”
Adegan anggota DPR yang berjoget atau memberikan pernyataan tidak masuk akal atas situasi rakyat yang sedang kesusahan, menjadi contoh bagaimana kebodohan dan ketidaksensitifan dapat melemahkan kepercayaan publik.
Ada pepatah sederhana: “Tahu diri itu tahu tempat.” Artinya, seseorang yang tahu diri akan tahu bagaimana ia harus bersikap dan menempatkan dirinya, bukan dengan kesombongan, melainkan dengan kerendahan hati.
Hidup ini seringkali menggoda kita untuk ingin tampak penting, dihormati, atau dianggap lebih hebat dari yang lain.
Padahal harga diri yang sejati bukanlah dari gelar, kedudukan, atau status sosial, melainkan dari kerendahan hati. Orang yang benar-benar besar tidak perlu meninggikan dirinya, sebab kerendahan hatinya sendirilah yang akan meninggikan dia.
Menjadi rendah hati bukan berarti merendahkan diri secara negatif, melainkan menyadari bahwa semua yang kita miliki hanyalah anugerah. Dengan sikap itu, kita tidak perlu takut kehilangan kehormatan, sebab justru Tuhanlah yang akan meninggikan kita pada saat yang tepat.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Kalau engkau diundang ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan.”
Yesus mengingatkan, ketika kita terlalu cepat menuntut kehormatan, bisa jadi kita justru dipermalukan.
Sebab selalu ada orang lain yang lebih pantas, lebih tinggi, atau lebih layak daripada kita. Dan ketika kita harus bergeser ke tempat yang rendah, kita menanggung rasa malu.
Yesus mengajarkan jalan sebaliknya: pilihlah tempat yang rendah lebih dahulu. Dengan sikap itu, kita menyadari bahwa kehormatan sejati bukanlah hasil usaha kita untuk menonjolkan diri, melainkan anugerah yang diberikan kepada kita.
Justru ketika kita rela menempati tempat rendah, kita memberi ruang bagi Tuhan untuk meninggikan kita pada saat yang tepat.
Hidup ini seperti undangan pesta Allah: bukan siapa yang duduk di kursi terdepan yang mendapat kemuliaan, melainkan siapa yang datang dengan hati rendah dan siap melayani.
Marilah belajar “tahu diri” menempatkan diri pada posisi yang rendah. Sebab di hadapan Allah, kemuliaan bukan datang dari usaha meninggikan diri, melainkan dari kesediaan untuk merendahkan diri.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah dalam hidup sehari-hari saya sering mencari penghormatan dan pengakuan dari orang lain?