Stille Nacht, Heilige Nacht

0
130 views
Ilustrasi: Gua kandang Natal. (Ist)

PETANG itu, 23 Desember 1818, Romo Josef Mohr memeriksa organ tua gereja St. Nikolas di Oberndorf, Austria. Sesungguhnya, itu tidak perlu dilakukan. Organ   sudah lama rusak. Teknisi janji akan memperbaikinya di awal musim dingin. Hampir dua bulan lalu. Tak tahu kenapa belum juga dikerjakan.

Di hati pastor muda ini, Natal tanpa musik ibarat roti tawar. Tak ada rasa. Karena itu, ia mencoba mengutak-kutik instrumen music benda tua ini. Maklum, baru tiga tahun yang lalu ditahbiskan menjadi imam. Semangat untuk berbuat sesempurna mungkin masih menyala kuat.

Beberapa kali jarinya menekan tombol-tombol dan melepaskan kembali. Tetapi, ruang gereja tetap senyap. Tarikan napas panjang tanda kekekecewaannya justru yang bergema menembus sepi.

Ia pun berguman, “Buang waktu percuma. Malam Natal akan tanpa musik,“ gerutunya.

Sambil meraih mantelnya, ditinggalkan ruang itu. Ia berjalan kaki ke luar kompleks gereja. Beberapa menit kemudian ia telah menyusuri jalan perbukitan di belakang desa.

Hembusan napasnya menimbulkan kepulan-kepulan putih di depan wajahnya. Malam itu terasa lebih dingin baginya. Jauh dari suhu yang sesungguhnya, minus lima derajad Celcius.

Terpaan cahaya bulan membuat kristal-krital es yang menutup dedaunan dan atap-atap rumah berkilauan. Malam di desa Oberndorf pun semakin terasa dingin dan sepi.

Dari puncak bukit, ia menangkap cahaya redup dari jendela rumah-rumah di bawah sana. Itu menjadi pertanda bahwa para penghuninya telah tertidur dalam lelap. Sunyi. Serta senyap.

Ketika menengadah, ia saksikan bintang-bintang gemerlapan menutup langit. Hati pun menjadi tenang dan damai.

“Aku tahu apa yang harus dilakukan”. Sembari bersiul riang, ia berlari meluncur menuruni lereng bukit. Tak lebih dari setengah jam kemudian, ia pun telah tertidur lelap dalam kedamaian di biliknya.

Di kala dari pucuk pepohonan sekelompok merpati kayu (kulumba palumbus) riuh menyambut pagi, Romo Josef Mohr sedang menikmati sepotong roti dan secangkir kopi pahit. Tubuhnya mulai menghangat.

Tak lama kemudian, pagi itu tanggal 24 Desember, dengan riang gembira, ia ayunkan kakinya menuju desa tetangga: Arnsdorf. 

Sekitar lima puluh menit kemudian, ia telah berada di dalam kompleks sekolah dasar Desa Arnsdorf. Di sini, sahabatnya, Franz Xavier Gruber, tinggal.

Belum lagi tiga ketukan, pintu di depannya sudah terbuka. “Selamat pagi, Pak Franz.” Dengan senyum tipis Romo Josef Mohr memberi salam.

“Ooohh, pagi Romo. Ada apa? Datang kemari sepagi ini,” sahut Franz Gruber gopoh.

“Tolong aku. Buatkan melodinya,” kata Romo Josef Mohr sambil menyerahkan secarik kertas kekuningan ke tangan si organis: Franz Gruber.

“Waahh meditatif banget, Romo. Bila ditulis?” lanjut Franz Gruber.

“Dua tahun lalu di Mariaparr. Aku tulis di lorong depan kamarku. Di depan lukisan Kelahiran Tuhan Yesus. Tenang, sepi, dan damai,” jelas Romo Josef Mohr.

“Wooo, puitis pula. Ayo, langsung mulai, Romo!” Ajak Franz Gruber.

Misa Natal tengah malam di Gereja St. Nikolas  di desa kecil itu telah ditutup dengan berkat Natal. Tetapi, umat masih duduk khusuk.

Lagu Stille Nacht, Heilige Nacht mengalun bening, lewat duet sepasang sahabat: Franz Gruber dan Romo Josef Mohr. Denting senar gitar mengiringinya. Baris-baris refren Stille Nacht, Heilige Nacht dilantunkan oleh paduan suara gereja.

Bait pertama mengabarkan bahwa di malam itu semua orang sudah tertidur lelap. Kecuali, sepasang keluarga kudus beserta Sang Bayi yang Kudus. Dua baris terakhir mengajak kita juga tidur dalam kedamaian surgawi. Schlaf in himmlischer Ruh.

Di akhir bait yang keenam, tepuk tangan pun menggema, menembus malam. Hati mereka tersentuh oleh pesan kerendahan hati, kasih, persaudaraan, keselamatan, serta kegembiraan.  

Pesan itu pun langsung menembus batas desa kecil Oberndorf bei Salzburg, Austria, menuju ke batas terluar dunia. Kini, lagu itu telah diterjemahkan ke dalam 300 bahasa.

Pastor kelahiran 11 Desember 1792 ini meman, sejak kelahirannya telah akrab dengan kesederhanaan dan kemurahan hati. Ia tidak segan-segan membantu kaum yang tertinggalkan. Tak heran jika, ketika meninggal di tahun 1848, uang tabungannya tidak cukup untuk membeli kain kafan.

Tempat peristirahatan terakhirnya berada di puncak bukit kecil, Alpine ski resort Wagrain di Austria. Pada batu nisan yang berada di sebelah gedung sekolah tertulis Rev. Josephus Franciscus Mohr.   

Terima kasih, Romo. Dua abad yang lalu telah kau lakukan evangelisasi baru. Menembus batas, merangkul kaum papa dan tertinggal.

Kisah ini ditulis ulang dari berbagai sumber. Di kala banyak orang telah tertidur lelap.

Pontianak, 9 Desember 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here