Minggu. Hari Minggu Biasa XIII (H)
- 1Raj. 19:16b,19-21.
- Mzm. 16:1-2a,5,7-8,9-10,11.
- Gal 5:1,13-18.
- Luk. 9:51-62.
Lectio (Luk. 9:51-62)
Meditatio-Exegese
Sesudah itu bersiaplah ia, lalu mengikuti Elia dan menjadi pelayannya
Elia, orang Tisbe di Gilead (1Raj. 17:1), melayani Tuhan sebagai nabi di Kerajaan Utara pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia diutus untuk meminta umat bertobat dan setia pada Allah. Terlebih, ia harus berjuang melawan pengaruh yang ditebar untuk memuja Baal, dewa asing, yang diperkenalkan oleh Isebel, puteri raja Tirus dan permaisuri Raja Ahab.
Saat masa pelayanannya memasuki babak akhir, Allah menyuruh Elia pergi ke Abel-Mehola, kota di timur Sungai Yordan. Ia harus mengurapi Elisa untuk menggantikannya sebagai nabi. Saat menjempai Elia menjumpai calon penggantinya, Elisa sedang bekerja di tanah pertanian yang subur milik orang tuanya.
Elisa sedang membajak ladang subur dan luas. Tanah pertanian yang subur dan luas, serta dua puluh empat ekor lembu menjadi lambang kekayaan keluarga Safat, orangtua Elisa (2Raj. 3:11). Kekayaan itulah yang akan dikorbankan untuk menjawab panggilan menjadi murid Nabi Elia.
Ketika Elia lalu dari dekatnya, ia melemparkan jubahnya kepadanya. Elia melemparkan jubahnya sebagai lambang penumpangan tangan, yang menandakan penyerahan kuasa. Yang dilakukan Elia adalah penyerahan kharisma kenabian.
Tidak ada perbincangan di antara keduanya ketika mereka berjalan beriringan, kecuali saat Elisa memohon untuk pamit kepada keluarganya.
Elia mengizinkan, karena mencium ayah dan ibu merupakan tanda penghormatan anak pada orangtua, seperti dinyatakan pada Perintah Kedua dari Sepuluh Perintah Allah (bdk. Kel. 20:12; Ul. 5:16).
Maka, kata Elia (1Raj. 19:20), “Baiklah, pulang dahulu, dan ingatlah apa yang telah kuperbuat kepadamu.”, vade et revertere quod enim meum erat feci tibi.
Namun, sang nabi mengingatkan akan tugas perutusan Allah yang harus diemban Elisa. Peringatan Elia tidak menciutkan hati Elisa. Kelak, Elisa dikenang sebagai nabi yang berbela rasa pada hidup dan kesusahan keluarga (bdk. 2Raj. 2-8).
Menyembelih lembu, mengolah daging dan memasaknya dengan cara membakar seluruh alat bajak sebagai perjamuan terakhir melambangkan bahwa Elisa tidak akan mewarisi kekayaaan keluarga. Terlebih, semua melambangkan bahwa ia menanggalkan cara hidup lama dan mengenakan hidup baru sebagai nabi.
Setelah selesai berpamitan, ia pergi bersama dan melayani Nabi Elia. Di akhir masa pendidikan sebagai nabi, Elisa menyaksikan Elia diangkat ke surga dengan kereta dan kuda berapi. Sedangkan jubah Elia yang jatuh dipungut dan dikenakannya, simbol pentahbisan sebagai pengganti Elia (2 Raj 2:11-15).
Elisa menggantikan Elia sebagai nabi yang lebih besar. Ia menjadi pralambang pergantian peran Yesus dari Yohanes Pembaptis yang datang dengan semangat dan kuasa Elia (Luk. 1:17; Mat. 3:11-12; Yoh. 1:29-30.).
Dalam bahasa Ibrani, Elia bermakna Yahwe adalah Allah; dan Elisa bermakna Allah adalah keselamatan. Nama Yesus dalam bahasa Ibrani pada abad pertama Masehi merupakan gabungan nama kedua tokoh ini, Yeshua-Yehushua, Yahwe adalah Juruselamat.
Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga
Jemaat yang dibina Santo Lukas berlatar belakang budaya Romawi-Yunani dan menghadapi tantangan yang tidak mudah. Mereka dilingkupi budaya Romawi dan budaya asing, yang ditandai: pengejaran akan kepusaan diri atau hedonistik, korupsi, penyembahan berhala, pengejaran, penyiksaan, pemenjaraan, dan bahkan pembunuhan terhadap murid Kristus.
