Kekeliruan yang Menyesakkan

0
173 views
Skrupel (Ist)

INI kisah nyata. Tidak terlalu dramatis. Tapi pertempuran mendebarkan telah terjadi di dalam rongga dada. Bagi yang melihat, tak ada apa-apa. Bagi yang merasakan, cukup seru.

Minggu lalu, suatu senja menjelang malam. Saya sendirian di rumah, duduk di ruang tamu, sedang mendaraskan doa sore. Mencoba bersyukur karena limpahan berkatNya terus turun tanpa putus.

Sendiri di ruang sepi, tapi tidak kesepian. Merenung dalam, tapi tak melamun. Diselimuti sepi, tapi asyik sekali. Sampai kemudian terkejut mendengar teriakan nyanyian yang cukup keras.

Seseorang menyanyi di depan pagar. Pengamen bergitar dengan nada sumbang, mendendangkan lagu tak jelas lirik dan nadanya. Nampaknya dia sedang berusaha melantunkan lagu Kolam Susu ala Koes Plus.

Tapi bukan itu kisahnya. Selama suara “Koes Plus” terdengar, terjadi pertempuran di dalam hati. Kubu yang satu berkata: “Teruskan berdoa sampai selesai. Biarkan pengamen lelah bernyanyi, sampai pergi. Habis perkara”.

Kubu kedua membantah “Hentikan doa. Ambil uang (receh) di kamar, berikan kepadanya.”

Kubu “Terus berdoa” lawan “berhenti berdoa” bertempur seru di dalam sini. Kadang “terus berdoa” menang. Tapi tak lama.

“Berhenti berdoa dan memberi sedekah” ganti menguasai perasaan. Demikian silih berganti. Nominalnya (sangat) kecil, namun cukup berarti bagi pelantun Kolam Susu.

Alasan dari “terus berdoa” (moga-moga) membuat saya bisa lebih dekat dengan Tuhan, meski ada seseorang kecewa, karena tenggorokannya kadung kering, tanpa hasil.

Konflik berlangsung kira-kira 5 menit. Waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan lagu Kolam Susu bernada minor. Puji Tuhan, akhirnya, “berhenti berdoa” yang terpilih. Meski harus menunggu waktu yang cukup lama, sang pengamen tersenyum lega menggenggam uang yang tak seberapa.

Peristiwa dilematis seperti ini sering terjadi dan menjadi pengalaman batin, bagi saya dan mungkin siapa saja.

Saya menyesal, mengapa pilihan yang begitu jelas bak crystal clear, harus diambil begitu lama. Untung sang pengamen sabar menunggu. Kalau tidak? Saya kehilangan esensi berdoa, dan sang pengamen tak dapat apa-apa.

Para ahli menyebutnya ini pilihan antara “ibadah ritual” versus “ibadah sosial”.

Berdoa adalah ibadah ritual. Sedekah termasuk ibadaT sosial. Tak sulit untuk menjelaskan bahwa manusia harus melakukan keduanya, dengan seimbang.

Ini bukan dikotomis, bukan juga mutually exclusive. Tapi, sering tantangannya di dalam hidup sehari-hari tak sesederhana itu.

Sekali lagi, “pertempuran” itu seharusnya tak perlu berlangsung terlalu lama. Ia harus keluar secara refleks, otomatis. Sejak peristiwa itu, saya telah menanamkan pada diri saya tip yang sederhana. Bila keduanya tumpang tindih, pilih ibadah sosial, titik.

Pengalaman menunjukkan bahwa yang pertama lebih sering dimenangkan, karena lebih mudah melaksanakannya.

Kenyamanan, ketenangan dan kadang-kadang nama baik lebih memikat dibanding kemaslahatan sesama.

Belum kalau dihitung kerugian material, waktu dan tenaga yang biasanya lebih banyak keluar untuk pilihan kedua.

Ini ada contoh yang mirip.

Di suatu hari Minggu pagi, seorang teman harus melayani ibadat. Dia berangkat dengan persiapan yang matang. Tiba-tiba tahu kalau tetangganya sakit mendadak dan perlu diantarkan ke IGD. Ironis, sang teman memilih untuk meninggalkan si sakit. Dengan wajah tetap berseri-seri dia menuju ke rumah ibadah.

Itu bukan pilihan yang mudah. Tapi, kompleksitas pengambilan keputusan seperti ini seharusnya bermuara pada “kemenangan” ibadat sosial.

Memilih yang pertama dan meninggalkan yang kedua adalah mengingkari hakekat pilihan pertama. Akhirnya, dia tak mendapatkan keduanya.

Coba simak suatu kisah yang dikutip dari ajaran yang sering dijadikan contoh soal. Seorang pemimpin umat dan pemuka ningrat (Lewi) dianggap tak berarti apa-apa, karena mendiamkan korban perampokan yang luka-luka.

Meski mereka dikenal sebagai orang-orang “saleh”, tapi sayang, hanya satu arah.

Sebaliknya, seorang rakyat kecil, dari golongan masyarakat yang dimusuhi dan tersisihkan, justru mendapat posisi terhormat. Dia telah menolong dan menyantuni sang korban. Dia telah melakukan ibadah sosial dengan nyata. (Luk 10, 25-37).

Sebagai pelengkap dari “dialog diri” ini, izinkan saya menyadur kotbah Paus Fransiskus, dalam pertemuan dengan para pemuda di desa Guidonia, dekat kota Roma. Pesan yang menunjukkan betapa (sangat) pentingnya ibadat sosial.

“Mereka yang tak berbuat baik, bukan apa-apa selain burung beo. Hanya pandai berkata-kata”. (Kompas.com, Selasa, 17 Januari 2017 : 09.37 – Dikutip dari harian La Stampa)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here