Adakah Engkau Juga Mendengar Suara-Ku? Catatan Perjalanan ke Assisi

0
39 views
Para bruder Kongregasi Maria Tak Bernoda (MTB) berziarah ke Assisi, Italia, beberapa tahun silam. (Dok. Br. Dinus Kasta MTB)

Pendahuluan

Tulisan ini merupakan refleksi pribadi dari sebuah perjalanan ke Assisi. Perjalanan dimulai dari negeri kincir angin, Belanda, menuju kota Assisi*di wilayah Umbria, Italia Tengah – kota kelahiran Santo Fransiskus dari Assisi, yang kemudian diangkat menjadi santo oleh Gereja Katolik karena seluruh hidupnya diabdikan kepada Tuhan. Ia mendirikan Ordo Fransiskan, sementara Santa Klara mendirikan Ordo Fransiskanes.

Salib San Damiano

Memandang Salib San Damiano -salib yang “berbicara” kepada Fransiskus muda- membawa pikiran dan perasaan melayang ke masa delapan ratus tahun yang lalu. Mudah diucapkan, namun sulit dibayangkan bagaimana suasana dan situasinya waktu itu.

Salib yang kini tergantung di altar depan Kapel Basilika Santa Klara (Basilica di Santa Chiara) itu seolah menantang setiap peziarah yang datang ke makam pendiri Ordo Puteri Miskin dengan pertanyaan: “Adakah engkau juga mendengar suara-Ku?”

Pada tahun 1257, salib berukuran tinggi 190 cm, lebar 120 cm, dan tebal 12 cm itu dipindahkan oleh para Suster Klaris dari Biara San Damiano (biara pertama mereka) ke Gereja San Giorgio (kini menjadi Basilika Santa Klara).

Salib itu mereka rawat selama tujuh abad, hingga pada Minggu Suci tahun 1957 mulai diperlihatkan kepada umum. Dari salib inilah Fransiskus muda memperoleh inspirasi, rahmat, dan kekuatan untuk “memperbaiki Gereja.”

Beruntunglah di sekitar kita selalu ada orang-orang yang memiliki roh pemelihara—mereka yang peduli melestarikan benda, kenangan, dan lingkungan hidup, bukan menghancurkan atau menggantinya.

Di tangan mereka, sesuatu menjadi indah dan bermakna: indah karena selaras dan menimbulkan rasa ingin tahu, bermakna karena memberi rahmat bagi diri sendiri dan sesama, baik secara jasmani maupun rohani.

Betapa sukacita pada akhirnya bisa berkunjung ke Assisi, tempat Santo Fransiskus dari Assisi memulai peziarah rohaninya dengan bertobat dan kemudian membangun komunitas Fransiskan. Pemandangan jalan menanjak di Kota Assisi. (Dok. Br. Dinus Kasta MTB)

Menuju Kota Assisi

Assisi, kota kecil di provinsi Perugia, wilayah Umbria, setiap hari dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru dunia. Dari warna kulit dan ciri fisik mereka tampak keberagaman bangsa-bangsa yang datang berziarah.

Dengan kereta api regional, kota berpenduduk sekitar 27.000 jiwa itu dapat ditempuh dalam waktu sekitar dua jam tiga puluh menit dari Stasiun Termini, Roma. Sepanjang perjalanan, kereta melintasi lembah dan perbukitan: Orte, Nera Montoro, Narni, Terni, Giuncano, Spoleto, Spello, Trevi, dan Foligno. Dari jendela tampak ladang jagung, bit, kentang, bawang, dan tanaman anggur.

Beberapa wilayah tampak mirip pegunungan di Nagekeo, Flores. Menjelang akhir perjalanan, tampak di sebelah kanan deretan bangunan rapi di lereng bukit dengan beberapa menara tinggi menjulang. “Itu kota Assisi,” ujar Br. Eduard Quint.

Tak lama kemudian, tulisan Stazione Assisi terlihat dari balik jendela.

Jalan kaki menuju Kota Assisi

Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Burung-burung kecil sebesar pipit riuh menyambut dari pepohonan di kanan-kiri jalan. Beberapa menit kemudian kami tiba di Gereja Maria Dei Angeli, menunggu bus menuju kota Assisi. Saat itu pukul 15.00 waktu Italia, atau pukul 10.00 pagi waktu Indonesia.

Kami berangkat dari penginapan “Casa La Salle”, Roma, pukul 09.00. Perjalanan menuju Terminal Cornelia memakan waktu sekitar 20 menit melalui lorong bawah tanah dan eskalator panjang, lalu dengan kereta menuju Termini. Kereta melewati stasiun Baldo D. Ubaldi, Valle Aurelia, Cipro, Ottaviano, Lepanto, Flaminio, Spagna, Barberini, Repubblica, dan berakhir di Termini.