Menghadapi tantangan jaman, Santo Lukas melukiskan kesulitan dan cara yang digunakan para murid Yesus pada tahun 30-an saat mereka menghadapi ragi kaum Farisi dan ragi Herodes (bdk. Mrk. 8:15). Kaum Farisi memperalat agama untuk mengubah peri hidup manusia.
Para pengikut Herodes Antipas mencengkeram seluruh aspek hidup mulai dari pajak tanah hingga kekuasaan politik. Mereka tak segan menghilangkan nyawa para penentang, seperti Yohanes Pembaptis (bdk. Luk 9:7-9; Mat 14:1-12; Mrk 6:14-29).
Kedua cara pikir, cara olah rasa dan cara tindak mempengaruhi seluruh pribadi, siapa saja, dan merusak sendi-sendi relasi, baik relasi dengan sesama, Allah dan alam. Kedua jenis pembusukan berhasil terus melintasi jaman dan generasi dan dibungkus semakin rapi dalam kemasan neo-liberalisme dan paham-paham lain yang eksploitatif, disebarkan melalui media, pola konsumsi, dan mentalitas yang mementingkan diri sendiri.
Perjuangan untuk membebaskan diri sendiri dan anggota komunitas iman yang telah terpapar ragi kaum Farisi dan ragi Herodes, pasti tidak mudah. Kegagalan mengatasi kedua ragi adalah kehancuran hidup, seperti diserukan Nabi Yesaya (Yes. 44:20), “Bukankah dusta menjadi peganganku?”, Nonne mendacium est in dextera mea?
Santo Lukas mengajak jemaat untuk memusatkan diri pada tujuan akhir: ambil bagian dalam kenaikan Yesus ke surga. Digunakan ungkapan αναληψεως, analepseos, dengan makna Yesus diangkat ke surga, “ketika saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa.” (Yoh. 13:1; bdk. Luk. 1:2-11; Mrk. 16:19).
Santo Lukas lebih menekankan peristiwa kenaikan Yesus ke surga dari pada sengsara dan kematian-Nya, yang akan terjadi dalam waktu segera. Sepanjang perjalanan, Yesus selalu membayangkan kemuliaan-Nya, bukan sengsara-Nya (Ibr. 12:2), “yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia.”, qui proposito sibi gaudio sustinuit crucem”.
Maka, keputusan pergi ke Yerusalem menjadi cara untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa, exodus. Konsekuensi keputusan ini amat berat. Sepanjang perjalanan Ia menghadapi pelbagai macam tantangan, kesulitan, bahkan, penolakan.
Kisah ini merupakan titik berangkat Yesus ke ibu kota, dari daerah pinggiran yang tidak diperhitungkan ke pusat hidup seluruh bangsa Yahudi, Yerusalem. Tidak semua orang mampu memahami pesan Yesus, bahkan pribadi-Nya.
Banyak orang meninggalkan-Nya. Dari dulu sampai hari ini, hal yang sama terjadi dalam komunitas iman kita. Banyak orang tidak mau memahami, menutup diri, dan meninggalkan kawanan.
PerjalananNya menuju Yerusalem
Yesus mengambil keputusan berat untuk pergi ke Yerusalem. Perjalanan ke Ibu Kota Israel dikisahkan melalui kisah panjang, lebih dari sepertiga bagian Injil Lukas (Luk. 9:51-19:28). Perjalanan ini sangat penting bagi Yesus.
Perjalanan yang panjang juga menjadi simbol perziarahan yang ditempuh jemaat. Mereka menempuh perjalanan yang sulit melalui budaya Yahudi dan Yunani-Romawi. Mereka harus mengatasi rintangan yang menghalangi tumbuh kembangnya pembaharuan yang dikelilingi mentalitas jaman.
Peziarahan mereka juga melambangkan pertobatan masing-masing orang – dari yang sulit menerima Yesus menjadi pribadi yang rela diubah untuk menjadi serupa dengan-Nya. Dalam peziarahan itu, para murid berusaha keras mengikuti-Nya, tanpa kembali ke tempat asal; walau tidak selalu berhasil.
Yesus juga menghabiskan banyak waktu untuk mendidik para murid untuk menjadi dekat dengan-Nya. Di sajikan salah satu contoh konkrit. Yesus meninggalkan Galilea dan melewati daerah Samaria. Ia mencoba mendidik para murid untuk menjadi pribadi yang terbuka pada semua, membuka diri pada orang lain, apa yang berbeda.
