Sabtu, 24 Mei 2025
Yoh 15: 18-21
BARU-baru ini, hati kita terluka menyaksikan peristiwa menyedihkan: pengrusakan belasan makam di Yogyakarta, khususnya yang memiliki simbol salib.
Tindakan ini bukan hanya sebuah pelanggaran terhadap tempat suci dan damai, tetapi juga sebuah penghinaan terhadap iman, lambang kasih yang paling dalam bagi umat Kristiani, yakni salib, dihancurkan.
Salib bukan sekadar simbol. Bagi kita, salib adalah lambang cinta yang rela berkorban, pengharapan di tengah penderitaan, dan kemenangan atas dosa serta kematian. Ketika salib dihancurkan, yang dilukai bukan hanya batu, tetapi hati—hati orang-orang yang percaya dan mengasihi Tuhan.
Penghancuran salib tidak akan pernah bisa menghancurkan kasih Kristus. Tindakan kebencian tidak akan mampu memadamkan terang Injil. Bahkan, dalam sejarah Gereja, justru dalam tekanan dan penganiayaan, iman menjadi semakin murni dan kuat.
Peristiwa ini mengajak kita merenung: apakah kita tetap setia mencintai dan mengampuni, ketika iman kita diuji oleh kebencian? Apakah kita tetap bisa menjadi garam dan terang di tengah dunia yang mulai kehilangan rasa dan cahaya?
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu.”
Yesus tidak menjanjikan hidup yang mulus bagi para pengikut-Nya. Sebaliknya, Ia dengan jujur mengatakan bahwa dunia bisa membenci kita, sebagaimana dunia juga telah membenci Dia.
Hidup sebagai murid Kristus berarti hidup dalam terang, dan terang tidak selalu disukai oleh kegelapan. Ketika kita berusaha hidup jujur di tengah budaya yang penuh kepalsuan, ketika kita memilih kasih di tengah dunia yang penuh kebencian, atau ketika kita menolak kompromi demi kebenaran, seringkali reaksi dunia adalah penolakan, bahkan permusuhan.
Yesus tidak meminta kita untuk takut atau menyerah. Ia meminta kita untuk ingat: “Aku telah lebih dahulu mengalaminya.” Ia tidak hanya memahami penderitaan kita; Ia sudah melaluinya, bahkan lebih dalam dari siapa pun. Dan karena itu, kita tidak pernah sendirian.
Yesus memberi makna pada penderitaan karena kebaikan. Ia menunjukkan bahwa dibenci bukan berarti gagal. Justru dalam itulah kita mengambil bagian dalam salib-Nya, dan siapa yang mau memikul salib, akan menemukan hidup yang sejati.
Kita tidak akan membalas kebencian dengan kebencian, tetapi dengan kasih. Kita tidak membalas perusakan dengan dendam, tetapi dengan doa.
Dan kita tidak menyerah pada ketakutan, karena kita tahu: Tuhan yang kita imani telah menang. Salib boleh dihancurkan secara fisik, tapi salib kasih itu akan tetap berdiri teguh dalam hati kita.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku tetap setia meski ditentang bahkan dibenci karena menjadi pengikut Kristus?