Kongres WKRI XXI Tahun 2023 di Jakarta, Apa dan Sejarahnya (2)

0
640 views
WKRI dan Presiden Ir. Soekarno (Sekali Layar Terkembang, Pantang Surut ke Belakang)

WANITA Katolik Republik Indonesia (WKRI) adalah organisasi kemasyarakatan yang menjadi pelaku sekaligus saksi sejarah perjalanan dan perjuangan Perempuan; sejak sebelum kemerdekaan NKRI sampai dengan sekarang.

WKRI lahir tahun 1924 -jauh sebelum kemerdekaan- dan menjadi pelaku sejarah. Dalam mengawal persiapan kemerdekaan, mengisi pembangunan dan mengikuti perubahan dari zaman ke zaman.

Dalam usianya yang hampir 100 tahun ini, secara internal WKRI juga peduli terhadap kualitas anggota organisasi, terus-menerus melakukan penyempurnaan sistem dan mekanisme kerja, serta pemberdayaan anggota di tingkat basis (komunitas basis).

Dua penghargaan

Perjalanan panjang mengikuti irama perubahan zaman dan dalam upaya menjawab tantangan, WKRI telah menerima dua penghargaan dari Pemerintah Indonesia, yaitu:

  • Penghargaan Ormas Bidang Kategori Khusus Bakti Sepanjang Hidup (Long Life Achievement) Tahun 2018. diterima dari Menteri Dalam Negeri.
  • Penghargaan sebagai Organisasi Perempuan yang Terlibat Dalam Kongres Perempuan I pada tanggal 22-25 Desember 1928. Hingga saat ini, WKRI masih berperan dalam Memajukan Kesejahteraan Perempuan Indonesia . Diterima dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tanggal 21 Desember 2021.

Pandemi Covid-19

Salah satu tantangan berat dialami oleh seluruh dunia tiga tahun terakhir ini adalah merebaknya pandemi COVID-19. Dampak besar pertama yang dialami oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia adalah merosotnya kondisi kesehatan masyarakat secara masif. Banyak negara mengeluarkan kebijakan drastis dalam rangka memutus rantai penularan, yaitu dengan sistem lockdown – menutup pintu keluar masuk wilayah negara dan membatasi mobilitas serta gerak masyarakat di dalam wilayah negara masing-masing.

Dengan kebijakan ini, dampak kedua yang luar biasa berat dialami masyarakat dan negara adalah mandeknya roda ekonomi, serta putusnya rantai pasokan makanan dan barang-barang industri.

Ilustrasi – Para nakes mengenakan APD guna mencegah dirinya kena tertular Covid-19. (Ist)

Intinya, seluruh aspek kehidupan manusia seolah berhenti (dihentikan) dalam waktu cukup lama. Oleh karena itu, pemulihan semua lini kehidupan masyarakat mulai tahun ini perlahan ditata kembali.

Presiden Joko Widodo memotivasi seluruh dunia dengan motto pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat, diharapkan masyarakat dapat segera menata kembali kehidupan – ada kondisi kenormalan baru yang perlu dijalani untuk kuat menghadapi masa depan.

Dampak positif dari kondisi keterpurukan secara global ini adalah terjadinya percepatan pemanfaatan teknologi digital. Kegiatan sehari-hari, khususnya dunia kerja dan pendidikan mau tidak mau memanfaatkan teknologi digital dalam tatap muka pertemuan atau rapat-rapat kerja.

Yang dulu pengajaran dan pertemuan atau rapat kerja hanya dapat dilakukan dengan kehadiran secara fisik, kini kemajuan teknologi betul-betul dapat menghadirkan siapa saja atau apa saja di hadapan kita secara virtual. Kemajuan IT yang dipercepat ini harus diikuti dengan perubahan cara kerja dan cara berpikir masyarakat agar dapat sungguh-sungguh mendatangkan manfaat.

Ilustrasi: Berkomunikasi secara visual melalui HP. (Ist)

Isu kritis tahun 2018 saat Kongres XX

Isu kritis yang diusung Kongres XX Tahun 2018 lalu adalah radikalisme-terorisme, korupsi dan kritisnya lingkungan hidup. Semua ini kiranya  masih perlu mendapat perhatian untuk waktu lima tahun.

