ENTAH apa yang telah membuat almarhum Frans bisa menjadi setegar baja? Saya sendiri heran, mengapa Frans bisa setangguh itu? Padahal untuk bisa makan sehari-hari pun, ia tak jarang harus menengadah ke atas sembari menunggu kebaikan tetangga dan mantan pembantunya memberinya ransum makan minum.
Ketegaran manusia seperti yang dicontohkan almarhum Frans dalam menghadapi pahitnya kehidupan seperti menjadi misteri yang susah saya cerna dengan pikiran sehat. Apalagi, hari-hari kehidupan Frans berhasil dia jalani dengan banyak mengumbar senyum. Tentu saja, senyum “pahit” karena terjadi di tengah kegaduhan perutnya yang sering telanjur lapar lantaran memang tiada makanan-minuman yang tersedia di rumahnya.
Tersenyum dan membiarkan dirinya pasrah adalah mutiara hidup yang telah ditunjukkan almarhum Frans kepada teman-temannya di Sesawi (Sesama Warga Ignatian). Inilah paguyuban kekeluargaan dimana semua eks Jesuit Indonesia boleh bergabung dan membina tali persaudaraan dalam semangat Yesuit dan pewartaan iman.
Datang untuk kemudian berpisah
Kedatangan almarhum Frans dalam acara Natalan Sesawi di Vila Aswanta Cisarua tanggal 7-8 Januari 2012 lalu sepertinya menjadi acara “pamitan” Frans kepada para sahabatnya di Sesawi. Padahal tahun-tahun sebelumnya, Frans memang tidak pernah (mau) muncul di acara-acara Sesawi, sekalipun bahkan telah diajak atau malah perlu diglembuk (dirayu-rayu) agar datang.
Entah apa yang tengah bergolak di hati Frans pada akhir tahun 2011, ketika tiba-tiba dia menyatakan mau datang ikut acara Natalan Sesawi di Cisarua. Ini jelas sebuah kejutan maha besar untuk keluarga Sesawi, setelah sekian lamanya tidak pernah berhasil membujuknya ikut acara-acara Sesawi .
Menjelang libur Natal tahun lalu, tiba-tiba saja Frans mengatakan: “Ya, saya mau datang!”
Tak ayal, berita kematian Frans yang teramat mendadak hari Senin (6/3) dinihari kemarin seperti gelegar petir di siang hari bolong. Sangat mengejutkan, karena sebelumnya tidak pernah terdengar kabar kalau Frans mengidap sakit serius.
Operasi bypass jantung
Hidup ini memang sebuah misteri. Susah ditebak dan pula sulit pula mengikuti kemana jarum jam kehidupan itu akan bergerak. Sejarah hidup Frans sungguh sebuah “misteri”, karena orang tidak bisa melihat isi terdalam hatinya yang porak poranda di balik senyumannya yang senantiasa super ramah.
Di sudut bibirnya yang selalu tersungging dengan senyuman, Frans melakoni hidupnya dengan penuh pengorbanan dan kesendirian. Sebagaimana kesan saya tentang “misteri”nya hidup Frans, almarhum mantan Frater Yesuit ini tetap saja berusaha tabah, tenang, dan bahkan mencoba kuat dan tegar bertahan menjalani kehidupan yang keras ini.
Tahun 1980-an, saat duduk di kelas 1 Medan Madya Pertama Seminari Menengah Mertoyudan di Magelang, Jawa Tengah, Frans sudah melakoni hidupnya dengan sangat sulit. Tiba-tiba saja dia divonis oleh dokter harus segera menjalani operasi bypass jantung karena ada kelainan pada perangkat vital tubuhnya itu. Berita itu tentu mengejutkan semua pihak, tak terkecuali staf Seminari Menengah Mertoyudan. Belum lagi, kabar yang menyebutkan biaya operasi bypass jantung itu harus dilakukan di sebuah rumah sakit khusus di Jakarta dengan biaya sangat-sangat besar.
Untunglah, waktu itu Seminari Mertoyudan punya Romo Rektor Sunarwidjaja SJ yang sebelumnya menjadi Vikjen KAJ dan beberapa paroki besar di Jakarta. Atas kerja keras almarhum Romo Sunar SJ, akhirnya Frans bisa menjalani operasi jantung skala besar yang membuat dadanya menyisakan sisa goresan sayatan pisau bedah teramat lebar di bawah rusuknya.
“Operasi itu digambarkan sangat berat. Harus dilakukan pembedahan seluruh dada. Kami para seminaris diajak mendoakan keberhasilan operasi tersebut. Namun sebulan kemudian, Mujiharjo telah kembali ke Seminari Mertoyudan dengan wajah yang lebih segar dan mampu berlari kesana kemari tanpa harus ngos-ngosan lagi,” kata Wahyu, yunior almarhum di Seminari.
