SALAH satu ciri khas orang beriman adalah memaknai segala sesuatu dalam lintasan hidupnya dalam terang iman. Karena itu, pemilu bagi orang beriman adalah sebuah panggilan iman.
Inilah panggilan untuk mewujudkan kebaikan. Panggilan mulia untuk ambil bagian dalam karya Sang Pencipta, sekaligus proses keselamatan bagi jiwa sendiri.
Sudah sepatutnya semua umat beriman serius ambil bagian didalamnya. Namun, manakah yang harus dipilih? Sudah benarkah informasi dasar yang dipakai untuk memilih? Apakah justru tanpa disadari telah termakan hoax politik yang bertebaran?
Sebuah lembaga penelitian menunjukkan bahwa 132 juta penduduk Indonesia (50% dari populasi) kini adalah pengguna aktif internet.
Dari jumlah itu:
- 44,3% setiap hari menerima sekali hoax;
- 17,2% bahkan menerima lebih dari satu kali setiap hari;
- 29,8% menerima hoax seminggu sekali;
- hanya 8,7% yang menerimanya sebulan sekali.
Serbuan hoax tengah melanda Indonesia. Hoax merusak rasionalitas, karena mengikis kebenaran objektif dan menggantinya kebenaran semu. Padahal, suksesnya demokrasi sangat bergantung pada rasionalitas warga saat pemilu.
Informasi salah yang terus menerus diterima, dapat menjadi kebenaran pribadi yang menyesatkan. Penelitian juga menunjukkan bahwa:
- 91,8 % jenis hoax yang diterima menyangkut sosial politik (kepentingan pemilu dll);
- 88,6% menyangkut isu sara;
- 41,2 % menyangkut kesehatan;
- dan sisanya berkaitan dengan makanan, minuman, penipuan keuangan, dan berita palsu.
Mengalami bias
Melihat data diatas, tidak heran apabila banyak orang mengalami kebingungan atau bias informasi politik dan kecenderungan intoleransi. Dua hal itu telah menjadi momok demokrasi Indonesia dewasa ini. Pemilu telah berubah drastis menjadi peristiwa mengkhawatirkan, ketimbang sebuah pesta demokrasi wujud kemenangan kepentingan rakyat.
Penelitian Wahid Foundation bulan September 2018 menunjukkan:
- 51% masyarakat cenderung intoleran;
- 48,3% netral;
- dan hanya 0,7% yang toleran.
Ini fakta mengerikan di negara yang sangat beragam ini.
Tantangan serius
Ingat bahwa ada 1.340 etnis dengan 1.211 bahasa daerah yang tinggal di 17.504 pulau di Indonesia.
Bagaimana mungkin sebuah negara yang punya kekhasan keberagaman ini dapat bertahan menghadapi badai bias politik dan intoleransi semacam ini?
Apalagi tingkat pendidikan mayoritas penduduk Indonesia masih tergolong rendah (lebih dari 40 % tamatan SD), sehingga diperkirakan sulit mengkritisi hoax.
Ini adalah tantangan besar pemilu 2019. Yakni, tantangan serius atas ancaman perpecahan bangsa.
Apakah kita membiarkan saja ancaman itu terjadi? Apa yang bisa dan harus kita lakukan? Bagaimana kondisi Indonesia sebenarnya?
Kondisi kekinian Indonesia
Secara umum, walau lambat, gerak institusi-institusi pemerintahan Indonesia menunjukkan tren positif. Agenda pemberantasan korupsi, pelan tapi menunjukkan peningkatan.
Lembaga global Transparency International (TI) menunjukkan bahwa nilai atas tingkat korupsi di Indonesia terus meningkat dari 20 (dari skala 0-100) pada tahun 1998, menjadi 38 pada tahun 2018.
Indonesia yang tadinya terburuk dalam hal korupsi di ASEAN tahun 1998. Pada tahun 2017 naik menjadi peringkat kelima dibawah Singapura, Brunei Darusalam, Timor Leste dan Malaysia, sama dengan Thailand, dan lebih baik dibanding Vietnam, Filipina, Myanmar, Kamboja dan Laos.
Walau masih tertinggal ditingkat ASEAN, proses perijinan investasi di Indonesia juga terus membaik. Dari peringkat 128 dunia di tahun 2013, menjadi peringkat 109 di tahun 2016.
Infrastruktur yang digenjot pemerintah belakangan ini telah menaikkan kelaikan infrasturuktur Indonesia di urutan ketiga di ASEAN (setelah Singapura dan Malaysia) dan ke-30 dunia (sebelumnya 36), menurut hasil pertemuan IMF–Bank Dunia tahun 2018 yang membahas infrastruktur. Kemajuan Infrastruktur tentu berdampak luas pada pemerataan ekonomi dan peningkatan daya saing Indonesia.
