Balada Slamet yang Sedang Merana

0
64 views
Ilustrasi - PPATK blokir rekening bank dormant alias tidak aktif. (Hutama News)

HAMPIR tiap pagi, kami bertiga olahraga jalan-pagi. Durasinya sekira satu jam.

Berangkat pukul 05.30, setelah kedua tetangga dekat itu, usai salat subuh. Rutenya berputar sekitar rumah dengan jarak 6 kilometer. Sebagai anggota trio yang usianya paling banyak, saya mendorong mereka agar tak pernah mengkeret semangatnya.

Mereka adalah Slamet, Jemi, dan saya. Keduanya nama asli. Profesi kami sama, pensiunan. Kebetulan Slamet dan Jemi mantan pegawai bank swasta. Dengan catatan, mental pensiunan sudah kadung melekat “mbalung-sumsum”.

Silakan ditebak, apa dan bagaimana artinya.

Selama 1.5 bulan ini, Slamet menjadi primadona. Tak henti-hentinya “sambat”. Dia cerita kalau lagi apes. Topik sepanjang jalan penuh haru-biru.

Ceritanya begini.

Tanpa diketahui sebab-musababnya, rekening Slamet di suatu bank plat merah, ujug-ujug ngadat. Untuk transfer apalagi tunai. Rekeningnya kena blokir.

Meski saldonya tak seberapa, status pensiunan membuat keadaan menjadi dramatis.

Awalnya, Slamet ingin mengambil dana tunai di ATM. Jumlahnya tak banyak, “hanya” 300 ribu rupiah. Dia ingin beli jajan buat cucu-cucunya di warung seberang rumah. Upayanya sia-sia.

Menurut informasi petugas bank, itu gara-gara PPATK. Slamet “mlenggong” (tertegun). Dia tak paham apa hubungan antara rekeningnya dan bank dengan PPATK. Slamet harus membuat laporan tertulis. Dijanjikan beres dalam sepuluh hari kerja.

Hari ke-11, dia “sowan” lagi ke bank. Kabar buruk diterimanya. Rekeningnya masih tertutup rapat. Slamet diminta membuat laporan baru. Siklus seperti itu, dialami kembali sebanyak empat kali. Perlu waktu sebulan lebih, baru kemudian rekeningnya siuman. Nada bicara Slamet pun semakin tinggi.

Rekening Slamet dibebaskan bersamaan dengan media sosial dan massa mulai ramai “menggempur” kebijakan ini. Dalihnya macam-macam, tapi yang terdengar nyaring adalah pemerintah bermaksud melindungi pemilik rekening “dormant” (dorman, pasif) dari tindak kejahatan. Konon banyak disalah-pakai, terutama untuk “pinjol” dan “judol”.

Ini mengingatkan saya akan dua pepatah yang secara sinikal sering dipakai untuk menggambarkan keadaan di atas :

“Nila setitik rusak susu sebelanga” dan “Jangan bakar lumbung padi, bila ada tikus berkeliaran di dalamnya”.

Saya membaca 2-3 kali wawancara Kepala PPATK di Majalah Tempo, 10 Agustus 2025 (halaman 102-105), tentang kasus ini. Namun, tak setitik pun melekat di kepala saya alasan yang masuk akal dan sahih untuk meredakan kejengkelan Slamet. Saya menyerah dan meminjamkan majalah itu untuk dibacanya sendiri.

Menyelamatkan rekening nasabah dari kejahatan jelas pekerjaan mulia, tetapi “menghukum” banyak orang yang tak bersalah, seperti Slamet, jelas jauh dari terpuji.

Huru-hara pemblokiran rekening dorman benar-benar membuat banyak sekali nasabah pusing tujuh keliling. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, lebih dari 122 juta (Kompas, 6 Agustus 2025, halaman 9). Penyebarannya pun cukup merata bila dilihat dari level sosial dan lokasi nasabah berada.

Ada video pendek, yang menggambarkan seorang TKW asal Hong Kong dengan jenaka “misuh-misuh”.

Rekening yang hanya satu dan dipakai menyimpan gajinya, tiba-tiba semaput. Padahal rekening itu berfungsi sebagai “dompet”. Kapan pun dibutuhkan, dana mudah diklik dikirim ke anak-anaknya. Untuk keperluan primier; makan, kesehatan, pendidikan atau tempat tinggal. Apa daya, sang TKW tak bisa mengurus semudah Slamet mengunjungi bank terdekat. Entah bagaimana kelanjutan dari kisah tragis sang TKW itu.

Bagi seorang pejabat, membuat kebijakan adalah sah-sah saja. Tapi yang harus diingat adalah kepentingan masyarakat harus menjadi nomer wahid. Sebelum diberlakukan harus dikaji secara saksama. Kalau ada kepentingan yang berbenturan ya harus dicarikan jalan keluar terbaik. Jangan main “hantam kromo”.

Jangan lupa, masyarakat adalah “majikan” para pejabat. Mereka yang mengangkat, menggaji dan menyediakan fasilitas untuk berkarya. Jangan malah membuat sengsara, apalagi untuk mereka yang tak bersalah.

It is better that 10 guilty persons got their freedom than that one innocent person suffer.” (Blackstone’s ratio)

@pmsusbandono
7 Agustus 2025

Baca juga: Nurses are the heart of Healthcare

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here