Pengantar Redaksi
Ini adalah surat lama ditulis pada bulan Maret 2008, persis ketika Romo Martin Suhartono Sanjoyo tengah berkutat dalam pergumulan batin: apakah tetap mau menjadi seorang rahib pertapa Khartusian di Parkminster Inggris atau pulang ‘mudik’ ke Indonesia dan tetap menjadi seorang Jesuit, anggota Provinsi SJ Indonesia?
Karena surat ini merupakan arsip perjalanan hidupnya di tahun 2008, beberapa kesan akan terbaca menjadi sesuatu yang kurang relevan. Itu karena toh pada akhirnya per 8 September 2015, Romo Martin Suhartono Sanjoyo akhirya resmi meninggalkan statusnya sebagai Jesuit dan memeluk status baru sebagai eremit diosesan Keuskupan Agung Semarang. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosesan KAS (1)
Bagaimana pun kisah pergumulan batin ini menarik untuk dibaca dan syukur-syukur menginspirasi banyak orang bahwa dalam perjalanan hidup ini banyak hal tak terduga bisa terjadi. Kadang-kadang persoalan menjadi lebih jelas, ketika perjalanan waktu sudah berjalan sekian lama.
MH
————————
Surat kepada Saudara/Sahabat ….
London, 24 Maret 2008
Para keluarga dan saudaraku terkasih! Salam Damai dan Selamat Paska bagi yang merayakan.
Saya tak tahu apakah berita berikut ini menggembirakan atau menyedihkan bagi para keluarga dan saudaraku terkasih.
Mungkin bisa langsung disambungkan sebagai Bab baru pada kisah “Raib Jadi Rahib” yang pernah saya kirimkan kepada anda sekalian!
Kejutan banjir, banjir kejutan
Demikianlah saya tinggal dalam keheningan dan doa di Pertapaan Karthusian dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dan dari bulan ke bulan. Hidup dalam doa bukan berarti selalu penuh hiburan rohani lho ya, karena kerap kali pula ada kesepian rohani.
Bilamana kesepian rohani sedang melanda hati dan hari-hari terasa lambat berlalu, apalagi dalam iklim cuaca Inggris yang cenderung membuat orang jatuh dalam depresi macam-macam ini, saya lalu berjalan-jalan di kompleks pemakaman di tengah biara. Di sana ada seratusan kayu salib yang merupakan batu nisan makam rahib Karthusian; hanya kayu kosong tanpa nama karena demikianlah cara rahib Karthusian dimakamkan, seperti diungkapkan oleh St. Paulus “Kalian telah mati, dan hidup kalian tersembunyi dalam Allah bersama Kristus” (Kol 3:3).
Di situlah dimakamkan seratusan rahib Karthusian dari Italia, Jerman, Perancis dan Inggris. Saya pun berdoa, “Wahai para rahib suci Karthusian, bila anda ingin saya menemani anda di situ, tolonglah doakan saya agar bertahan di sini sampai mati!”
Untungnya, tidak ada yang menjawab, kalau ada suara jawaban dari makam, saya malahan bisa kabur terbirit-birit ketakutan!
Keheningan doa terputus gara-gara kiriman email dari adik saya, Paul, di awal Februari 2008, yang memberitakan bahwa Jakarta (lagi-lagi) kebanjiran dan kakak Truus beserta keluarga musti mengungsi meninggalkan rumah mereka.
Tahun lalu, saya juga mendapat berita serupa. Hanya saja tahun lalu, berita itu hanya mengakibatkan saya bersedih dan berdoa lebih gencar untuk Truus sekeluarga. Kali ini, anehnya, berita itu membuat saya tak bisa tidur selama seminggu terus menerus.
Selagi saya berbaring tanpa bisa tidur, ingatan dan pikiran melayang ke mana-mana, ke masa lalu, masa sekarang, masa depan, ke neraka, ke api pencucian, ke bumi, dan ke sorga, melewati kenangan di bawah sadar maupun kesadaran.
Saya seakan melayang-layang, ikut melaju bersama banjir bandang di Jakarta. Saya merenungkan kembali seluruh perjalanan hidup panggilan saya dan muncullah pertanyaan besar: “Apakah memang Tuhan menghendaki saya tinggal di pertapaan Karthusian ini seumur hidup?”
Barulah saya sadari bahwa ketika saya merasa terpanggil untuk menjadi pertapa, bayangan saya itu jauh sama sekali dari pola hidup pertapaan Karthusian. Saya lebih terdorong menjadi seorang pertapa pengembara yang berjalan keliling untuk menyebarkan kasih Tuhan atau membawa orang pada kasih Tuhan. Atau pun bila berdiam di satu tempat, saya masih terbuka bisa dikunjungi banyak orang yang mungkin membutuhkan pertolongan macam-macam. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Memutuskan Tinggalkan Biara Khartusian di Parkminster Inggris (2)
Gambaran saya adalah seperti reshi dalam tradisi Timur, tapi ya amit-amit bukan Reshi Dorna lah ya, atau pun seperti staretz dan poustinik dalam tradisi spiritualitas Gereja Timur/Ortodoks, yaitu
pertapa yang hidup dalam ketersendirian dan kesunyian, kesederhanaan dan kemiskinan, total bergantung pada Penyelenggaraan Tuhan semata, dalam doa dan laku-tapa, namun terbuka pada setiap orang yang mau berkunjung. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Lie Cha Lie Chu Lie Chung Yen (1)
Kredit foto: Iustrasi (Ist)
Romo Martin, doakanlah kami secara khusus pada Tahun Hidup Bakti ini. Semoga romo tetap sehat dan menemukan kedamaian batin. Amin