Aneh Memang Pengaturan Masa Natal Ini!

0
1,719 views

NATAL II (PESTA ST. STEFANUS), 26 Desember 2011
Kis. 6:8-10.7:54-59; Mat.10:17-22

Aneh sekali pengaturan masa natal ini. Kemarin kita bergembira, sekarang kita mendengar hal yang memprihatinkan, Stefanus menjadi martir pertama yang mati untuk Kristus. Yang aneh itu kita! Kita membuat Natal menjadi saat berpesta dan bersenang-senang. Natal adalah awal Allah hadir di dunia untuk menyelamatkan manusia. Penyelamatan Allah tidak datang dalam bentuk pesta pora dan suka ria, tetapi lewat salib, kematian dan kebangkitan. Dan itu yang ditunjukkan Stefanus pada saat kematiannya. Dia berdoa seperti Yesus sebelum mati. Pesta St. Stefanus menjadi saat untuk merenungkan kembali makna natal kita. Kegembiraan kita menjadi kebahagiaan Natal kalau kita perjuangkan dan kita bagikan kepada sesama.

Sebenarnya, jika kita merenungkan peristiwa kelahiran Yesus, tidak ada pesta dan kemeriahan di sana. Kalau kita perhatikan semua tokoh yang hadir pada peristiwa kelahiran Yesus itu, siapa yang berada dalam suasana sukacita? Para gembala datang dengan kekumuhan mereka, membawa kabar aneh dari malaikat. Orang-orang Bethlehem sibuk dengan begitu banyak tamu yang menyerbu kota mereka untuk mendaftar sensus. Orang-orang yang seperti Maria dan Yusup, sama-sama dalam situasi prihatin, tidak punya tempat; berbagi keprihatinan bersama keluarga muda ini. Bapak Yusup tentu lelah sehabis perjalanan jauh dan sibuk membantu ibu Maria.
Dan ibu Maria, yang lelah dan sakit sehabis melahirkan, harus menerima tamu-tamu yang datang membantu dan menengok dia. Satu hal yang menarik, jika kita memperhatikan gambar/patung natal. Bagaimana sikap badan ibu Maria disana? Entah berlutut menyembah kanak-kanak Yesus, atau menggendong bayi Yesus dan menunjukkannya kepada para gembala/sarjana.

Semua lelah, prihatin dan tidak ada sukacita. Tetapi yang terjadi, dalam segala kelelahan dan keprihatinan itu, semua mencoba saling membantu, memberi perhatian. Itulah makna Natal sejati. Yang letih lesu dan berbeban berat, saling berbagi perhatian dan meringankan beban. Bukankah suasana seperti ini yang kita alami juga, tiap kali kita merayakan Natal? Kita yang hadir, juga lelah sesudah semua persiapan ini. Tetapi kita hadir dan saling berbagi perhatian dan pelayanan satu kepada yang lain.

Pelajaran berharga
Semalam saya keluar dari Supermarket jam 8.30. Hujan deras. Petugas Supermarket setengah berlari mendorong trolly berisi barang-barang belanjaan saya. Saya juga berlari-lari kecil menjajari langkahnya menuju mobil. Saya membukakan bagasi dan petugas memindahkan barang-barang belanjaan saya. Seorang penjaja kue semprong mendekati kami. Memang setahu saya banyak penjaja kue semprong disana menjajakan barang dagangannya dengan sedikit memaksa.

Karena terlalu biasa saya tidak mengacuhkannya, apalagi di hujan deras seperti ini. Setelah memberikan tip saya masuk mobil, namun masih saya dengar ucapan penjaja kue semprong tersebut, ‘Bu, beli kue semprongnya untuk ongkos pulang ke Tangerang.’ Didalam mobil saya berpikir saya kasih uang saja karena penganan yang saya beli di supermarket sudah cukup banyak, bagaimana jika tidak ada yang menghabiskannya. Nanti jatuhnya mubazir.

Saya memang lebih suka dengan para penjaja kue seperti ini ketimbang pengemis. Pelajaran berharga yang pernah saya dapat dari mantan bos saya sembilan tahun lalu. Masih teringat ucapannya ketika itu kami berdiskusi di kantor. Coba kalau ada penjaja makanan atau barang dan pengemis di lampu merah mana yang kamu berikan uang? tanyanya. Belum sampai kami menjawab, ia berkata lagi pasti yang kamu berikan uang si pengemis itu dan penjaja makanan atau barang itu kamu acuhkan. Secara serempak kami mengiyakan.

Coba pikirkan lagi, si pengemis itu cuma minta-minta uang, kenapa kita kasih uang, sementara si penjaja makanan ataupun barang punya harga diri, dan pastinya secara pribadi lebih baik dari si pengemis, lalu kenapa kita tidak membeli barang dagangan si penjaja makanan atau barang tersebut? Teman saya nyeletuk, karena kita ngga butuh. Mantan bos saya bergumam, Ya betul karena kita tidak butuh. Obrolan itu begitu singkat, tapi begitu mengena di hati saya. Pak Teddy Sutiman membuka mata hati saya untuk lebih bijaksana dalam melihat suatu persoalan, bukan hanya berpikir praktis saja. Dan sejak itu saya lebih memberi perhatian kepada para penjaja makanan atau barang di jalanan dibandingkan para pengemis.

