CORONA telah memisahkan keluarga.
Kita tetap eling (ingat) dan waspada, coronavirus itu masih ada. Juga telah masuk ke dalam kancah hidup sehari-hari manusia. Sampai sekarang. Walaupun PPKM telah melonggar.
Kepiluan keluarga ikut terlahirkan di dalam masa pandemi Covid-19 berkepanjangan ini. Kematian karena coronavirus membuat keluarga tercerai berai secara mendadak. Dukacita mendalam, kepedihan, kepiluan. Bahkan luka batin selalu menyelimuti dan menghiasi peristiwa kematian.
Ada ibu mendekap puterinya yang sudah meninggal karena corona. Puterinya adalah anak semata wayang, namun meninggal karena dijemput corona.
Ibunya seorang janda, meratapi kematian puterinya dengan terus memeluknya selama tiga hari. (TribunNews, Indramayu, 20 Juli 2021).
Kelekatan batin seorang ibu dengan anaknya yang tidak bernyawa menyimpan duka nestapa yang mendalam. Jiwa ibu bagai tertikam dengan pedang.
Inilah keutamaan seorang ibu yang tidak ada bandingnya dalam memendam kepedihan dan duka lara.
Pilunya ibu terima abu jenazah anaknya
Bagaimana kepedihan Ibu Christina Subartini (78) menyambut Heru Supriyanto, puteranya, imam misionaris OMI yang kini sudah berupa abu? Romo Simon Heru omi
Inilah fakta yang direkam dan dicatat oleh Liem Tjay, ketika abu jenazah Romo Simon Heru Supriyanto OMI disambut oleh Bu Pur -nama panggilannya- simbok kandungnya di rumah.
“Ibu, menangislah demi anakmu…,” sepenggal lirik syair Ebiet G. Ade dalam lagunya berjudul Seberkas Cinta yang Sirna.
Tembang ini juga langsung mengingatkan Liem Tjay akan peristiwa perjumpaan Simbok Pur dengan puteranya Romo Simon Heru Supriyanto OMI pada tanggal 7 September 2021 di rumahnya Dusun Terbah Rt 23 Rw 09, Pengasih, Wates, Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Simbok sambut terima anaknya dalam bentuk abu
- “Abu”, bukan lagi masih berwujud jenazah yang bisa dipandang sebagai sosok Romo Heru, anaknya yang mengenakan jubah, stola, dan kasula, serta terbaring di dalam sebuah peti.
- “Abu” bukan wujud jazad Heru, si tole saka Wates (si anak dari Wates) yang terpilih sebagai imam-Nya, yang masih bisa disentuh dan dicium wajahnya.
- “Abu” bukan Romo Simon Heru Supriyanto OMI yang terbaring dalam peti sambil terkatub rapat kedua tangannya memegang Rosario, tangan yang biasa menyalurkan berkat Tuhan kepada umat-Nya.
Abu adalah benda terkecil -zaman itu, sebelum ditemukan atom atau partikel- sifatnya tidak ada artinya, mengotori, tak berguna, dan tak bermanfaat, tetapi masih bisa dilihat.
Kremasi adalah praktik penghilangan jenazah manusia setelah meninggal dengan cara membakarnya. Biasanya hal ini dilakukan di sebuah crematorium atau pancaka atau biasa dilakukan juga di sebuah makam di Bali yang disebut setra atau pasetran. Praktik kremasi di Bali disebut ngaben. (Wikipedia).
“Abu” adalah hasil dari cara pemakaman lewat kremasi yang lazim dilakukan di zaman corona ini. Walaupun sejatinya “kremasi” jarang dilaksanakan dalam tradisi adat Jawa, tetapi itulah fakta “abu” Romo Heru di depan mata simbok dan keluarganya di Wates.
Begitukah di mata Simbok Pur?
Simbok hanya memandang “abu” Heru, si tole anak kampung Wates dengan mata hati kasih. Apa daya tak mampu meraih dan memeluk jenazah Romo Heru untuk terakhir kali.
Air mata kasih Simbok Pur
- Air mata duka seorang Simbok menerima “abu” si tole, anak lanang, sing dipundhut Gusti dadi Romo (si bocah, anak laki yang dipanggil Tuhan sebagai Imam)
- Air mata duka nestapa seorang Ibu mendapat kunjungan “abu” si tole, Heru, yang telah menyelesaikan tugasnya mengemban panggilan suci, dengan tekun dan tabah dalam perjuangannya menerima sakit.
Simbok hanya dapat berteriak tanpa suara untuk mengungkap kata hati, nurani seorang simbok yang melahirkannya. Hanya derai air mata yang mengalir, mengalir, dan terus mengalir.
Airmata bening mengalir, menetes, memecahkan keheningan dan kebeningan hati seorang simbok, di tengah suasana duka keluarga dan masyarakat sekitar.
Inilah bahasa tubuh, tanda kasih, cinta tulus dan lembut sesosok pribadi “simbok” dari desa kepada anaknya.
Airmata Simbok terungkap, lalu berujar
Simbok Pur sambil lirih dan lembut menyuarakan nurani hatinya:
“Simbok wis (sudah) ikhlas, Heru. Kau bukan corona, kau tetap anakku. Kau tetap imam-Nya. Memang, Heru, anakku lanang singgah, mampir ke rumah tempat Simbok yang melahirkanmu. Sekarang, pulanglah ke rumahmu yang sejati.
Simbok hanya pasrah dan pasrah. Teriring derai airmata sukacita.
Sakjane simbok ora tega nampa abu. Simbok mung pasrah, melu seneng Gusti wus mundhut Romo Heru, anakku sing bagus dhewe (sebenarnya ibu tidak tega menerima abu. Ibu hanya pasrah, ikut senang Tuhan sudah menjemput Romo Heru, anakku yang paling tampan dan baik).
Wis rampung uripmu neng donya, dadi Romo (sudah selesai hidupmu di dunia, jadi Imam).
Selamat jalan menuju rumah Bapa, tempat kediamanmu nan abadi.”
Romo Simon Heru singgah di rumah.
Budaya Jawa melakoni falsafah hidup: “Urip iku mung mampir ngombe” – hidup itu hanya sekadar singgah untuk minum. Yang namanya singgah, sifatnya tidak lama; hanya sejenak dan singkat.
Dengan singgah di rumah simboknya di Wates, Romo Heru akan tetap ingat akan tujuan yang sebenarnya yaitu “rumahnya sendiri”.
Dalam arti ini manusia adalah sang peziarah yang berjalan dan berjalan.
Ibu siap dampingi anaknya hadapi ajal
Walaupun Romo Heru dengan setia harus bolak-balik dari Novisiat OMI ke RS Panti Rapih Yogyakarta untuk masa penyembuhan, Simbok yang sudah sepuh tetap setia menemani dan menemani dari rumah Wates.
Jarak yang cukup jauh, faktor usia yang rentan dengan penyakit, apalagi masa PPKM, membuat Simbok duduk termenung sambil terus mendoakan Romo Heru anaknya, agar tetap waras, sehat, dan sembuh total.
Inilah yang bisa dibuat dan dilakukan sebagai bentuk dan ungkapan kasih sejati seorang Simbok, bernama Christina Subartini atau Bu Pur panggilannya di desa.
Simbok sudah melepaskan dan merelakan puteranya yang dipilih Tuhan untuk menjadi imam-Nya. Apalagi di masa corona yang sering membuat dilema hidup dan kadang harus berakhir dengan perpisahan, simbok tetap menerima fakta kematian Romo Heru. (Berlanjut)