SORE itu, di halaman gereja yang perlahan diselimuti cahaya senja, langkah-langkah kaki terdengar berpadu dengan irama musik tradisional. Suara tawa dan semangat muda memenuhi udara.
Di antara mereka, tampak sekelompok penari yang sedang berlatih serius namun penuh sukacita. Mereka tengah menyiapkan diri untuk tampil dalam Festival Golo Curu yang digelar tanggal 6 Oktober mendatang.
Foto paling berharga
Salah satu dari mereka menyimpan momen latihan itu dalam sebuah foto yang baginya begitu berharga. “Ini foto termahal tahun ini,” katanya sambil tersenyum.
Foto itu bukan sekadar kenangan visual, melainkan simbol perjalanan batin dan kebersamaan yang tak ternilai.
Mereka menari tarian Roko Molas Poco, sebuah tarian daerah yang menggambarkan keanggunan dan kekuatan perempuan, serta rasa syukur kepada Sang Pencipta atas kehidupan yang indah. Di bawah bimbingan dan pendampingan Romo Ino, para penari berlatih dengan penuh semangat, meskipun harus membagi waktu antara tugas, pekerjaan, dan latihan.
“Capek sih, tapi saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini,” ujar salah satu peserta dengan mata berbinar. “Selagi masih ada waktu, saya ingin memberikan yang terbaik.”
Lebih dari sekadar penampilan seni, keterlibatan mereka dalam festival ini menjadi ruang untuk belajar disiplin, kerjasama, dan cinta pada budaya sendiri.
Dalam setiap gerak dan langkah, tersimpan rasa bangga menjadi bagian dari komunitas yang hidup, yang tak hanya merayakan tradisi, tetapi juga menghidupinya kembali dalam semangat kebersamaan.
Foto sederhana itu akhirnya menjadi saksi – bahwa sukacita sejati sering lahir dari kelelahan yang dijalani dengan cinta dan pengabdian.
