Paus Leo XIII dan Warisan Ajaran Sosial Katolik

0
58 views
Ilustrasi: Buruh penambang pasir. (Ist)

PADA akhir abad ke-19, dunia berada dalam pergolakan besar. Revolusi industri telah mengubah wajah masyarakat. Kapitalisme tumbuh dengan pesat, tetapi membawa serta eksploitasi buruh, ketimpangan sosial, dan kemiskinan struktural.

Sosialisme dan Marxisme muncul sebagai respons. namun dengan cara yang radikal dan menolak keberadaan tatanan religius.

Di tengah situasi itu, Gereja Katolik menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap relevan dalam dunia modern yang berubah cepat, namun tetap setia pada ajaran iman yang abadi?

Ajaran Sosial Gereja (ASG)

Jawaban atas tantangan itu lahir melalui kepemimpinan seorang Paus yang memiliki visi tajam dan keberanian moral: Paus Leo XIII. Ia memimpin Gereja Katolik dari tahun 1878 hingga 1903, dan dalam masa kepemimpinannya yang cukup panjang itu, ia meletakkan dasar bagi apa yang sekarang dikenal sebagai Ajaran Sosial Gereja (ASG).

Melalui ensikliknya yang terkenal, Rerum Novarum (1891), Paus Leo XIII tidak hanya menjawab permasalahan sosial-ekonomi zamannya, tetapi juga memberikan warisan pemikiran sosial yang tetap bergema hingga hari ini.

Paus Leo XIII memandang situasi dunia industri dengan pandangan realistis, namun tetap berlandaskan iman. Ia tidak menolak Kapitalisme secara mutlak, tetapi mengkritik keras bentuk Kapitalisme yang menjadikan manusia sekadar alat produksi.

Ia juga tidak serta-merta menerima Sosialisme yang hendak menghapuskan hak milik pribadi. Dalam pandangannya, manusia bukan sekadar makhluk ekonomi, tetapi pribadi yang memiliki martabat karena diciptakan menurut citra Allah.

Sistem ekonomi untuk kesejahteraan manusia

Oleh karena itu, sistem ekonomi apa pun harus mengutamakan kesejahteraan manusia, bukan sebaliknya. Dalam Rerum Novarum, Paus Leo XIII menegaskan bahwa hak atas milik pribadi adalah bagian dari kodrat manusia.

Hak ini bukan sekadar legalitas, tetapi memiliki dasar moral yang kuat. Ia menentang ide penghapusan kepemilikan oleh negara seperti yang didengungkan kaum sosialis. Namun, ia juga menekankan bahwa hak milik membawa tanggungjawab sosial.

Kepemilikan tidak boleh menjadi alat untuk menindas atau memperkaya diri secara egoistik, melainkan harus digunakan demi kebaikan bersama.

Hak buruh untuk berserikat dan kondisi kerja kondusif

Salah satu warisan terpenting Paus Leo XIII adalah pengakuannya terhadap hak buruh untuk berserikat dan menuntut kondisi kerja yang adil. Pada masanya, tuntutan seperti ini dianggap radikal dan bahkan revolusioner.

Tetapi Paus Leo XIII dengan berani menyatakan bahwa pekerja memiliki hak untuk memperjuangkan upah yang layak, waktu kerja yang manusiawi, dan lingkungan kerja yang aman.

Ia memihak kaum buruh. Bukan sebagai bentuk perjuangan kelas, tetapi sebagai ekspresi dari keadilan dan kasih kristiani. Dengan demikian, ia membuka jalan bagi Gereja untuk hadir dalam persoalan-persoalan konkrit umat manusia.

Ilustrasi: Prinsip solidaritas dan subsidiaritas. (Good Distinction)

Prinsip solidaritas dan subsidiaritas

Lebih jauh lagi, Rerum Novarum meletakkan dasar prinsip solidaritas dan subsidiaritas.

  • Solidaritas menekankan bahwa manusia hidup dalam jaringan relasi sosial yang saling mendukung. Ketidakadilan terhadap satu pihak adalah luka bagi seluruh tubuh sosial.
  • Subsidiaritas mengajarkan bahwa persoalan sosial sebaiknya ditangani oleh struktur yang paling dekat dengan persoalan itu, bukan oleh otoritas yang jauh dan terpusat. Prinsip subsidiaritas ini sangat relevan dalam konteks tata kelola pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat di era modern.

Pentingnya studi filsafat

Refleksi atas warisan Paus Leo XIII tidak hanya berkaitan dengan isi dokumennya, tetapi juga dengan pendekatan spiritual dan intelektual yang ia tunjukkan. Ia adalah paus pertama yang membuka pintu dialog antara Gereja dan filsafat modern.

Ia menegaskan pentingnya pendidikan dan kebebasan akademik dalam semangat iman. Dalam ensiklik Aeterni Patris (1879), ia menyerukan kembalinya studi filsafat kepada warisan Santo Thomas Aquinas sebagai fondasi rasional bagi iman Katolik.

Ini bukan semata-mata usaha konservatif, melainkan strategi cerdas untuk mempersenjatai Gereja dalam menghadapi arus sekularisme dan relativisme yang makin kuat.

Paus Leo XIII juga seorang pemimpin yang peka terhadap persoalan global. Ia berusaha menjalin hubungan diplomatik yang luas, menyadari bahwa Gereja tidak boleh terkurung dalam tembok-tembok Vatikan.

Ia mengembangkan pemikiran politik yang mendalam, termasuk soal kebebasan beragama, hubungan Gereja dan negara, serta peran Gereja dalam membentuk kesadaran publik.

