- Bacaan 1: Rm 2:1-11
- Injil: Luk 11:42-46
Pencitraan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara sengaja dan sadar oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menutupi identitas atau keadaan yang sebenarnya demi mendapatakan tujuan tertentu. Pencitraan merupakan bentuk kemunafikan (tidak sesuai dengan kenyataan atau identitasnya), berkonotasi buruk. Banyak orang melakukan kebohongan demi dapat diterima di suatu lingkungan atau di suatu kumpulan yang sebenarnya tidak cocok dengan kepribadiaannya.
Dalam iman pun dikenal kemunafikan rohani, seperti yang dibicarakan dalam dua bacaan hari ini.
Tuhan Yesus mengecam orang-orang Farisi dan ahli Taurat, karena apa yang mereka lakukan dalam keseharian hanya berupa pencitraan saja. Menampilkan kesalehan atau religiusitas di luar, tapi tidak mencerminkan keadaan hati yang sebenarnya di hadapan Allah. Mereka hanya mementingkan:
- Ritual (persepuluhan, kehormatan, aturan) tapi mengabaikan kasih, keadilan, dan kerendahan hati.
- Pujian orang atas kesalehannya tapi tidak hidup sesuai dengan kehendak Allah.
- Pengajaran tentang Hukum, namun tidak melakukannya sendiri.
Ini merupakan bentuk pencitraan moral atau spiritual: tampaknya membela kebenaran, tapi hatinya tidak berubah (bertobat).
“…yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.” Demikian perintah-Nya.
Allah tidak tertarik pada pencitraan, tapi pada hati yang murni, rendah hati, dan tulus bertobat. Punya reputasi rohani bagus tapi hatinya kosong.
Hal ini selaras dengan pengajaran Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, yang sebenarnya merupakan teguran keras terhadap perilaku munafik, suka menghakimi orang lain (menganggap diri lebih baik) namun mereka sendiri masih berbuat dosa. Paulus mengingatkan bahwa:
- Menghakimi orang lain itu berbahaya bagi diri sendiri.
- Kesabaran Allah bukan toleransi terhadap dosa, namun mengharapkan pertobatan segera.
- Allah menghakimi secara adil.
- Semua orang itu berdosa, baik non Yahudi maupun Yahudi (meski punya Taurat)
- Semua orang adalah setara dihadapan-Nya.
Pesan hari ini
Iman sejati bukan tentang tampilan luar (pencitraan) namun tentang pertobatan hati, kasih, dan keadilan. Menghakimi pihak lain dan “kesalehan palsu” justru membawa murka Tuhan dan bukannya pujian dari-Nya.
Allah memanggil umat-Nya untuk hidup dalam kerendahan hati, keadilan, dan kasih, bukan dalam kesombongan religius.
“Lebih baik menjadi ateis yang blak-blakan daripada munafik.”