Kualitas Iman

0
0 views
Ilustrasi: Luciano Pavarotti. (Ist)

PENYANYI Luciano Pavarotti adalah penerus karismatik dari penyanyi tenor opera legendaris, Enrico Caruso. Dalam otobiografinya, Pavarotti: My Own Story, ia menggambarkan bagaimana dirinya dilatih oleh seorang maestro hebat, Arrigo Pola.

“Semua yang Pola minta saya lakukan, saya lakukan—hari demi hari, membabi buta. Selama enam bulan, kami tidak melakukan apa-apa selain berlatih vokal.”

Pavarotti bekerja keras di bawah Pola selama dua setengah tahun, kemudian bekerja sama kerasnya di bawah Maestro Ettore Campogalliani selama lima tahun lagi.

Akhirnya, setelah menaruh begitu banyak keyakinan dan kepercayaan pada para mentornya, Pavarotti membuat terobosan dalam sebuah konser di Salsomaggiore, Italia Utara, di mana ia membuat penonton tergetar. Penampilan itu melambungkan ketenarannya. Ia kemudian tidak hanya terkenal di dunia opera, melainkan juga di dunia musik pop.

Selama hidupnya, ia telah menjual lebih dari 100 juta album rekaman lagu-lagunya.

***

Kisah tentang iman dan kepercayaan ini membawa kita pada bacaan hari ini yang berfokus pada tema yang sama (Luk 17:5-10). Ketika Luciano Pavarotti menaruh kepercayaannya pada para gurunya, Injil hari ini mengajarkan bahwa kita pun harus menaruh kepercayaan kita pada Guru sejati, Yesus Kristus.

Ketika Yesus meminta para murid-Nya agar menanggapi dengan pengampunan tanpa syarat dan tanpa batas kepada musuh atau penyerang mereka yang menyesal (ay. 3–4), para murid meminta agar diberi lebih banyak iman supaya mereka dapat memenuhi tuntutan tersebut. Para murid rupanya kurang percaya akan kuasa pengampunan yang bisa mengubah hati seseorang.

Iman ini adalah kepercayaan yang besar kepada Tuhan, sehingga mereka dapat mengerjakan mukjizat seperti yang telah dilakukan Yesus—misalnya, membuat pohon ara layu hanya dengan perintah sederhana.

Yesus lalu mengingatkan bahwa kekuatan iman terletak pada kualitasnya (sedikit tapi mendalam), bukan pada kuantitasnya (“tambahkanlah iman kami”).

Ia memperjelas hal itu dengan menggunakan perumpamaan tentang biji sesawi dan tentang hamba yang baik untuk membantu mereka memahami perlunya iman yang benar dan penuh kuasa.

Seperti biji sesawi yang kecil, sekecil apa pun iman, jika memiliki kualitas yang tinggi, maka pohon pun dapat tercabut dan terlempar ke laut. Kualitas iman yang tinggi berarti menyerahkan seluruh keyakinan kepada Allah yang benar dan penuh kuasa—total tanpa keraguan.

Permohonan, harapan, bahkan mukjizat sering kali gagal terjadi bukan karena ketidakpercayaan, tetapi karena kurangnya totalitas. Sedikit saja keraguan akan kuasa Allah dapat membuat kuasa iman gagal terwujud.

Iman juga dapat dipahami dalam konteks relasi antara tuan dan hamba. Yesus mengajar bahwa agar iman menjadi efektif, iman itu harus dikaitkan dengan ketaatan dan komitmen total—penyerahan aktif kepada Tuhan dengan kesediaan untuk melakukan apa pun yang Dia perintahkan. Melayani dalam totalitas pengabdian kepada Allah adalah wujud iman yang sejati.

Iman tidak selalu berkaitan dengan mukjizat atau karya besar. Iman bisa tampak dalam praktik hidup sehari-hari. Kesetiaan dan pengabdian dalam tugas sederhana pun dapat menjadi wujud iman, sekecil dan sesederhana apa pun pekerjaan itu.

Dengan cara ini, kita dapat mengukur kualitas iman kita. Kuncinya adalah: apakah kita setia dalam “melakukan semua yang diperintahkan untuk kita lakukan”?

Apakah aku sudah memiliki iman yang cukup?

  • “Bagi seseorang yang mempunyai iman, tak ada penjelasan yang dibutuhkan.
  • Bagi seseorang yang tidak mempunyai iman, tak ada penjelasan yang mungkin.” St. Thomas Aquinas

-“Ikan paus tidak bisa menelan orang,” kata seorang guru di hadapan murid-muridnya. “Meskipun mereka adalah mamalia besar, tenggorokan mereka sangat kecil.”

“Tetapi Alkitab mengajarkan kita bahwa Yunus ditelan oleh ikan paus,” jawab seorang gadis kecil.

“Ibuku berkata bahwa Alkitab adalah firman Tuhan, dan itu pasti benar.”

“Itu tidak mungkin,” kata guru itu. “Secara fisik tidak mungkin.”

“Kalau begitu, ketika saya sampai di surga, saya akan bertanya kepada Yunus,” kata gadis kecil itu ngotot.

Guru itu menatapnya, tersenyum, lalu bertanya, “Bagaimana jika Yunus pergi ke neraka?”

Gadis kecil itu menjawab, “Kalau begitu, kamu bisa bertanya sendiri padanya ketika kamu sampai di sana.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here