Bus membawa kami ke terminal Piazza Unità d’Italia, dekat gerbang Porta S. Francesco dan Porta S. Pietro, salah satu dari delapan pintu kota Assisi. Kami masuk melalui Porta S. Francesco menuju biara Suore Francescane dei Sacri Cuori – Oasi di Preghiera P. Simpliciano di Via Borgo Aretino 12, tempat kami menginap.

Jalan menanjak, beberapa saudara tertinggal sambil mengatur napas. Sepanjang jalan, wisatawan dan peziarah tampak hilir mudik dalam kelompok besar maupun kecil. Kota penuh bangunan bersejarah, dengan kebun olive (zaitun) di sela-selanya. Tanaman olive, yang sudah dikenal sejak 3000 SM, menghasilkan minyak berharga tinggi -minyak zaitun- yang banyak tumbuh di kawasan Mediterania.

Pemandangan di balik jendela KA Cepat di Italia. (Dok. Br. Dinus Kasta MTB)

Tempat-tempat bersejarah

Menjelang senja, langit lembayung menyapu menara-menara kota yang didirikan sekitar tahun 300 SM itu. Kota tua yang melahirkan enam Orang Kudus, dengan Santo Fransiskus dan Santa Klara sebagai yang paling dikenal.

Dengan berjalan kaki kami mengunjungi berbagai situs suci:

  1. Basilika Santo Fransiskus Assisi.
  2. Rumah keluarga Pietro Bernardone dan Dona Pica, orang tua Fransiskus.
  3. Basilika Santa Klara.
  4. Basilika Santa Maria degli Angeli.
  5. Biara San Damiano.
  6. Santuario di Rivotorto

Dari halaman Basilika Santa Klara tampak pemandangan indah: Rocca Maggiore, Cattedrale San Rufino, dan lembah Umbria yang hijau berkilau.

Halaman Basilika Santo Fransiskus ramai peziarah. Di pintu masuk terdapat tanda larangan: hening, tanpa foto, berpakaian sopan.Di dalam, suasana khidmat terasa – ada yang berdoa, berlutut, atau mendengarkan panduan melalui alat audio.

Basilika dibangun mulai tahun 1228 oleh Bruder Elia Bombardone, murid pertama Fransiskus. Di bawah tanah disemayamkan jenazah Santo Fransiskus, bersama saudara-saudara Rufino, Angelo, Maseo, dan Leo. Para peziarah menyalakan lilin dan berdoa dalam keheningan.

Basilika bagian atas selesai dibangun tahun 1253, dengan dinding dan langit-langit dihiasi lukisan indah karya Cimabue dan Giotto.

Basilika Santa Klara, dekat penginapan kami, menyimpan jenazah Santa Klara yang ditemukan pada 23 September 1850etelah enam abad pencarian. Peziarah menunduk hormat di hadapan “wanita pemberani” itu. Di kapel samping altar tergantung Salib San Damiano asli, salib yang dulu berbicara kepada Fransiskus.

Gereja Porziuncola, tempat Fransiskus pertama kali menerima rahmat, kini berada di dalam Gereja besar Santa Maria degli Angeli, sekitar 4 km dari Basilika Santo Fransiskus. Di dekatnya terdapat Kapel Transito, tempat Fransiskus wafat. Di ruang kecil itu tersimpan pula kertas-kertas permohonan doa dan uang persembahan peziarah—simbol iman yang sederhana namun mendalam.

Wajah Kota Assisi di Italia tampil mengemuka dengan plang papan nama Stasiun Kota Assisi. (Dok. Br. Dinus Kasta MTB)

Perjalanan yang bermakna

Jalan-jalan di Assisi terbuat dari batu keras yang disusun rapi tanpa banyak aspal—tahan lama dan artistik, seperti tembok-tembok bangunannya. Situs-situs seperti San Damiano dan Rivotorto masih mempertahankan bentuk asli Abad Pertengahan, mengingatkan kita akan kesederhanaan dan kedalaman hidup Fransiskus.

Perjalanan Fransiskus menjadi perjalanan bermakna yang dimulai dari suara Salib San Damiano – benda mati buatan tangan manusia, namun mampu menggugah hati dan menyalakan panggilan ilahi. Ia menemukan suara Tuhan dalam segala ciptaan: matahari, bulan, api, ranting, burung, anjing, bahkan penderita kusta.

Fransiskus mendengar Tuhan melalui benda dan makhluk yang hadir dalam hidupnya.

Mungkin kuncinya ada pada olah rasa dan kepekaan hati – seberapa besar seseorang mampu menangkap maksud Allah melalui hal-hal sederhana yang Ia kirimkan setiap hari.

Pontianak, 25 September 2025

PS: Disarikan dari “Perjalanan ke Kota Assisi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here