Tahan dalam didikan spartan
Seperti kata Wahyu, juga yunior Frans di Novisiat SJ Girisonta, operasi bedah bypass jantung itu tidak membuat almarhum Frans lalu jadi kecut hati menjalani pendidikan model spartan yang diterapkan Magister Novis SJ waktu itu: almarhum Romo Ignatius Haryoto SJ. Sama seperti para novis SJ lainnya, Frans pun harus mengikuti ritme pendidikan Yesuit “kerja rodi” kala itu yakni harus mencangkul pagi-sore untuk meratakan tanah lapangan bola dengan kemiringan hampir 45 derajad. Sesekali harus “uji fisik” naik Gunung Ungaran untuk uji ketahanan fisik dan mental menghadapi tantangan alam.
Kalau harus meratakan tanah dengan alat-alat besar tentu tak masalah. Tapi ini dengan cangkul dan sungguh memang hanya bisa mengandalkan kekuatan otot dan nafas panjang manusia. Telapak kaki kanan saya ikut menjadi korban dalam projek kerja spartan ini. Kaki saya sampai mengalami sobek 17 cm dan harus berdarah-darah, karena ceroboh berlarian bercanda dengan Danang dan kemudian jatuh menginjak mata pisau cangkul yang terbenam di tanah dengan posisi menganga ke atas.
Frater Frans Mujiharjo SJ ternyata menjadi semakin kokoh berkat gemblengan spartan Romo Ig. Haryoto SJ di Novisiat Girisonta. “Walau hampir setiap hari ditugaskan bekerja yang menguras tenaga (termasuk angkat batu dan naik gunung), namun Frans tetap semangat dan tidak mengalami keluhan fisik. Setiap Senin, Frater Frans ikut turba ke desa-desa di sekitaran Girisonta mendampingi warga Merakmati. Karena semangat yang besar, Frans beberapa kali malah ikut ke stasi yang lebih jauh, seperti ke Sambeng. Sesudah kaul, pada tahun 1986, bersama frater-frater SJ lainnya Frans menginjakkan kakinya di Jakarta. Almarhum beberapa tahun tinggal di Unit Kampung Ambon bersama Romo Lastsendy Pr, Barsito, Romo Sugiyapitaya SJ, dan Joko Suyanto,” sambung Wahyu.
Menjadi lebih pede
Sejak bergabung masuk dalam persekutuan doa dengan kelompok karismatik asuhan Romo Sugiri SJ, tutur Wahyu, almarhum Frans mengalami perubahan besar dalam pengertian sangat positif. Dia yang dulunya teramat clingus (malu-malu, minder), kini berubah menjadi lebih pede berdiri dan bicara di depan umum.
“Saat ikut acara Natalan Sesawi Januari lalu, almarhum Frans malah berinisiatif memimpin doa penutup. Rasanya doa itu sepertinya menjadi semacam salam perpisahan almarhum kepada teman-teman di Sesawi,” tulis Wahyu.
Mendadak limbung
Roda berputar sedemikian cepatnya. Ketika istrinya dan keduanya anak pergi meninggalkan rumah, dalam sekejap almarhum Frans seperti menjadi limbung tak berdaya. Semangatnya hidupnya ambruk dan tak berapa lama kemudian dia memilih menyingkir dari kehidupan ramai dan mengunci diri.
Cobaan hidup satu per satu malah kemudian mengangkanginya di kemudian hari: kebanjiran, tiada pekerjaan tetap, dan tidak bisa makan-minum secukupnya hingga akhirnya dia “dipelihara” dan diberi makan-minum oleh mantan pembantu rumahtangganya sendiri.
Setengah tahun terakhir lalu sebelum akhirnya harus menutup mata untuk selama-lamanya, Frans kembali mulai bisa kembali menata hidupnya dari keterpurukan spiritual dan jiwa-raga.
Ketika hidupnya mulai normal kembali, harapan akan bisa bertemu anak-istrinya kembali meletup kencang di dadanya. Maka dari itu, gagasan Setiabudi agar rumah itu sebaiknya dijual untuk “menghapus” sejarah kepedihan hidupnya tak mau dia ladeni. Justru karena ada harapan besar, sekali waktu akan bisa bertemu lagi dengan anak-istrinya, rumah di Ciledug itu tetap dia hidupi sebagai “istana indah” di hari-hari sepinya sampai ajal menjemputnya, Senin dinihari lalu.
Dan harapan itu akhirnya terpenuhi di depan peti matinya sendiri, ketika Frans sudah menutup mata untuk selamanya. “Selamat jalan Frans, mutiaramu justru kamu dapatkan kembali, ketika kamu justru malah pergi selamanya,” kata Harsono, seniornya di Novisiat SJ Girisonta. (Bersambung)