
TUMBEN kali ini balada bercerita tentang seorang Kepala Sekolah. Kisah terjadi di kota kecil Prabumulih, Sumatera Selatan. Namanya Roni Ardiansyah. Mengepalai SMP Negeri 1, sekolah favorit di kotanya. Pekan lalu cerita tentang Roni viral, bahkan ke seluruh Indonesia. Nasibnya sedang tak beruntung.
Roni dipecat dan dimutasi ke sekolah lain sebagai guru biasa. Selain Roni, seorang satpam yang bertugas ikut dipecat.
Konon, ini gara-gara Roni mengingatkan (baca: menegur) seorang murid yang memarkir mobilnya di tempat yang salah. Celakanya, si murid itu adalah anak seorang pejabat. Dia berhak memberhentikan Roni, meski dengan alasan yang mengada-ada. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250916184844-20-1274401/kepsek-smpn-1-prabumulih-dicopot-diduga-tegur-anak-walkot-bawa-mobil/amp).
Gonjang-ganjing ini menggegerkan dunia maya nasional. Netizen bersimpati dan membela Roni, serta mengecam keras keputusan pemecatan. Prabumulih tiba-tiba naik daun, dan ayah si murid yang ditegur Roni, menjadi bulan-bulanan media sosial.
Saking gugupnya, SK Pemecatan dianulir dengan berbagai alasan, masuk-akal atau pun tidak. Kompensasi diberikan kepada Roni dan satpam untuk “menebus dosa” yang sudah kadung “lancung ke ujian”. Saya menduga tak bisa berhasil menghapus dosa yang sudah tertoreh.
Tindakan Roni menegur anak-didiknya dinilai sudah tepat. Tak berlebihan dan wajar saja. Sebagai bentuk pengajaran dan pendidikan terhadap muridnya.
“Balasannya” yang justru aneh. Si pejabat “tersinggung”, karena selama ini tak ada yang berani mengusiknya, salah atau pun benar. Tak merasa bahwa, meski sebagai manusia biasa, dia juga bisa salah. Khas sikap pejabat di Indonesia yang jumawa dan mentang-mentang.
Saya tak paham bagaimana kisah selanjutnya Roni versus pejabat itu.
Rekan sejawat Roni, dalam waktu dan tempat yang berbeda jauh, lebih beruntung. Perlakuan masyarakat setempat, kala itu, berbeda seratus delapan puluh derajat.
Namanya Stephanus Soesmana (baca: Susmono). Menjadi Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Semarang, selama belasan atau puluhan tahun, sekira tahun 1960 sampai 1970-an. Tahun 1976, beliau pensiun.
Relasinya dengan masyarakat Semarang sangat akrab. Semua pejabat provinsi dan kota mengenalnya dengan baik. Para pejabat pun hormat kepada beliau.
Setiap acara 17 Agustus atau acara-acara penting lainnya, beliau duduk di panggung sederetan dengan Gubernur, Pangdam, Kapolda, Walikota dan pejabat kota lainnya. “Hanya” seorang guru dan Kepala Sekolah tapi mendapat perlakuan dan posisi yang sedemikian khusus. Suatu indikasi tak ada relasi atasan-bawahan yang saling menguasai di antara mereka.
Anak-anak pejabat tak jarang yang kena tegur. Beberapa malah diskors, atau diminta pulang karena rambut gondrong atau pakaian seragam yang tak sesuai.
Hebatnya, justru orangtua mereka, yang nota bene-nya pejabat, yang malah ”sowan” ke sekolah untuk menyelesaikan “kenakalan” remaja ini. Usai itu, selesai, tak ada SK peringatan atau, apalagi, pemecatan.
Dua Kepala Sekolah Roni dan Susmono memang berbeda.
Secara finansial, yang pertama mungkin lebih beruntung, tapi dari sisi aspek sosial dan kemasyarakatan, yang kedua lebih terhormat. Dunia memang telah berubah. Zaman sudah berbeda.
“Kemanusian yang beradab” tak lagi menjadi prasyarat utama. Padahal, dunia akan nyaman dihuni, bila diisi dengan hidup yang saling respek. Tak peduli apa dan siapa mereka berperan.
Lebih khusus lagi, dunia masa depan milik anak-anak dan orang muda. Ia harus tetap dijamin kedamaiannya. Hidup damai perlu pendidikan, dan pendidikan perlu guru dan sekolah. Semuanya diorkestrasi oleh Kepala Sekolah.
Sumbangsih masyarakat terhadap proses kehidupan ini tak bisa diabaikan begitu saja, termasuk dukungan para pejabat pemerintahan yang rendah hati dan tidak feodal.
“The key to student success is a great school, and the key to a great school is a great principal.” (Anonim)
Baca juga: Jangan meremehkan trust
@pmsusbandono
19 September 2025