Tunggu 50 Th, Tukang Koran Ketapang Mendongeng di Acara “Ngeteh Kompas” (1)

0
1,156 views
Penulis -- Cosmas Christanmas-- seorang mantan loper koran di Ketapang boleh mendongeng di Kantor Redaksi Kompas setelah 50 tahun menunggu "kesempatan baik" tersebut. Tampak dalam foto kode nomor 8 adalah musisi Addie MS. (Ist)


KAMIS 11 April 2019 sore dan atas kebaikan seorang rekan wartawan senior Kompas Mas Andreas Maryoto, saya termasuk rombongan sekitar 20 orang yang diajak Kompas untuk Acara Ngeteh di jantung pemberitaan koran Kompas, Kompas.com, dan Kompas TV di Menara Kompas Lantai 5, Palmerah, Jakarta Pusat.

Juga berbincang santai sekitar empat jam bersama Pemimpin Redaksi Kompas Mbak Ninuk Mardiana Pambudy, Wakil Pemimpin Redaksi Mas Paulus Tri Agung Kristanto, dll.

Rombongan kami antara lain:

  • Mantan Duta Besar RI untuk Portugal: Pak Albert Matondang.
  • Perintis Jakarta Eye Center: Dokter Mata Hadisudjono Sastrosatomo.
  • Shierly Ge dari Sun Life Financial.
  • Agam Fatchurrochman, profesional.
  • Addie MS, musisi kondang.
  • Beberapa penulis dan atau mitra pemberitaan Kompas, lintas generasi dari umur 25-an hingga 70-an, dari pelbagai tempat kelahiran di Tanahair.
Para pembaca setia Kompas diajak Redaksi untuk berbincang-bincang dalam acara “Ngeteh Kompas” di Menara Kompas, Jakarta, April 2019. Tampak kode-kode nomor (1) Andreas Maryoto; (2) Ninuk Mardiana Pambudy; (3) Tri Agung Kristanto; (4) Albert Matondang: (7) Agam Fatchurrochman.

Sebagai pembaca setia Kompas sejak usia SD atau sekitar 50 tahun yang lalu, saya merasa tersanjung sebab inilah kali pertama hadir sebagai undangan …ceile… langsung ke dalam dapur Kompas dan disambut ramah oleh pemimpin puncak redaksinya.

Ini bukti bahwa Kompas juga mencintai pembaca setianya, jadi para pembaca Kompas tidak bertepuk sebelah tangan saja, walaupun perlu menunggu giliran diundang sampai setengah abad lamanya.

Loper koran

Setiap orang dari kami yang hadir diberi waktu tak terbatas untuk berbagi cerita tentang pergaulan dan pergulatan masing-masing dengan koran Kompas selama ini.

Saat giliran bersaksi tentang Kompas, saya satu-satunya yang berbagi pengalaman khas yaitu sebagai tukang antar koran (loper) di kota kelahiran saya di Ketapang yang terletak di selatan Pontianak, Kalimantan Barat, semasa SD hingga tamat SMP tahun 1974.

Uskup pertama Keuskupan Ketapang: Mgr. Gabriel Wilhemus Sillekens CP. (Dok CP)

Keluarga kami menjadi sub agen tunggal Kompas di Ketapang. Dan itu bermula dari permintaan Uskup Ketapang waktu itu Mgr. Gabriel Wilhemus Sillekens CP yang membutuhkan 10-an eksemplar koran untuk para pelayan misi Gereja Katolik (pastor, bruder, suster, guru, perawat, penyuluh pertanian, dll) yang berkarya di wilayah keuskupannya yang seluas Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara saat ini.

Sekaligus kami juga melayani para pelanggan lain yaitu Muspida (bupati, dandim, danres, Ketua Pengadilan Negeri, Kepala Kejaksaan Negeri), pegawai negeri, dan pedagang di kota kecil itu.

Selain koran Kompas, kami juga mengageni media lainnya seperti Intisari, Bobo, Midi, Tempo, majalah hiburan, bahkan mencarikan buku novel terbaru terbitan Gramedia seperti Karmila, Badai Pasti Berlalu, dll.

Peta Kalbar di mana Ketapang berada. (Ist)

Tiba sangat terlambat

Koran Kompas dari Jakarta tiba di Pontianak dengan menggunakan angkutan udara (naik pesawat keberangkatan paling pagi dengan maskapai Garuda atau Merpati), sekitar pukul 10.00 dan itu pun kalau pesawat tidak mengalami delay.

Selanjutnya, paket koran itu lalu dibongkar di kantor agen yang terletak di Jalan Antasari; lalu diambil kakak saya yang sedang pendidikan SMA di sana, untuk selanjutnya dibawa ke pelabuhan di Jalan Kapuas Besar. Kemudian, barang paketan itu dititipkan ke awak kapal dagang yang kapalnya terbuat dari kayu secara tradisional yang mondar-mandir tanpa jadwal tetap ke Ketapang.

Kapal-kapal modern di dermaga Pelabuhan Ketapang by Mathias Hariyadi

30 jam perjalanan di laut

Lama perjalanan Kapal Layar Motor (KLM) antara Pontianak–Ketapang adalah sekitar 30 jam. Itu bisa lebih lama lagi tergantung ukuran motor penggeraknya, kedalaman sungai saat air surut, Angin Barat khususnya akhir tahun yang menimbulkan gelombang laut melebihi kemampuan kapal, gangguan teknis mesin, hingga kapal dialihkan sejenak untuk mendukung embarkasi/disembarkasi tentara yang pergi ke atau datang dari kapal angkut yang lebih besar lagi yang menunggu di Selat Karimata.

Karena itu, kapal yang dititipi Kompas bisa tiba di Pelabuhan Ketapang yang waktu itu masih di dalam kota di Jalan Merdeka setiap saat, sepanjang hari-malam. Dan itu ketahuan dari klakson kapal saat melewati belakang rumah kami yang berdiri di pinggir Sungai Pawan.

Inilah sungai yang lebarnya hingga 100 meter dengan kedalaman minimal dua meter, sehingga kapal perang, tanker, hingga kapal angkut tambang pun bisa lewat.

Derasnya arus dan lebarnya badan Sungai Pawan arah makam kuno di pedalaman Tanjungpura di luar Kota Ketapang, Kalbar by Mathias Hariyadi.

Dengan pelbagai kendala di atas, kapal aneka ukuran ini sering berpacu mengatasi gelombang di pesisir Kalimantan Barat bagian selatan. Ini membuat kapal-kapal itu ada kalanya harus berlindung di balik pulau kecil dan akhirnya baru tiba belakangan dari kapal yang berangkat kemudian, sehingga Kompas terbiasa tiba tidak berurutan edisinya.

Pernah liputan berita Kompas tentang Peristiwa Watergate -jatuhnya Presiden Amerika Serikat Richard Nixon, Agustus 1974- baru tiba sepekan kemudian, karena kapal yang dititipi mengalami kerusakan.

Saat saya antar ke Keuskupan, Mgr. Sillekens dengann sukahati bercanda: “Nanti kalau Amerika kiamat, kita baru akan kiamat sepekan kemudian, ya?” (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here