Senin, 15 September 2025
Ibr. 5: 7-9
Mzm 31:2-3a,3b-4,5-6,15-16, 20
Yoh. 19:25-27
HIDUP dalam cinta bukan berarti hidup tanpa airmata. Justru, cinta yang sejati sering kali menuntut pengorbanan, kesetiaan, dan kesediaan untuk menderita demi yang dicintai.
Komitmen cinta bukan hanya tentang sukacita, tetapi juga tentang keberanian untuk menanggung dukacita.
Ketika kita memilih untuk setia dalam cinta, kepada pasangan, keluarga, sahabat, atau bahkan pelayanan, kita juga akan menghadapi salib yang tidak ringan.
Dukacita karena komitmen cinta bisa hadir dalam bentuk kesalahpahaman, pengurbanan waktu, hilangnya kenyamanan pribadi, atau bahkan rasa sakit hati ketika kasih kita tidak selalu dibalas dengan sempurna. Namun, semua itu adalah bagian dari perjalanan menuju cinta yang lebih murni.
Dalam kesetiaan, kita belajar bahwa cinta bukan sekadar perasaan, tetapi keputusan untuk tetap hadir, bertahan, dan memberi, meski harus terluka. Di sanalah cinta menemukan makna terdalamnya.
“Kupeluk erat anakku yang terluka karena perilaku suaminya,” kata seorang ibu.
“Dia pulang ke rumah setelah beberapa kali diperlukan tidak baik oleh suaminya.
Tangis dia semakin meruntuhkan hatiku, aku lebih sedih dan terluka karena apa yang dia alami anakku.
Sebagai ibu, aku selalu berdoa dan berharap hidup anakku baik dsn bahagia. Maka keadaannya yang penuh derita membuatku sungguh sedih.
Derita anakku adalah derita hidupku, bahkan jika bisa biarlah derita anakku aku tanggung sendiri dan anakku tetap sehat dan bahagia,” lanjutnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah ia kepada ibu-Nya, “Ibu, inilah anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya, “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu murid itu menerima ibu Yesus di dalam rumahnya.”
Sabda Yesus ini memiliki makna ganda. Pertama, secara manusiawi, Yesus ingin memastikan bahwa Maria, ibu-Nya, tidak ditinggalkan seorang diri setelah wafat-Nya.
Yohanes menerima tugas untuk merawatnya, dan Maria menerima Yohanes sebagai anak. Di balik itu, Yesus mengajarkan betapa pentingnya tanggung jawab dalam kasih: bahwa cinta sejati selalu melahirkan perhatian, kepedulian, dan pengorbanan bagi sesama.
Kedua, sabda ini adalah pesan rohani yang lebih dalam: Maria diberikan sebagai ibu bagi Gereja, bagi semua murid Kristus.
Yohanes melambangkan kita semua yang dipanggil untuk membuka hati, menerima Maria sebagai ibu rohani yang senantiasa mendampingi, menuntun, dan mendoakan kita.
Momen di kaki salib itu memperlihatkan bahwa kasih Kristus tidak berhenti pada salib, melainkan terus mengalir melalui hubungan baru yang Ia ciptakan.
Kasih itu mengikat kita menjadi satu keluarga besar dalam iman: Allah adalah Bapa, Yesus adalah Saudara sekaligus Penyelamat, Maria adalah Ibu, dan kita semua adalah saudara seiman.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah saya berani setia berdiri di “bawah salib”, setia pada Yesus dan kasih-Nya, meski situasi sulit dan menyakitkan?