Home BERITA “SOEGIJA” atau “Soe-GARIN”? (2)

“SOEGIJA” atau “Soe-GARIN”? (2)

8

Bukan Biografi, Lalu Apa?

Kekecewaan dan keingintahuan saya akan film ini membuat saya mencoba berdiskusi dengan beberapa teman. Menurut beberapa teman memang film ini bukanlah film yang menceritakan otobiografi Romo Soegija, sehingga menjadi wajar bila karakter Soegija dalam film tidak terlalu kuat. Pertanyaan berikutnya yang muncul dalam benak saya , “lalu ini film tentang apa?”. Sungguh saya kurang menangkap maksud yang ingin disampaikan dalam film ini, karena aspek-aspek dalam film menurut saya tidak ada yang terlihat ditonjolkan. Dari aspek dialog, saya melihat bahwa dialog yang ada sebagian besar dinyatakan secara simbolik sesuai dengan gaya penyampaian Garin, sehingga sulit untuk dipahami secara langsung.

Mendengarkan dialog dalam film Soegija mengandaikan penonton untuk mencerna dialog yang terjadi dalam konteks di masa lalu  secara mendalam dan lalu dikaitkan pada kondisi kekinian, sehingga barulah dapat dipahami maknanya. Kesulitan lain pun dirasakan karena dialog tidaklah mengalir, namun cenderung patah-patah dan secara gamblang tidak nampak korelasinya secara langsung dari satu adegan ke adegan lain. Hanya saja bila saya boleh mengandaikan, mungkin saja pembuat film ini ingin menyadarkan penonton di zaman ini agar menghargai jasa pahlawan di masa lalu, karena banyak dialog yang menyampaikan agar suatu saat kita dapat menceritakan perjuangan di masa lalu (seperti dialog antara Hendrick  yang memberi foto pada Mariyem, atau monolog salah satu pejuang pemuda yang melihat  teman-temannya mati di medan perang). Namun sekali lagi karena tidak ada keruntutan alur, maka dialog-dialog yang inspiratif tersebut akan menjadi dangkal dan bukan tidak mungkin menguap seusai menonton film.

Penonton dan Soegija

Sementara dilihat dari aspek adegan atau scene, adegan dalam film ditampilkan secara terfragmentasi satu dengan yang lain, sehingga memang bukan alur atau kronologi runtut yang disajikan dan didapatkan, namun potongan-potongan/mosaik scene yang harus dirangkai penonton dengan logika yang cukup berat. Mekanisme penayangan semacam ini membuat penonton kebanyakan tidak dapat menghayati adegan, karena baru masuk ke dalam salah satu penceritaan dan belum klimaks, penonton sudah dialihkan ke scene lain. Ini mengandaikan penonton berpikir keras saat menonton agar mendapat maknanya. Penyajian yang demikian nampaknya kurang cocok diterapkan pada karakeristik penonton Indonesia.

Betul juga bila ada pendapat yang mengatakan penonton Indonesia sudah terlalu lama dijejali film Hollywood dengan alur linear, penuh heroisme, terlalu tokoh sentris sehingga sulit untuk memahami film Soegija. Namun demikian saya kira ini pendapat yang tidak fair. Apalah artinya sebuah film yang baik bila pesan terdalamnya,  keindahan dialognya, dan relevansinya sangat sulit dicerna oleh penonton begitu keluar dari gedung bioskop? Apakah film ini memang didesain agar penontonnya berpikir keras untuk mendapatkan sesuatu yang mendalam, lebih dari sekedar dari bayangan dan kesan atas gambar-gambar hidup? Beberapa penonton yang notabene beragama Katolik pun kesulitan untuk mencari pesan terbaik dari film ini, karena rasanya datar dan terkesan dangkal, kurang mendalam.

Dilihat dari segi sudut pandang penceritaan, saya merasa film ini terlalu luas mengambil sudut pandang penceritaan. Film ini berusaha menceritakan baik dari sudut pandang penjajah dengan adanya tokoh jurnalis dan tentara Belanda  bahkan tentara Jepang, namun juga menceritakan pribumi Indonesia melalui tokoh Mariyem, dkk. Penceritaan semacam ini sangatlah luas namun menjadi kurang mendalam .

Penokohan dalam film ini juga saya rasa kabur, karena tidak ada satu tokoh yang ditonjolkan. Satu-satunya tokoh yang menurut saya cukup kuat justru bukanlah tokoh Romo Soegija, melainkan tokoh Mariyem yang menjadi perawat korban perang. Penokohan dalam film, banyak yang saya rasa kurang signifikan, seperti tokoh Tionghoa yang diperankan Olga Lidya yang hanya muncul 2 kali, saya rasakan sangat kurang signifikan dimasukkan dalam film. Saya mencoba meraba, apakah mungkin maksud pembuat film adalah ingin menampakkan bahwa etnis Tionghoa di Indonesia juga turut merasakan dampak penjajahan dan perang, ataukah hanya sekedar “tokoh pemanis” dalam film.

