I am a Sinner

0
952 views

Pagi-pagi KRL yang kutunggu tiba di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Aku masuk di gerbong yang sama dengan lelaki bertanda hitam pada dahinya. Sejak menanti di KRL—duduk di batang besi melintang—ia sudah menyibukkan diri dengan sebuah buku saku berhuruf arab. Ia membaca dalam bahasa arab dengan mulut bergumam. Tuan dan Puan, jangan kalian tanya padaku buku apa yang ia baca. Aku tidak tahu.

Ia bergegas masuk ke gerbong tanpa melepaskan buku kecil itu dari jari-jarinya. Seketika duduk di jok warna biru tua, ia membaca dan membaca. Tas tenteng hitam itu diam di pangkuannya. Kaus kaki dan sepatunya memamerkan usia mereka yang sepertinya sudah kerap malang melintang membawa kaki melangkah. Lingkar celana itu sepertinya terlalu besar untuk tulang kakinya yang kurus. Ia membaca seperti orang sedang merapalkan mantra dengan bunyi lirih tapi cukup terdengar.

Setiap beberapa saat, ia jeda. Lalu mengangkat pandangnya pada seorang gadis muda yang duduk persis di depannya. Kemudian, lelaki itu menyebut Dia yang penuh belaskasih dengan ujung bibirnya. Lalu membaca lagi buku saku yang sama. Aku menduga buku itu sudah terlalu sering dibaca sehingga kumal. Sudut-sudut halamannya sudah keriting.

KRL sudah melewati Kalibata. Lelaki itu mengangkat pandang pada wajah sayu gadis muda berwajah sayu. Sepertinya ia sudah semalaman kurang tidur. Kali ini untuk waktu yang sedikit lebih lama. Buku kumal itu masih di tangannya. Lalu gadis itu dengan halus memalingkan wajahnya. Ah, ia menyembunyikan dirinya dari lelaki ini.

Lelaki ini melanjutkan membaca. Gadis muda itu duduk menyamping dan melipat kakinya. Tidak ada penumpang di kiri dan kanannya. Ia diam di situ seperti sebuah pulau yang kesepian.

Ia membiarkan sebagian pahanya tersapu pandang orang di sekitarnya. Jarinya asyik memainkan tuts-tuts handphone. Sementara tangan kanannya menarik rambut sebahunya agar menutupi sisi kanan wajahnya. Sepertinya ia tidak ingin wajahnya ditatap oleh lelaki yang duduk persis di depannya.

Ia menutup telepon selular dan memasukkannya ke dalam tas tangan hitam. Lalu ia mengambil dompet kemudian menarik beberapa lembar pecahan lima puluh ribu dan ia pindahkan ke sebuah dompet yang lain.

Entah sudah berapa kali lelaki kurus bertanda hitam pada dahinya menyebut Dia yang pengasih dan pemaaf.

Lelaki itu asyik membaca saat KRL sampai di Pasar Minggu. Tapi mendadak ia berhenti! “Astagfirullah…” kata itu meluncur dari bibirnya tepat saat gadis muda itu membungkuk untuk mengambil dompetnya yang jatuh. Laki-laki itu menggeleng pelan. Lalu ia menghujamkan pandangnya ke depan. Pada gadis muda berkaus cokelat tanpa lengan dengan belahan dada yang agak rendah, yang melilitkan scarf sekadar untuk melindunginya lengannya dari dinginnya pagi.

Lagi, gadis itu mengalihkan wajahnya ke samping. Menghindar dari tatapan seorang suci yang telah berkali-kali menyebut Dia yang penuh kasih dan penuh ampun di KRL ini. Gadis itu duduk diam. Beku. Wajahnya tertunduk dengan mata terpejam. Mungkin ia menangis. Entah apa yang terucap dalam hatinya pada Tuhannya.

Aku mengingat lelaki suci dan gadis muda sebelum tidurku. Kuucapkan, “Tuhan, aku tidak lebih baik dari lelaki suci itu. Juga tidak lebih baik dari gadis muda itu. I am a sinner.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here