Mengirim utusan, tetapi tidak mau menerima
Yesus mengutus beberapa murid mempersiapkan apa yang dibutuhkan dalam perjalanan jauh di wilayah Samaria. Tugas Tugas itu berarti bahwa mereka diminta mewartakan Kabar Sukacita. Tetapi yang mereka temui adalah penolakan (Luk 9:53).
Mereka tidak diterima karena, memang, orang Samaria tidak mau bergaul dengan orang Yahudi (Yoh. 4:9). Penulis sejarah Yahudi yang hidup pada abad ke-1 Masehi, Flavius Josephus menulis bahwa bangsa Samaria sering mengkhianati bangsa Yahudi dengan membuat laporan palsu kepada raja Darius (Antiquities of the Jews, 11.4.9).
Mereka juga melaporkan kepada Ummidius Quadratus, pemimpin Siria, yang saat itu berada di Tirus, bahwa bangsa Yahudi membakar desa-desa mereka dan merampok habis-habisan. Di hadapan pemimpin Romawi, orang Samaria berharap penghukuman terhadap bangsa Yahudi (Antiquities of the Jews, 20.6.2).
Menyuruh api turun dari langit, membinasakan mereka
Kakak beradik, Yakobus dan Yohanes, begitu kecewa dan marah. Dendam mereka begitu membara pada orang Samaria yang menolak mereka.
Mereka mengharapkan orang yang menghalangi dan menolak dibinasakan seperti Elia meminta api dari langit menghanguskan panglima dan kelima puluh prajurit utusan raja Ahazia (2Raj. 1:10).
Dendam dan pembinasaan berlawanan dengan Yesus, bahkan musuh pun harus dikasihi (Luk. 6:27-36).
Yesus pun menegor mereka seperti Ia menegor Petrus dan menyebutnya setan (Mrk. 8:33). Mereka tidak mau sehati dan sejiwa dengan Yesus, yang menghayati jalan Hamba Yahwe. Mereka mengikuti setan yang hendak membelokkan tugas pengutusan Yesus.
Yesus dan murid-murid-Nya melanjutkan perjalanan
Penolakan oleh orang Samaria tidak menyurutkan niat Yesus untuk setia pada tugas perutusanNya. Ia dan para murid melanjutkan perjalanan. Rupanya, sekarang mereka sampai di daerah yang dihuni oleh orang Yahudi. Dan saat dalam perjalanan mereka berjumpa dengan beberapa orang yang ingin mengikuti-Nya.
Yesus melakukan hal yang tidak wajar. Ia tidak langsung menerima dan menyambut dengan suka cita tiga orang yang hendak menjadi pengikut-Nya. Ia malahan memberi peringatan pada mereka bertiga dan siapa pun yang hendak mengikuti-Nya.
Peringatan-Nya bertumpu pada tuntutan bahwa orang harus mempertimbangkan konsekuensi yang harus ditanggung, terutama terhadap relasi dan komitmen pribadi pada-Nya. Pada masing-masing dari ketiga orang itu Yesus menyampaikan peringatan akan konsekuensi yang harus ditanggung masing-masing, bila ingin menjadi murid-Nya.
Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang
Jawaban Yesus seolah memadamkan keberanian ketika Ia bersabda (Luk. 9:58), “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang.”, Vulpes foveas habent, et volucres caeli nidos.
Yesus mengacu kepada Herodes Antipas, istana dan kerajaannya, ketika berkata, “Pergilah dan katakanlah kepada si serigala itu.” (Luk. 13:32). Burung rajawali, aquila, melambangkan kekaisaran Romawi.
Setiap legion pasti membawa pataka dengan lambang rajawali yang merentangkan sayap dan huruf SPQR, Senātus Populusque Rōmānus, senat dan rakyat kota Roma.
Ia merujuk pada kenyamanan palsu di dunia, yang dapat direguk dari penguasa yang ganas, korup, rakus dan tak segan berkolaborasi menindas rakyat dan melanggengkan kuasa dengan segala cara.
Dengan kata lain, Ia meminta orang ini untuk meninggalkan segala hal, terutama kenyamanan yang diperoleh dengan cara melawan kehendak Allah.