Ia adalah jembatan antara dunia lama dan dunia baru, antara tradisi dan modernitas, antara otoritas dan kebebasan.

Ilustrasi – Jurang kesenjangan sosial (Kompasiana)

Ensiklik-ensiklik lainnya

Warisan pemikiran sosial Paus Leo XIII kemudian diteruskan dan diperdalam oleh para paus sesudahnya. Ensiklik Quadragesimo Anno oleh Paus Pius XI (1931), Mater et Magistra oleh Paus Yohanes XXIII (1961), Populorum Progressio oleh Paus Paulus VI (1967), hingga Centesimus Annus oleh Paus Yohanes Paulus II (1991), semuanya merujuk pada fondasi yang diletakkan oleh Rerum Novarum.

Ajaran Sosial Katolik berkembang sebagai suatu tradisi reflektif yang hidup, merespons tanda-tanda zaman namun tetap berpijak pada prinsip-prinsip iman dan keadilan.

Peran ASG

Di era kontemporer, warisan Paus Leo XIII semakin relevan. Ketika dunia menghadapi globalisasi ekonomi, krisis ekologi, migrasi besar-besaran, dan polarisasi sosial-politik, Ajaran Sosial Gereja menjadi suara profetik yang mengingatkan bahwa pembangunan tanpa keadilan akan berakhir pada kehancuran.

Gereja dipanggil bukan untuk menjadi penonton pasif atau moralistik, tetapi pelaku aktif dalam membentuk struktur sosial yang lebih manusiawi dan beradab.

Ajaran Sosial Gereja tidak pernah dimaksudkan sebagai ideologi politik, melainkan sebagai kompas moral yang mengarahkan manusia pada kebaikan bersama.

Dalam semangat itu, Paus Leo XIII bukan hanya memberi petunjuk bagi umat Katolik, tetapi juga kontribusi universal bagi seluruh umat manusia. Ia mengajarkan bahwa keadilan sosial bukan pilihan tambahan, tetapi esensi dari iman yang hidup.

Tradisi kerja bakti sosial di kalangan masyarakat Bali dikenal dengan istilah ngayah. Tradisi ini juga tetap hidup di kalangan umat Katolik Bali. (Paulus Subiyanto)

Catatan reflektif

Dalam diri orang miskin, tertindas, dan tersingkir, Kristus hadir dan menuntut jawaban nyata dari para pengikut-Nya. Refleksi terhadap Rerum Novarum juga menantang kita untuk meninjau ulang cara kita melihat pekerjaan, kapital, dan kemajuan.

  • Apakah sistem ekonomi yang kita hidupi saat ini menghargai martabat manusia?
  • Apakah kita sebagai masyarakat masih mampu menempatkan etika di atas keuntungan?
  • Ataukah kita telah menyerahkan kendali kepada mekanisme pasar yang buta terhadap nilai-nilai kemanusiaan?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tidak bisa dilepaskan dari semangat yang diwariskan Paus Leo XIII.

  • Ia mengingatkan bahwa keadilan sosial tidak akan pernah tercapai tanpa keterlibatan aktif dari semua pihak: negara, masyarakat sipil, institusi keagamaan, dan individu.
  • Ia juga menekankan bahwa setiap transformasi sosial harus dimulai dari hati manusia—sebuah pertobatan batin yang membuka diri terhadap belas kasih dan solidaritas.

Warisan Paus Leo XIII bukan hanya dokumen bersejarah, tetapi panggilan moral yang terus menyala.

Dalam dunia yang masih dirundung ketimpangan, eksklusi, dan eksploitasi, suara Rerum Novarum tetap bergema: bahwa tidak akan ada damai tanpa keadilan, dan tidak akan ada keadilan tanpa penghormatan terhadap martabat manusia.

Gereja, dalam semangat itu, dipanggil untuk menjadi saksi dan pembela kehidupan, bukan hanya dalam liturgi, tetapi juga dalam pasar, pabrik, ladang, dan jalan-jalan kota.

Masih jauh dari harapan bersama

Kini, lebih dari satu abad sejak Rerum Novarum diterbitkan, kita diingatkan bahwa perjuangan mewujudkan tatanan sosial yang adil masih jauh dari selesai.

Kita memerlukan keberanian moral seperti yang ditunjukkan oleh Paus Leo XIII – keberanian untuk berpihak pada mereka yang lemah, untuk menentang ketidakadilan yang terstruktur, dan untuk membela nilai-nilai manusiawi di tengah godaan pragmatisme yang membutakan nurani.

Menjadi garam dan terang dunia

Mengingat Paus Leo XIII adalah mengingat bahwa Gereja bukanlah benteng tertutup yang menjauhi dunia, melainkan garam dan terang bagi dunia.

Gereja tidak dimaksudkan untuk menjadi penonton sejarah, tetapi penulis sejarah yang dituntun oleh Roh Kudus.

Dalam terang ajarannya, kita diajak untuk tidak tinggal diam menghadapi ketidakadilan, melainkan terlibat, bekerja, dan mencintai dunia dengan semangat Kristus yang memihak kaum kecil.

Dengan demikian, Rerum Novarum dan warisan Paus Leo XIII tidak hanya menjadi tonggak penting dalam sejarah doktrinal Gereja, tetapi juga cermin bagi nurani manusia.

Ensiklik itu merupakan undangan untuk berpikir ulang, bertindak ulang, dan mencintai ulang dunia ini dalam semangat injil. Sebab pada akhirnya, dunia yang lebih adil bukanlah utopia, melainkan tugas suci yang ditinggalkan bagi kita semua.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here