Memaknai Ramadhan: Mencermati Perilaku Konsumtif (2)

0
2,424 views

[media-credit name=”Ulul Huda” align=”alignleft” width=”150″][/media-credit]

FENOMENA puasa yang sakral seolah pupus oleh budaya pop masyarakat yang materialistik. Perluasan tradisi konsumtif masyarakat, seperti membeli makanan lezat, baju baru, mobil baru atau cat rumah baru, yang menyedot anggaran rata-rata rumah tangga berlipat ganda.

Sadar atau tidak, masyarakat telah terjerat kultur konsumerisme. Tak sedikit kalangan kelas menengah dan elite melakukan buka puasa dan tarawih keliling, dari hotel mewah satu ke hotel mewah lainnya. Dengan sajian berbuka yang mahal berlebih, secara ruhaniyah, perilaku ini jelas bersifat ria dan potensial mereduksi empati sosial.

Perilaku konsumtif

Puasa, yang sejatinya adalah sarana pengendalian diri, tak jarang malah membuat perilaku umat menjadi konsumtif. Kondisi ini tak lepas dari logika kapitalisme yang menempatkan ‘konsumsi’ sebagai titik sentral dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sesuatu yang bertolak belakang dengan pesan ruhaniyah puasa agar setiap muslim mampu mengendalikan sikap konsumtif sambil meningkatkan kepedulian terhadap sesama, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan menjadi insan kamil yang memiliki derajat ketakwaan paripurna.

[media-credit name=”Google” align=”alignright” width=”300″][/media-credit]

Menguatnya perilaku konsumtif umat telah melazimkan pemisahan urusan manusia dengan Tuhan, dehumanisasi antarsesama serta disharmoni antara manusia dan alam. Dalam konteks ini, pesan ruhaniyah puasa tak sungguh hadir dalam kehidupan konkret. Hingga kini, beragam bentuk kezaliman masih merajalela, kejahatan terus mengeskalasi, kekerasan tetap marak, proses dehumanisasi terus berlangsung. Dengan kata lain, ibadah puasa masih dianggap urusan teosentik-vertikal, bukan bagian integral dari urusan sosial-horisontal.

Islam tak membuat demarkasi antara spiritualisme dan materialisme. concern Islam terhadap peningkatan utility umat, sama besarnya dengan peningatan nilai-nilai spiritual umat. Islam amat mementingkan perilaku ekonomi umat, sebagai penggerak peradaban, sepanjang ia dilandasi oleh logika dan perilaku ekonomi yang etis dan bermoral.

Problemnya, ritual Ramadhan kini telah menjadi komoditas industri. Berbagai industri media, terutama televisi, dengan dukungan industri hiburan, berpacu memanfaatkan momentum Ramadhan untuk menayangkan beragam program hiburan, mulai dari sinetron, dakwah, kuis , talkshow hingga pentas musik dan tari yang dibungkus dalam nuansa Islami.

Dunia industri dan bisnis hiburan memanfaatkan peluang pasar di bulan ramadhan, kendati produk yang mereka tawarkan sama sekali tidak terkait dengan substansi ibadah puasa. Di sini, Ramadhan telah menjadi bulan para produsen, artis, dan dunia hiburan.

Titik puncak

Hal yang cukup mencengangkan adalah persiapan untuk menyambut Idul Fitri sudah dilakukan jauh hari sebelumnya. Dalam hal ini, persiapan yang tampak menonjol justru bukan dari lingkup spiritual, tetapi lebih cenderung pada perspektif material. Lebaran, bagi kaum urban, lebih dimaknai sebagai tujuan instan dari ibadah puasa, bukan proses menahan keinginan dan berbuat kebaikan untuk menjadi manusia yang baru di hari kemenangan. Dalam konteks ini, Idul Fitri menjadi titik puncak budaya konsumtif masyarakat perkotaan.

Kecenderungan yang utama adalah kebiasaan membeli barang-barang konsumsi secara berlebihan. Peribahasa besar pasak daripada tiang menggejala di sebagian masyarakat perkotaan. Pasar tradisional sampai pusat perbelanjaan menjadi objek penderita untuk melampiaskan nafsu, yang ironisnya terjadi di bulan suci, dengan alasan menyemarakkan suasana Idul Fitri.

[media-credit name=”Google” align=”alignleft” width=”287″][/media-credit]

Memaknai secara salah

Dari anak kecil sampai manusia lanjut usia, misalnya, menginginkan baju Lebaran, suatu istilah yang bermakna pakaian serba baru yang dibeli untuk menyambut hari Idul Fitri. Untuk memenuhi nafsu itu, tidak jarang kaum urban menguras tabungannya, atau yang lebih parah mengadai kekayaan fisiknya ke pengadaian yang dengan senang hati menerimanya. Berbagai perangkat elektronik tersier, seperti kulkas, telepon gengam, televisi, komputer, dan kendaraan bermotor bermerek dibeli tanpa tujuan yang jelas. Akibatnya, pasca Lebaran, bahkan selama setahun, masyarakat perkotaan sibuk melunasi cicilan, kalau tidak menjual barang itu kembali dengan harga yang lebih murah.

Gejala lain yang biasanya muncul berelasi dengan tradisi mudik. Setiap kaum urban yang masih memiliki sanak keluarga di pedesaan memiliki kecenderungan untuk bersilahturahmi dengan segenap familinya. Namun demikian, misi baik di bali Idul Fitri ini, kini, lebih banyak dibumbui dengan aksi pamer. Tujuannya bukan saja meningkatkan status sosial individu dan keluarganya, tetapi terutama karena gengsi dengan saudara, tetangga, dan teman.

Orientasi pembelian barang pun cenderung dipenuhi oleh kepentingan memamerkan kekayaan, dalam rangka menunjukkan kesuksesan, yang sering kali, semu demi tujuan yang imajiner. Kaum urban merasa lebih terhormat, misalnya, bila pulang dengan kendaraan sendiri daripada menumpang kendaraan umum. Idul Fitri bukan lagi menjadi media untuk mempererat tali persaudaraan yang renggang, tetapi menjadi media yang paling potensial untuk melampiaskan nafsu material ,melalui simbol kebendaan, di kampung halaman. (Bersambung)

Ulul Huda MA, mengasuk  pondok pesantren Al Hidayah di Karangsuci, Purwokerto; bersama para aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) ikut membentuk Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here