Sekali lagi cukup sulit mengerti makna yang sesungguhnya karena keseluruhan aspek dalam film tersebut terlalu banyak dinyatakan melalui ranah simbolik dan terlebih terfragmentasi. Meski tidak dipungkiri sinematografi dan penataan musik dalam film sangatlah indah dengan menggandeng Djaduk Ferianto, namun tentu hal tersebut tidaklah cukup untuk mengemas sebuah film menjadi mudah diterima berbagai kalangan, mengingat yang menonton film ini tidak hanya penonton dewasa yang stock of knowledge-nya sudah tinggi, namun juga ditonton oleh khalayak ramai seperti anak-anak sekolah dan remaja. Tidak dapat disangkal, kultur Garin dalam film ini memang sangat kuat, terutama berkaitan dengan cara penyajian film berikut aspek-aspek yang ada di dalamnya, seperti ditemukan dalam film-film garapan Garin yang lain. Menonton Soegija tak ayal bagai menonton teater tentang zaman penjajahan dengan gaya bahasa, alur, dan penceritaan yang simbolik dan cenderung terfragmentasi, serta tidak menonjolkan karakter Soegija-nya. Oleh karenanya, secara anekdotal judul yang pas untuk film ini  mungkin bukanlah “ Soegija” namun “Soe-Garin”.

 

Leonella Petrina Massardi

Mahasiswi Sosiologi FISIP Universitas Indonesia,
alumnus SMA Kolese Loyola Semarang

8 COMMENTS

  1. Tak sependapat … boleh kan ?! Kesan penulis terlalu subyektif, tidak melihat apalagi mengurai, keindahan cerita serta pesan2 mendalam yang hendak disampai-ungkapkan. Sayang penulis tak bisa mengambil makna positif dari keberadaan film ini. Apalagi melihat ke-kompak-an para calon penonton yang ramai2 mendatangi bioskop untuk menonton film ini. Dahsyat dari cucu sampai kakek datang nonton rame2 … kalau perlu satu desa, naik truk datang ke kota untuk nonton film ini.

  2. Kekecewaan ?? tampaknya berlebihan . Film ini jelas merupakan tontonan menarik yang menghibur untuk semua khalayak umat .Se misal tokoh Sugiya ditampilkan spt dalam film persiapannya beliau mengatakankepada pemuda2 sbb : “Pergilah berjuang dan jangan kamu kembali sebelum kamu mati” jelas sebagai kata 2 keras dari Sugiya ( Sugiya mendengarkan ajaran sang Guru ). Nah bila ini ditampilkan , tentu saja hampir tidak ada umat zaman sekarang yang akan mengerti dan mungkin film Sigiya akan jadi film aneh .
    Saya rasa Garin cs sudah menata dengan apik , film ini untuk jadi tontonan yang menarik , menghibur dan cukup bagus menampilkan tokoh Sugiya yang bisa juga melucu ( apakah tokoh asli juga seperti ini ?; mungkin disinilah sisi baik Sugiya ). Yang jelas ketokohan Sugiya dan kepahlawanannya , keberpihakannya dalam tindakan dan tulisan , sungguh sudah ditampilkan dengan cukup sempurna oleh su Garin .

  3. Saya hampir sepenuhnya sependapat dengan Leonella.
    Saya juga merasakan bahwa dalam film “Soegija”, justru tokoh Uskup
    Soegijapranoto kurang terlihat sebagai tokoh paling utama. Seolah hanya salah satu tokoh utama, bersama dengan Mariyem, fotografer Belanda, kakek dan cucu serta tentara Jepang….

    Juga Romo Soegija terlihat sendirian terus-terusan….seolah di tempat
    tinggal beliau (pastoran /keuskupan) beliau tinggal dan bertugas sendirian…ditemani orang koster saja. Kan mestinya ada romo-romo lainnya…dsb. Dan cobalah misalnya, film dimulai dengan masa kecil Soegija…lingkungannya hidupnya semasa muda…..

    Pengambilan gambar memang bagus dan artistik !

    Demikian a.l. pendapat saya….yang orang awam…bukan ahli perfilman..

  4. Saya setuju dengan artikel ini. Saya kira Mbak Leonella cukup jujur di dalam menyampaikan pendapatnya. Banyak kok umat katolik yang “mengeluh” bahwa filmnya “cemplang”,datar. Beberapa orang tua/kaum sepuh yang sempat saya temani menonton film ini mengatakan filmnya kok “cethek” ya?. Saya sendiri ya merasa filmnya memang datar, “kurang nendang”, setelah keluar dari bioskop rasanya kurang puas dan ada yang kurang. Beberapa orang yang diingat cuma Butet dan banyolannya….teman yang lain malah ngomong panjang lebar seolah mencari pembenaran bahwa film ini bagus ketika saya dan teman-teman merasakan betapa datarnya film Soegija ini….mbok ya jujur aja bahwa filmnya memang datar dan sering sulit dimengerti…ndak usah omong ndakik-ndakik mencari excuse…