Biarlah orang mati menguburkan orang mati
Orang kedua dipanggil-Nya, tetapi meminta ijin untuk menguburkan ayahnya (Luk. 9: 59). Mengutip peribahasa yang lazim pada waktu itu, Yesus bersabda (Luk. 9:60), “Biarlah orang mati menguburkan orang mati.”, Sine, ut mortui sepeliant mortuos suos.
Yesus menekankan bahwa untuk mengikuti-Nya seseorang harus memutus ikatan dengan masa lalu. Jangan pernah menghabiskan waktu untuk mengenang yang sudah terjadi. Tetapi tataplah masa kini dan masa depan.
Tugas perutusan yang sudah menanti (Luk. 9:60) “engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana.”, tu autem vade, annuntia regnum Dei.
Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang
Pada orang ketiga yang dipanggil-Nya, Yesus menuntut untuk memutus hubungan keluarga. Pada kesempatan lain, Ia bersabda, “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk. 14:26; Mat. 10:37).
Tuntutan ini jauh lebih keras dari pada Nabi Elia ketika mengijinkan Elisa berpamitan pada orang tuanya (1Raj. 19:19-21). Yesus juga menuntut pemutusan ikatan primordial, suku, kekerabatan, dan kedaerahan.
Dalam melaksanakan tugas perutusan, setiap orang yang dipanggil-Nya ditopang oleh komunio, persekutuan para murid yang percaya pada-Nya.
Yesus menghayati dan menyadari akan apa yang Dia tuntut dari para murid-Nya. Ia pergi ke Yerusalem untuk menyingkapkan tugas perutusan-Nya. Perjalanan-Nya ke Yerusalem (Luk. 9:51 – 19:27) ditampilkan sebagai perjalanan yang sedang dilakukannya (Luk. 9:51), tujuan kepergian yang hendak digenapiNya – εξοδος, exodos, exodus (Vulgata) (Luk. 9:31), atau (perjalanan) melintasi – πορεύομαι, poreuomai (Luk. 17:11).
Sesampai di Yerusalem Yesus memenuhi tujuan perjalananNya, εξοδος, keluaran baru, menuntaskan seluruh tugas pengutusan-Nya dan beralih dari dunia ke rumah Bapa (Yoh. 13:1).
Hanya pribadi yang benar-benar merdeka mampu melakukan tugas perutusan ini, karena keluaran baru ini mensyaratkan kesediaan pribadi untuk menyerahkan nyawa bagi seluruh saudara-saudarinya (Luk. 23:44-46; 24:51).
Setiap anggota jemaat harus sadar akan makna keluaran baru ini, sehingga mereka masing-masing layak ambil bagian dalam tugas perutusan-Nya
Katekese
Matikan apa yang mengikatmu di dunia. Origenes dari Alexandria, 185-254:
“Sabda Tuhan, “Biarkan orang mati menguburkan orang mati” bermakna secara rohani: Jangan buang-buang waktu untuk perkara orang mati. “Matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala” (Kol 3:5).
Maka, keburukan itu harus mati. Ennyahkan dari dirimu. Potonglah seperti kamu memotong bagian tubuh yang terkena koreng untuk menghidarkan tubuh dari infeksi. Maka kamu tidak akan mendengar lagi kata-kata, “Biarkan orang mati (secara rohani) menguburkan orang mati” (Mat 8:22).
Namun, bagi beberapa orang nampaknya sabda Sang Penebus bermakna tidak wajar dan bertentangan, karena Ia melarang para murid menguburkan orang tua mereka. Nampaknya tidak manusiawi. Tentu saja, Yesus tidak melarang orang menguburkan orang mati
Sebaliknya, Ia lebih menekankan pentingnya mewartakan Kerajaan Surga, yang membuat orang hidup (Luk. 9:60). Karena ada banyak orang orang yang bersedia menguburkan orang mati.” (dari Fragment 161)
Oratio-Missio
Ambillah, ya Tuhan, kebebasanku, kehendakku budi ingatanku. Pimpinlah diriku dan Kau kuasai. Perintahlah akan kutaati. Hanya rahmat dan kasih dari-Mu, yang kumohon menjadi milikku. Berikanlah menjadi milikku.
Lihatlah semua yang ada padaku, kuhaturkan menjadi milikMu. Pimpinlah diriku dan Kau kuasai, perintahlah akan kutaati. (doa Santo Ignatius Loyola, 1491-1556, terjemahan bebas).
- Apa yang harus aku lakukan untuk mengikuti Yesus dengan merdeka?
Nemo mittens manum suam in aratrum et aspiciens retro, aptus est regno Dei – Lucam 9:62