The Global Competitiveness melaporkan peningkatan daya saing Indonesia dari 47 di tahun 2017 ke 45 di tahun 2018. Dilingkungan ASEAN, daya saing Indonesia hanya dinilai kalah dengan Singapura, Thailand, dan Malaysia.
Dalam konteks kesenjangan sosial, Indonesia pernah mengalami angka rasio gini (yang menunjukkan tingkat kesenjangan sosial) mengkhawatirkan yaitu 41 pada periode 2011-2015. Angka itu telah bergerak menurun sampai 39 di tahun 2017.
Angka kemiskinan juga menunjukkan penurunan terus sejak 2010 sampai 2018. Dan pada 2018, untuk pertama kalinya angka kemiskinan di Indonesia mencapai dibawah 10%. Walaupun dibanding tetangga-tetangganya di wilayah ASEAN, kemiskinan di Indonesia masih memprihatinkan.
Hal serupa terjadi pada pengembangan sumber daya manusia.
IPM (Indeks Pengembangan Manusia) Indonesia meningkat dari 66,53 pada tahun 2010 menjadi 70,81 pada tahun 2017. Walaupun sumber daya manusia Indonesia juga masih tertinggal dibanding Singapura, Vietnam, Malaysia, Filipina.
Hal ini terutama disebabkan rendahnya tingkat pendidikan.
Hal serius lain yang dihadapi Indonesia adalah penguasaan sumber daya alam oleh asing yang terus terjadi sejak awal kemerdekaannya. Banyak sektor yang penting dan berkaitan dengan hajat hidup rakyat dikuasai asing. Sebut saja misalnya pertambangan, perbankan, telekomunikasi, perkebunan kelapa sawit, dll.
Tentu ini sebuah tantangan yang besar bagi Indonesia untuk merebut kembali bagi kemaslahatan warganya. Ini tantangan besar dan berat. Proses pengambilalihan kepemilikan atas Blok minyak Mahakam, Blok minyak Rokan, Inalum, Newmont, dan Freeport, adalah pencapaian baru yang memberi harapan.
Untuk masalah-masalah sosial, angka kriminalitas cenderung stagnan dari tahun 2013-2017. Beberapa kejahatan berhasil ditekan, namun ada yang stagnan, naik, dan muncul jenis baru. Tantangan paling serius adalah masalah penanganan narkoba.
BNN (Badan Narkotika Nasional) memproyeksikan peningkatan pengguna narkoba dari 4,1 juta di tahun 2014 menuju 5 juta di tahun 2020. Narkoba belum terbendung.
Ini tantangan serius untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa. Fenomena sosial lain yang berdampak luar biasa adalah peningkatan drastis penggunaan media sosial dan berujung merebaknya hoax.
Sekilas data di atas tentu tidak dapat menggambarkan keseluruhan kompleksitas permasalahan Indonesia. Namun setidaknya dapat memberikan gambaran Indonesia sebagai negara yang sedang berjuang keras menuju cita-citanya, bukan sebaliknya, menuju “bubar”.
Banyak kebaikan yang telah dicapai, juga banyak kekurangan yang masih harus diperjuangkan.
Banyak negara yang dalam beberapa aspek lebih berhasil dari Indonesia, namun yang lebih buruk juga lebih banyak lagi (daya saing Indonesia di peringkat 45 dari 140 negara).
Ancaman terbesar bagi Indonesia saat ini, justru datang dari maraknya hoax yang berujung pada bias politik dan intoleransi.
Diproduksi dengan sengaja
Kedua ancaman ini sejatinya tidak nyata, melainkan diproduksi oleh para intelektual jahat semata. Bias informasi politik bisa diatasi apabila warganegara mau terus mencari data valid dari sumber-sumber netral terpercaya.
Banyak lembaga penyedia informasi yang punya track record baik yang panjang. Hoax sara lebih tidak nyata lagi, sejarah telah menunjukkan masyarakat beragam bisa hidup berdampingan secara damai di Indonesia. Agama-agama pasti tidak pernah meminta umatnya untuk menjadi “serigala” bagi sesamanya.
Panggilan iman
Untuk menjawab tantangan ini, pemilu 2019 perlu dimaknai dalam konteks panggilan iman. Panggilan untuk:
- Berani keluar dari kenyamanan diri, dari ketakutan terhadap politik, dari ketidakpedulian egoistik, untuk berjuang mendapatkan data-data yang benar demi mencapai landasan benar dalam memilih. Hoax perlu dilawan bersama dengan menyuarakan yang benar.
- Mewujudkan diri sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab, dengan berpartisipasi aktif di hari pemilihan.
- Menerima apapun hasil pemilihan dengan lapang dada dan terus memperjuangkan persaudaraan semesta di NKRI, sebagai panggilan iman. Tidak ada negara atau keluarga yang bebas tantangan, keberhasilan diserahkan pada upaya anggota untuk mewujudkan cita-cita baik mereka.
Mari kita bersama lewati tantangan ini sebagai bagian dari proses iman.