KEPADA saya beberapa tahun silam, Suster Moeder Emanuella Sahati PBHK pernah bertutur, bagi keluarga maupun kerabat, Romo Drijarkara SJ bukan lagi milik keluarga, meskipun tetap menjadi bagian darinya. Melainkan –kata alm. Suster Sahati—mendiang Romo N. Drijarkara SJ telah menjadi milik umat dan bahkan bangsa ini.
Meskipun lahir dari keluarga kecil nan sederhana, tetapi pemikiran dan pengabdiannya mengarungi bangsa ini. Maka hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk memikirkan bangsa ini melalui karya pendidikan. Itulah kesan “saudara kembar perempuan” Suster Sahati tentang pak lik-nya yakni Romo Drijarkara.
Hingga Suster Emanuella Sahati PBHK meninggal tahun 2011 lalu, saya tak pernah bertemu lagi dengan beliau sejak pertemuan tanpa rencana di Purworejo sekian tahun silam.
Rasa ingin tahu
Keingintahuan saya tentang sosok Romo Drijarkara SJ kembali dan semakin menyala ketika saya memasuki tahun ke-2 kuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Saya masuk STFK Pradnyawidya tahun 1992. Setahun kemudian, STFK merger dengan USD dan k arena itu saya harus mengikuti kuliah Filsafat Manusia.
Dosen mata kuliah filfasat manusia waktu itu adalah Romo Dr. Antoniius “Dipo” Sudiarjo SJ—kini sudah menjadi profesor. Kepada para mahasiswanya, Romo Dipo menjelaskan berbagai pandangan tentang manusia menurut filsafat empirisme. Salah satu uraian yang disampaikan adalah munculnya istilah homo homini socius yang merupakan kebalikan dari konsep homo homini lupus menurut Thomas Hobbes.
Menurut Romo Dipo, istilah homo homini socius awalnya dipopulerkan oleh seorang filsuf Indonesi dan itu tak lain adalah Romo Drijarkara SJ.
Mulai dari itu saya cukup bersemangat untuk menggali lebih jauh pemikirannya dan sekaligus jejak-jejak pribadinya. Dalam bayangan saya, tak akan mudah memahami pemikiran Romo N. Drijarkara SJ tanpa terlebih dahulu bisa menyelami sosok personalnya. Meskipun kuliah baru akan rampung 3-4 tahun kemudian, saya mulai berpikir bagaimana kalau menulis skripsi tentang pemikiran Drijarkara SJ.
Dua tujuan ingin saya raih, begitu isi benak saya waktu itu. Yani bisa segera mengakhiri kuliah sekaligus berhasil menemukan sosok yang dicari, seorang pemikir dari kampungku sendiri. Merasa sah sebagai warga Universitas Sanata Dharma, saya malah sering ke perpustakaan pusat USD.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus tersebut, pandangan mata saya terpaku pada sosok patung hitam di pintu utama sisi selatan USD dekat tangga. Itulah patung Romo Drijarkara SJ, sang cikal bakal lembaga pendidikan tersebut. Keinginan untuk menulis tentang Drijarkara SJ makin mantap dan ketika saatnya tiba, saya mencoba konsultasi dengan seorang dosen soal keinginan tersebut.
Namun apa jawab sang dosen, tema skripsi tantang Drijarkara SJ akan sulit karena menurut sang dosen:
- Tema tersebut terlalu filsafat sementara jurusannya adalah kateketik;
- Bahan-bahannya tidak mudah ditemukan;
- Pembimbing belum tentu bersedia.
- Sang dosen malah menakut-nakuti dari pada memberi semangat atau membantu.
Pada saat itu, meskipun kuliah di sekolah Yesuit, belum banyak frater atau romo Yesuit yang saya kenal. Padahal bila mau mencari dokumen-dokumen tertulis tentang Romo Drijarkara SJ dan pemikirannya bisa dengan mudah ditemukan di berbagai institusi Yesuit yang ada.
Saya menjadi agak nglokro saat itu, tetapi karena perjalanan waktu juga akhirnya di tengah kegalauan saya memutuskan menghadap alm. Romo Dr. Rudolf “Ruedi”Hofmann SJ, seorang Yesuit dari Swiss yang pada waktu itu mengajar komunikasi dan memperkenalkan pemikiran Paulo Freire dan Piere Babin.
Romo Ruedi, panggilan akrabnya, menawari dirinya bersedia menjadi pembimbing dan mengusulkan tema skripsi tentang pemikiran Paulo Freire. Rasa frustasi gagal menulis tentang Drijarkara SJ terobati dengan tawaran Romo Ruedi, meskipun dengan susah payah dan berdarah-darah.
Setelah membaca buku-buku pokok tentang Paulo Freire, akhirnya saya temukan tema skripsi tersebut: Konsientisasi, humanisasi dan transformasi sosial dalam pandangan pedagogi Paulo Freire. Tema tersebut saya tulis karena ternyata pandangan humanisme pendidikan antara Freire dan Drijarkara SJ ada kesamaan, meskipun berbeda konteks historis dan geografisnya.
Meski ada kesamaan, namun pada waktu itu, saya tetap merasa gagal menggali warisan pemikiran Drijarkara SJ. (Bersambung)