Judul: Saya Vegan
Penulis : Prasasto Satwiko
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/Juni 2012
Tebal: xi + 211 halaman
ISBN: 978-979-21-3122-2
Harga: Rp 80.000
Apakah pembaca pernah mendengar istilah EPW (Einstein Pain Waves)? Dalam bahasa Indonesia artinya, “Gelombang Nyeri Einstein.” Trio saintis berkebangsaan India meneliti frekuensi anisotropis akustik tersebut. Menurut M.M. Bajaj, Ibrahim, dan Vijayraj Singh, semua binatang melengkingkan getaran kesakitan tatkala disembelih secara brutal di rumah jagal (halaman 137).
Lewat buku ini, secara kritis Prasasto Satwiko memaparkan dampak makro BIS (Brutal Intense Slaughtering) alias pembantaian sadis intensif itu. Ternyata gempa bumi dapat terpicu oleh EPW juga. Bukti empirisnya tatkala Eropa dilanda wabah sapi gila (mad cow).
Saat itu, jutaan sapi dimusnahkan secara massal. Alhasil, getaran EPW memberi tegangan ekstra pada rekahan bebatuan dan lempeng kerak bumi. Gempa dahsyat di Italia dan Afganistan berhubungan erat dengan penjagalan kolektif tersebut.
Itulah salah satu alasan penulis menjadi vegan. Guru Besar di Universitas Atmajaya Yogyakarta itu hanya menyantap menu nabati sejak tahun 2006. Menurutnya, dengan menjadi vegetarian manusia dapat turut berkontribusi bagi kelestarian alam. Sebab, ada korelasi erat antara isi piring di meja makan dengan masalah pemanasan global dewasa ini.
Buku Saya Vegan memuat data mengejutkan. Ternyata, industri peternakan, daging, telur, dan produk hewani lainnya melepaskan 60% N2O ke atmosfer bumi (UN News Center: 2006). Bersama karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4), dinitrogen oksida, ketiganya merupakan anasir Gas Rumah Kaca (GRK) pemicu global warming (halaman 65).
Riset duo ilmuwan David Pimental dan Robert Goodland kian menghentakkan kesadaran ekologis manusia. Menurut penelitian mereka, untuk setiap 1 kg daging sapi dibutuhkan 100.000 liter air. Praktisi vegetarian dapat makan dari areal pertanian seluas 0,06 hektar, sedangkan para pemakan daging membutuhkan 1,3 ha lebih. Artinya, jika seseorang berhenti melahap 1 pon daging berbanding lurus dengan penghematan air untuk mandi selama setahun.
Penulis menyorot pola konsumsi nabati dari pelbagai sisi. Antara lain “Menu Nabati dan Kesehatan” (halaman 43-64), “Menu Nabati dan Ekonomi” (halaman 101-118), “Menu Nabati dan Agama” (halaman 153-167), “Menu Nabati dan Lingkungan (halaman 65-94), dst. Dari aspek ekonomi, misalnya, perlu dipertimbangakn ihwal biaya tersembunyi (hidden cost). Ternyata pola makan berbasis hewani relatif mahal. Ini terkait ongkos pengobatan di rumah (RS) akibat pola makan yang tak sehat.
Prasasto Satwiko juga menguak dampak pembalakan liar (illegal logging). Areal hijau di Amaz-on diubah menjadi tanah gersang Amaz-off. Akibatnya, limbah peternakan mencemari tanah. Sedangkan pada wilayah perairan (illegal fishing), eksplotasi tak terkendali dengan bahan peledak menyebabkan terumbu karang (great barrier reef) seluas 344,400 km2 terancam punah (World Wildlife Fund (WWF): 2012).
Buku setebal 211 halaman ini kaya perspektif, informatif, dan vaild datanya. Tema sentralnya mengajak pembaca mengurangi ketergantungan berlebih pada makanan hewani. Kenapa? Karena kebutuhan nutrisi kita bisa diperoleh dari asupan nabati. Antara lain berupa padi-padian, sayur-sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Pungkasnya, penyitir pendapat Kak Seto, “Menjadi vegan bukan hanya demi kesehatan dan kelestarian alam, tetapi sekaligus membangun karakter cinta damai dan jauh dari kekerasan.” Selamat membaca!