AKU selalu merasa heran kenapa salah satu satpam yag bertugas di perumahanku, sebut saja Pak Joko selalu menampilkan wajah yang kurang menyenangkan, datar, muram.
Pada istriku beberapa kali aku bertanya,”Kenapa ya, Pak Joko itu selalu mahal senyum? Apa ada yang salah dengan diriku?” tanyaku.
“Ya, aku tak tahu,” jawab istriku.
Aku memang tidak berusaha menanyakannya ada masalah apa. Agak sulit untuk sekadar bisa duduk-duduk dan ngobrol dengannya karena waktu senggangnya beda.Tapi yang jelas, belum pernah aku melakukan tindakan yang menyakitinya.
Lantas macam-macam pikiran pun muncul. “Apa karena melihat aku masih muda tapi sudah kelihatan mapan ya sehingga dia iri. Masak, hanya karena itu. Bukankah kalau istriku yang menyapanya dia tersenyum. Dasar kurang ajar !” pikirku.
Yang jelas setiap kali aku menegurnya dengan senyum, selalu dibalas dengan respons yang menurutku tidak muncul dari keriangan hati dengan kata lain responsnya kurang menyenangkan.
Tak seperti satpam-satpam lain yang selalu menanggapi dengan sapaan balasan ketika kusenyumi, “Siang, Pak!” atau “Sudah pulang, Pak!” Meski mungkin hanya sekadar basa-basi, aku merasa sedikit gembira atas sapaan tanggapan mereka.Dalam hati aku menyadari, aku memang tak ingin dihormati, tapi kenapa ya dia demikian. Tanyaku pada diri sendiri.
Sambutan Pak Joko, meski kerapkali di hati terasa gondok bahkan bikin jengkel hingga aku berniat tak hendak menyapanya lagi, toh aku tetap berusaha tersenyum dan menyapanya dengan baik.
Sekarang, dia sudah mulai memberi respons. Tapi, senyum dingin masih bertengger. Tak nampak senyum sumringah tampil dari wajahnya. Kalaupun melambaikan tangan, kelihatan sekali lambaian itu tak sepenuh hati keluar terekspresikan dengan lepas.
Sering aku bilang pada istriku ,”Pak Joko ini kayak orang tidak bahagia. Disapa, diam, disenyumin dingin. Bikin orang malah jadi jengkel!”
Aku sendiri memang berusaha agar tidak tampak memusuhinya. Aku tak ingin menjadi musuh hanya karena respons seperti itu. Aku pun tak ingin menjadi orang yang sok dingin karena itu memang bukan tipeku.
Aku selalu berusaha agar selalu ramah pada setiap orang, meski aku tidak mengenalnya. Karena bagiku, sapa menyapa bukanlah sikap basa-basi melainkan aktivitas yang menunjukkan bahwa diriku, kita terhubung dengan siapa saja. Rasa keterhubungan ini membuat hidup ini nyaman.
Bisa jadi ada orang yang inginnya disapa dulu. Kalau dia cuek, aku pun cuek. Kalau dia tidak memulai menyapa, aku pun demikian. Silakan saja. Tapi, kurasa menyapa orang lain adalah sebentuk penghormatan.
Jika aku menghormati orang lain, itu bukan karena orang itu memang berjasa atau memiliki kebaikan-kebaikan yang layak dihormati. Tetapi karena kebesaranku sebagai seorang manusia.
Sebaliknya jika orang menghormatiku, bukan karena aku memiliki kebajikan atau sesuatu yang baik untuk dihormati, melainkan karena kebesaran orang itu sendiri. Dengan kata lain, jika aku menghormati orang lain, itu adalah cermin keluhuran budiku.
Saat aku tidak menghormati orang lain dengan menyapanya, kekayaan itu tidak aku miliki sebanyak sikapku tidak menghormati orang lain.