Penjaja jual kue semprong itu masih dengan setia menanti di sisi mobil saya. Saya menghela nafas. Bukan karena tidak rela berbagi rejeki tapi karena menyesali banyak sekali penganan yang sudah saya beli tadi. Akhirnya saya membuka kaca, Pak, saya tidak mau beli kue semprongnya, tapi kalau bapak saya beri uang mau tidak?. Tidak dinyana penjaja kue semprong itu menggelengkan kepalanya dan pergi dengan cepat dari sisi mobil saya.

Saya tersentak dan menutup kaca jendela, hujan mengguyur deras dan membanjiri sisi kaca dalam mobil saya karena berbicara dengan si penjaja kue semprong. Beberapa detik saya kehilangan daya ingat saya, karena tidak menyangka ucapan yang keluar dari penjaja kue semprong tadi. Sembilan tahun saya telah lebih memberi perhatian kepada para penjaja makanan ataupun barang dibanding pengemis. Sesekali jika saya tidak butuh barang mereka, selalu saya ucapkan kalimat tadi, dan hampir semuanya tidak pernah menolak pemberian saya. Baru kali ini ada yang menolaknya. Baru kali ini …

Hujan mengguyur makin deras dan saya masih terpaku di mobil, terbayang ucapannya untuk ongkos pulang ke Tangerang.. sementara total nilai belanjaan saya tadi mungkin bisa untuk ongkos pulang Bapak penjaja kue semprong selama tiga bulan. Tersentak saya mencari-cari bayangan penjaja kue semprong ditengah kabut dari derasnya hujan, terlihat pikulannya ada di pinggir teras sebuah toko tutup. Penjajanya duduk di bawah dengan muka pasrah. Saya mundurkan mobil menuju ke arahnya.

Kembali saya buka kaca jendela sebelah kiri ditengah guyuran hujan dan menjerit, Pak, memang harganya berapa? Ia menyebutkan sejumlah harga yang sangat murah. Akhirnya saya katakan, ya sudah deh beli satu. Dia mebawa kue semprong pesanan saya di dalam plastik. Sampai di mobil, saya serahkan uang. Dan dia bengong karena saya tidak menyerahkan uang pas. Saya tahu dia pasti bingung memikirkan kembaliannya, tapi dengan cepat saya katakan, kembaliannya ambil buat Bapak saja. Dia bengong. Ambil saja Pak, ini rejeki bapak, memang hak bapak. Dia meneguk ludah, sebelum sempat dia mengucapkan apa-apa saya langsung menutup kaca mobil dan pergi.

Tiba-tiba air mata ini mengalir deras melebihi derasnya hujan diluar. Kalau bapak itu tidak menerimanya, saya tidak tahu seberapa sakitnya hati saya, karena di dalam rezeki saya ada hak mereka termasuk hak bapak penjaja kue semprong itu. Tiap bulan memang selalu saya sisihkan buat mereka, tapi mengetahui bahwa saya telah memberikan betul-betul kepada orang yang berhak menerimanya, betul-betul kepada orang yang berhati mulia, dan betul-betul kepada orang yang membutuhkannya, betul-betul membuat saya merasa hidup saya begitu bermakna dan saya sangat bersyukur atas rahmat-Nya.

Tuhan rela menderita
Di tengah leher saya yang sakit sekali karena tercekat, saya berdoa kepada Allah agar bapak penjaja kue semprong tersebut dan keluarganya diberikan rahmat, kemurahan rezeki dan kemudahan hidup oleh Allah. Dan saya bersyukur atas segala rahmat dan kemudahan hidup yang diberikan Allah kepada saya dan keluarga saya. Hujan masih deras mengguyur kaca mobil. Mudah-mudahan hujan cepat reda supaya bapak penjaja kue semprong tadi bisa pulang tanpa kehujanan.

Tuhan Yesus datang ke dunia bukan sekadar melaksanakan tugas dari BapaNya. Bukan juga sekedar karena ingin berbuat baik. Tuhan datang dan rela menderita sengsara dan mati untuk kita, karena Tuhan mencintai kita. Tuhan tidak hanya berbuat sesuatu; Tuhan memberi hatiNya kepada kita, supaya kita menerima hati Tuhan dan dapat menjadi anak-anak Allah.

Stefanus tidak hanya setia dan mencintai Tuhan Yesus. Ia hidup bersama dan seperti Tuhan Yesus. Karena itu ia mendoakan juga mereka yang merajamnya sebelum menyerahkan rohnya, seperti Yesus mendoakan mereka yang menyalibkan Dia.

Itu makna Natal. Tuhan memberikan diri, memberikan hatiNya kepada kita. Supaya kita juga dapat berbagi hati kepada sesama yang sama-sama lelah dan berbeban berat seperti kita. Sehingga kita semua dapat saling membantu semakin menjadi anak-anak Allah. Selamat menjalani Natal dalam hidup kita. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here