Namun demikian, dengan perubahan konstelasi ipoleksusbud (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya) belakangan ini -ditambah dengan memasuki tahun politik- WRI perlu memperhatikan dengan lebih jeli sejumlah isu berkaitan dengan:

  • Pemulihan kesehatan dan ekonomi masyarakat.
  • Strategi pemanfaatn kemajuan IT (Informasi dan Teknologi).
  • Program untuk pendidikan karakter yang telah dimulai, seyogyanya dapat dilanjutkan dengan lebih konkret, agar nilai-nilai luhur dapat ditanamkan sejak usia dini yang diharapkan semakin mengkristal pada usia lanjut.

Tema besar Kongres XXI tahun 2023

Oleh karena itu, Kongres XXI WKRI tahun 2023 mencanangkan tema “Peran Perempuan Mewujudkan Kesejahteraan Bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Mari kita ulik satu per satu topik-topik turunannya.

Logo WKRI.

Peran perempuan

Menjelang dan dalam rangka memperingati usia 100 tahun, WK RI perlu menengok ke belakang. Menapaki kembali sejarah perjuangan perempuan dan mengidentifikasi peran yang sudah ditapakkan di masa lalu sampai masa kini. Dengan segala tantangan perubahan zaman, agar dapat meneruskan spirit asali dan misi perjuangan

Kesejahteraan bersama
Pesan kunci dalam Ajaran Gereja Katolik adalah tentang kasih kepada sesama manusia dan seluruh lingkungan hidup.

WKRI yang sejak awal lahir karena kepedulian dan belarasa kepada yang lemah dan terpinggirkan mengangkat kemanusiaan dalam rangka mewujudkan keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan untuk semua (bonum commune).

Negara Kesatuan Republik Indonesia

Ini selalu mengingat(kan) bahwa NKRI dibentuk dari berbagai keberagaman: suku, ras, agama, kepercayaan religius, adat dan budaya. Oleh karena itu, keberagaman yang merupakan keniscayaan bagi Indonesia ini harus dirawat, dijaga keberadaannya.

Marilah menyadari bahwa satu per satu dari kita (manusia Indonesia) mempunyai perbedaan. Namun, perbedaan ini hendaklah menjadi tekad untuk mewujudkan lingkungan yang ramah-nyaman-aman bagi semu

Ilustrasi (Ist)

WKRI merupakan organisasi kemasyarakatan yang independen dan mulai berkarya sejak tahun 1924.

Memasuki usia ke-100 tahun depan, Organisasi Perempuan Katolik ini telah mengembangkan kepengurusan di tingkat daerah (provinsi dan/atau keuskupan); sejumlah 36 DPD (Dewan Pimpinan Daerah) dengan keanggotaan di seluruh penjuru nusantara mencapai lebih dari 96.000 perempuan.

Ibu RA Maria Soelastri Soejadi D. Sasraningrat, puteri Puro Pakualaman Yogyakarta yang tokoh inisiator dan pendiri WKRI yang dulu bernama Poesara Wanita Katholiek tanggal 26 Juni 1924. (Ist)

Buku WKRI “Sekali Layar Terkembang, Pantang Surut ke Belakang” (2020)

Semangat keprihatinan dan belarasa yang dijiwai dan disemangati oleh Ensiklik Rerum Novarum Paus Leo XIII (1891) terhadap kaum perempuan,telah mendasari lahirnya organisasi wanita Katolik yang bernama Poesara Wanita Katholiek 26 Juni 1924.

Poesara Wanita Katholiek lahir menyusul kelahiran sejumlah organisasi perempuan, baik organisasi independen maupun organisasi yang berhubungan dengan organisasi keagamaan, di tenah berkobranya semangat nasionalisme di awal abad ke-20.

Adalah Ibu RA Maria Soelastri Soejadi D. Sasraningrat, puteri Puro Pakualaman Yogyakarta yang memperoleh pencerahan dari para rohaniwan dan rohaniwati, para pastor dan suster. Serta persentuhannya dengan alumi Sekolah Bersarama Mendut dan Romo van Lith Muntilan memiliki kepekaan tajam saat melihat situasi dan kondisi para perempuan sezamannya.

Romo van Lith SJ.

Berkat Suster OSF dan para Jesuit

Ajaran Kristiani dan seluruh nilai kemanusiannya yang dis terima di Susteran Fransiskanes (OSF) di Kidul Loji, Kota Yogyakarta, dan pertemuannya dengan para misionaris, telah menggugah hatinya untuk melakukan sesuatu. Ia ingin menghadirkan Gereja secara nyata dalam kehidupan manusia ke tengah masyarakat.