    Mbok lain kali kalau Puskat bikin film lagi tolong dipertimbangkan donk perspektif penontonnya. Jangan sampai penonton malah terkesan “dipaksa” untuk menikmati film yang sulit dipahami. Benar kata Leonella, jangan penonton malah disalahkan karena dianggap terlalu banyak nonton film hollywood…

  5. Perasaan yang saya rasakan selesai menonton film Soegija itu persis seperti yang dilukikan oleh Sdri Leonella. Terimakasih telah membahasakannya dengan sangat baik dan apa adanya. Memang saya sendiri ikut menyebarkan di milis mengenai pentingnya menonton film ini. Saya juga ikut menjadi pembicara ketika MPK KAJ membantu dalam mencari sponsor film ini. Saya membaca buku biografi Mgr Soegija dan mencoba mencari karakter yang pantas kita teladani (untuk generasi kita). Nah, karakter-karakter pahlawan itulah yang saya harapkan akan saya lihat ketika menonton film ini; dan itu tidak saya dapatkan. Ini memang subyektif sekali. Karena berkaitan dengan harapan pribadi saya. Tapi saya cek pada cendekiawan Katolik yang ikut menonton, mereka juga merasakan perasaan yang sama. Jadi saya sedikit ragu, bahwa film ini telah menggambarakan kepahlawanan Mgr Soegija. Dan bila saya melihat dari sudut pengalaman saya, “justru rasanya Umat Katolik yang kasihan. Telah membayar mahal mulai dari sumbangan sponsor, juga waktu menonton dengan sesuatu yang penuh tanda tanya.” — lebih buruknya lagi, setelah mereka pulang, harus mereka membohongi dirinya sendiri dengan mengatakan, “Benar, hebat sekali film ini…” — Dan beberapa orang ikut meneguhkan hal itu, seolah setelah menonton film ini mereka telah mendapat pencerahan, apa itu konsep pahlawan yang sangat luar biasa dalam film Soegija. Maka tulisan Saudari Leonella itu mewakili sekali sikap jujur seorang Katolik yang seharunya diperhatikan bila ingin membut film seperti ini di masa depan. Bagaimanapun kita telah menggiring umat dengan sangat baik, hanya jangan sampai umat akhirnya merasa seperti diperalat dalam sebuah bisnis (menjadi pendana, lalu penonton) dari sebuah bisnis film.

  6. Setuju dengan artikel Mbak Leoni. Film yang berjudul Soegija,sebenarnya yang harus ditonjolkan adalah Tokoh Kanjeng Romo Soegija. Bagaimana Kanjeng Romo memperjuangkan hak – hak rakyat dan dengan kata lain kepahlawanan dari Kanjeng Romo Soegija. Dari segi cerita kata orang jawa kurang “greget”, memang Film Soegija banyak menyedot penonton kebayakan umat Katolik. Entah dari anak – anak sampai Tiyang sepuh dan pasti di dalam benak para penonton Film Soegija adalah kisah dari Kanjeng Romo Soegija, mungkin..mungkin dalam benak penonton film ini adalah perjalanan Beliau dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat dan negara. Dan saran saya, suatu saat saya harap ada sebuah film yang benar – benar mengisahkan perjalanan Kanjeng Romo soegija. Agar semua orang bisa mengenal lebih dekat siapa Beliau, tidak hanya umat Katolik tetapi masyarakat bukan Katolik juga bisa mengenal Pahlawan Nasional seperti Kanjeng Romo Soegija, sehingga bisa menjadi teladan bagi pemuda pemudi Indonesia untuk berani memperjuangkan hak – hak masyarakat sekitarnya dari rasa egoisme….Tuhan Memberkati.

  7. Kalau Sogija dibuat semata mata sebagai kisah hidup romo Kanjeng ,wah kira 2 nya apa ada yang nonton ya . Ini kan zaman modern , rata 2 umat itu melekat pada hal 2 duniawi , mengejar Kekuasaan , Kekayaan dan Kehormatan .
    Soegija jelas menampilkan sosok romo Kanjeng yang sangat tegas ada pada sisi mereka yang dizolimi , mereka yang miskin , mereka yang tertindas dan Soegija sangat tegas dalam tindakan dan tulisan menunjukkan dirinya sebagai murid Kristus sejati sekaligus manusia Indonesia .
    Saya bisa mengerti keinginan mereka 2 yang berfikir negative , biasanya mereka juga menginginkan sosok Yesus seperti dalam pikiran /keinginan mereka.

  8. film ini klo menurut saya, lebih menonjolkan bagaimana menjadi katolik bukan orang beragama katolik..soegija dipahami sebagai katolik bukan tokoh pemimpin katolik….mengajak kita memahami sifat sosial manusia dalam proses hubungan interaaksi kehidupan sehari hari..seperti seorang koster/pelayan dimaknai sebagai teman, sahabat, saudara….atau lebih tepatnya kita diajak untuk memanusiakan manusia..salam

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version