Bahkan mungkin bila penghormatan itu diberikan pada orang yang dianggap jahat, teroris misalnya. Atau mungkin pembunuh berdarah dingin. Orang-orang ini sebenarnya harus dihormati karena mereka menunjukkan kepada kita jalan yang benar.
Mereka sanggup, meski mungkin tidak disadari, merendahkan kemanusiaan mereka dengan berbuat keji, bengis, dan tidak manusiawi. Dengan tindakan mereka itu, kita (semestinya) dibuat tahu dan sadar betul apa yang mereka lakukan itu tidak baik tanpa kita sendiri harus melakukannya.
“Dengan kata lain, jika aku menghormati orang lain, itu adalah cermin keluhuran budiku.”
Bahagia
Poin kedua yang penting digali dari pengalaman ini. Kurasa benar bila aku mengatakan Pak Joko tidak bahagia. Orang yang bahagia tentu tak akan bersikap demikian. Orang yang bahagia akan cenderung melihat segala sesuatu indah adanya.
Orang yang bahagia juga akan memancarkan rona gembira dengan sendirinya. Otomatis pula aura itu akan keluar dan terasakan oleh orang-orang yang berada di dekatnya atau melihatnya.
Orang bahagia tak akan merasa iri, dan cenderung melihat dan merasa orang lain sebagai kawan, sahabat. Intinya, mereka yang sedang berbahagia selalu merasakan bahwa dunia sekitarnya adalah bagian dari dirinya yang harus ditinggikan.
Karena itu, saat merasakan sesuatu yang bertolak belakang dengan semua ini, periksalah, kemungkinan besar Anda sedang tidak bahagia.
Apakah Anda saat ini sedang merasa BT (bad temper) ketika melihat teman sekantor yang nyebelin? Kalau ya, mungkin memang Anda tidak bahagia. Atau, apakah Anda saat ini sedang iri melihat teman punya mobil baru sementara aku tidak. Kalau ya, kemungkinan besar Anda tidak bahagia. Dan Apakah Anda saat ini sedang merasa jengkel sehingga mengumpat-umpat saat film di televisi yang Anda tonton tiba-tiba lenyap dan yang tampak hanya layar hitam. Kalau ya, mungkin Anda sedang tidak bahagia. And so on……
Kata orang bijak, happiness comes from within. Tak peduli seberapa buruk duniamu atau lingkungan sekitarmu. Dunia ini mau jungkir balik, tetapi bila aku bisa memosisikakan diriku bahagia, bahagialah aku.
Kebahagiaan adalah status hati. Anda tak akan bisa betul-betul bahagia hanya karena orang lain berubah, dunia berubah entah jelek atau baik. Hanya diri kita sendiri yang mampu membuat kita bahagia. Karena itu perspektif yang lebih luas, lebih besar harus kita pasang dalam benak, hati, pikiran, dan akal budi.
Mungkin ada banyak orang menawarkan cara bagaimana agar bisa merasakan bahagia, tapi hanya itulah yang bisa dilakukan orang lain. Sisanya terserah kita. Semua tergantung kita.
Kebahagiaan tidak pernah merupakan soal kemampuan, ia selalu merupakan soal kemauan.
Kesimpulannya, mengapa menghormati org lain???
Di bagian akhir ditulis tentang kebahagian.
Hmmmm….sy sedikit bingung dengan tulisan ini. Belum dpt menankap dg jelas jawaban dr mengapa menghormati org lain???
jawabann ada di artikel itu,mbak….”Jika aku menghormati orang lain, itu bukan karena orang itu memang berjasa atau memiliki kebaikan-kebaikan yang layak dihormati. Tetapi karena kebesaranku sebagai seorang manusia”…di artikel itu memang ada dua hal yang dibahas sih…
Ya ya…mungkin perlu digali lebih dlm atas jwban judul artikel tsb. Anyway, thanks 🙂
jadi, pak joko itu.. kenapa koq sikap nya selalu begitu… saya mau tau..
jadi, pak joko yang sikapnya selalu memberikan respon kurang menyenangkan itu kenapa ya…. ?