Kelahiran Poesara Wanita Katholiek yang kelak menjadi WKRI ini tidak bisa dilepaskan dari peran tiga Jesuit, yang pada waktu itu telah dengan berani dan tekun, penuh kebijaksanaan memberikan semangat, penguatan, dan bimbingan serta pencerahan kepada para perempuan dan ibu yang melahirkan organisasi wanita katoik.

Mereka adalah Romo van Lith SJ, Romo Mertens SJ, dan Romo van Driessche SJ.

Selain itu, tidak bisa dilupakan peran penting para ibu dan perempuan alumnae Sekolah Berasrama di Mendut -dekat Candi Mendut di Kabupaten Magelang-  beserta para gurunya sebagai peletak dasar semangat pelayanan.

Penampakan Sekolah dan Asrama Mendoet zaman dahulu. Lembaga pendidikan dan pembinaan untuk kaum remaja perempuan puteri besutan Kongregsi Suster OSF ini eksis kurun waktu tahun 1980-1943. (Delpher)

Menjadi lebih “nasional”

Peziarahan panjang dijalani Poesara Wanita Katholiek sampai setelah masa pendudukan Jepang dan atas anjuran Romo Kanjeng Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, organisasi wanita Katolik diberi nama Wanita Katolik Republik Indonesia (1950).

Sejak saat itu, organisasi yang sebelumnya bercorak kedaerahan (Jawa) menjelma menjadi organisasi yang benar-benar bercorak nasional.

Dengan corak nasional, berarti tugas, misi dan kewajibannya pun menjadi bertambah banyak dan berat. Tugas wilayah pelayanannya pun menjadi bertambah luas.

Namun, sejak semula sudah menjadi niatan hati untuk menghadirkan WKRI untuk memberikan pelayanan, untuk ambil bagian dari karya pewartaan Kabar Gembira apa pun risikonya, maka semuanya dijalani dengan penuh kebahagiaan dan penuh syukur.

Pengalaman di masa awal

Raden Ajeng Maria Soelastri menulis sebagian pengalaman perjuangannya.Sebagai langkah perjuangan pertama, Ibu RA Maria Soelastri menemui para pengusaha-pengusaha Belanda dari Pabrik Cerutu dan Pabrik Gula Madukismo di Kota Yogyakarta yang kedua-duanya juga beragama Katolik. Pekerja harian kedua pabrik ini sebagian besar terdiri dari buruh perempuan. Pertemuan berlangsung dalam suasana damai.

Gerakan peduli kasih Kongregasi Suster Penyelenggaraan Ilahi (SDP) bekerjasama dengan para relawan untuk menyediakan paket sembako bagi para korban banjijr Semarang. (Dok. Kongregasi Suster SDP)

Pembicaraan diadakan dari hati ke hati dengan berpedoman pada ensiklik-ensiklik Gereja Katolik, antara lain Rerum Novarum (1891) dari Paus Leo XIII dan Quadragesimo Anno (1931) dari Paus Pius XI.

Sebagai hasil pembicaraan, dengan segera dibentuklah peraturan-peraturan di kedua pabrik tersebut untuk perbaikan nasib para buruh umumnya dan buruh wanita khususnya. Langkah berikutnya dari Organisasi Poesara Wanita Katholiek meliputi kerjasama dengan usahawan-usahawan Katolik Belanda untuk mengadakan segala macam perbaikan nasib para buruh.

Yang dicita-citakan RA Soelastri adalah membantu kaum perempuan pribumi yang diperlakukan tidak adil, terutama kalangan bawah yang miskin, tertindas, kurang berpendidikan.

Cita-cita RA Soelastri adalah merangkul dan mengangkat harkat serta martabat kaum perempuan bangsanya dengan memberdayakan mereka lewat berbagai kursus keterampilan termasuk lewat pendidikan.

Keluar kandang

Ibu RA Soelastri tidak fokus pada kegiatan internal Gereja. Fokusnya adalah perempuan yang paling lemah dan miskin yang saat itu adalah buruh. Aksinya bukan karitatif membagi makanan. Melainkan aksi nyata untuk memperbaiki nasib buruh perempuan berupa advokasi kepada pengusaha. Hasilnya adalah perubahan peraturan untuk buruh. (Berlanjut)

Baca juga: Kongres XXI WKRI 2023 – Peran Perempuan Wujudkan Kesejahteraan Bersama dan Peran WKRI Tanggapi Darurat Iklim (1)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here