MENGENAL Mbah Tasem di pagi hari. “Mbah, sugeng enjing (selamat pagi),” sapa Liem Tjay.
Mbah Tasem tersenyum dan mengangkat kepalanya, lalu memandang Liem Tjay sambil menjawab: “Sugeng enjing”.
“Sehat mbah” tanya Liem Tjay.
Mbah Tasem tetap dengan senyum menjawab: ”Alhamdulillah, Mbah sehat, sampun diparingi gesang saking Gusti Allah (Mbah sehat sudah diberi hidup dari Tuhan).”
Beginilah sapaan di pagi hari di tepian Sungai Serayu antara Mbah Tasem dengan Liem Tjay.
Memang Liem Tjay biasa jalan pagi menelusuri lorong tepian Sungai Serayu.
Senyum Mbah Tasem menebarkan aroma kasih yang memberikan semangat hidup. Mbah Tasem tidak ingat berapa umurnya.
Walaupun Mbah Tasem sudah sepuh, namun di usia senja ini dia selalu rutin setiap pagi menyapu halaman rumahnya di tepian Sungai Serayu.
Dengan gerakan tangan yang lamban, Mbah Tasem tetap teratur dan tekun menyapu halaman yang penuh dengan daun-daun bambu yang berserakan.
Lalu Mbah Tasem memisahkan batang bambu yang masih bisa dipakai untuk kayu bakar dan menyusun rapi menjadi sebuah tumpukan bambu.
Menyapu halaman rumahnya pagi dan sore menjadi menu aktivitas untuk mengawali dan mengisi hidupnya untuk hari ini. “Kula pun tua, namung saged nyapu saben esuk, rasane pun seneng, seger (saya sudah tua, hanya bisa menyapu setiap pagi, rasanya senang dan segar),” ungkap Mbah Tasem
Curhat di suatu pagi
Tidak seperti biasa Mbah Tasem bergerak dan bergerak menyapu di halaman yang mungil. Mbah Tasem duduk termenung. Ketika Liem Tjay lewat dan menyapa ”Mbah sugeng enjing, lho kok dhereng nyapu (Mbah selamat pagi, mengapa belum menyapu)?”
Mbah Tasem dengan memelas mulai berkisah,”Kula dikancingi (dikunci) ajeng mendhet sapu teng omahe menantu, malah dikancengi. Susah, rekasa tumut menantu. Wong, Mbah niku sampun dangu tumut tiyang sanes, malah ayem tentrem, saiki Mbah sampun sepuh tumut menantu, malah rekoso, disiya siya (saya dikunci, tidak boleh masuk…mau ambil sapu di rumah menantu, sengaja dikunci…sedih, menderita ikut menantu. Dulu Mbah ikut kerja orang lain sangat lama, senang dan tenang, sekarang Mbah sudah tua ikut anak menantu, malah sungguh menderita, tidak diperhatikan)”
Makna Hidup Mbah Tasem bagi Liem Tjay
- Di usia senja seperti Mbah Tasem, menyapu dan menyusun sisa-sisa bambu memiliki makna hidup yang dalam. Menyapu berarti membersihkan diri dari debu-debu, kotoran hidup. Tekun dan setia membersihkan diri setiap hari merupakan persiapan menuju hidup yang baru, yang segar. Memisahkan dan menyusun batang bambu memiliki makna bahwa diusia senja ada banyak waktu dan kesempatan untuk menata kembali kehidupan yang sudah dilewati.
- Meluangkan waktu sejenak untuk menyapa yang lain, khususnya yang lansia, yang rentan, yang lemah, yang berada di pinggiran adalah bagian hidup seorang pastor, seorang gembala umat dalam menghayati imamatnya.
- Banyak orang tua, seperti Mbah Tasem mengalami konflik, krisis hidup, mengalami masa transisi berhadapan dengan relasi intern dengan anak, menantu, cucu. Begitulah perjuangan hidup para lansia yang mencari ketenangan, kedamaian akhir untuk “sumeleh” “pasrah” mencapai garis akhir, final kehidupan dan menyambut hidup baru.
- Kaum berjubah pun seperti Liem Tjay dalam hidup berkomunitas, di pastoran atau di biara tidak lepas dari konflik, masa krisis bahkan bisa terjadi tersingkirkan, ditolak. Inilah bagian hidup yang nyata, konkrit yang harus dijalani sebagai seorang religius.
Mbah Tasem mengingatkan Liem Tjay akan sosok Nenek Hajang, orangtua suku Dayak Paser, asli pedalaman Kalimatan Timur.
Ketika itu Liem Tjay bertugas sebagai pastor di pedalaman Kampung Sepan, Sotek, Kecamatan Penajam. (Berlanjut)