RUMAH keluarga Romo Drijarkara yang kami kunjungi itu pun sederhana, setengah bawah tembok dan setengah atas dari anyaman bambu. Sungguh mengharukan menyaksikan dari tempat yang sangat sederhana, di desa sunyi terpencil di pegunungan, dengan akses jalan yang waktu itu pasti sangat sulit, bisa lahir orang sepandai Prof N. Drijarkara SJ yang kini namanya diabadikan menjadi Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara di Jakarta.
Drijarkara sekolah di SD Cangkrep. Itu berarti harus jalan kaki cukup jauh dari desanya. Cangkrep berjarak hanya 3 km dari pusat kota Purworejo. Rupanya setamat SD, ia melanjutkan ke Seminari Yogya tahun 1929-1935. Disebutkan pula bahwa ia pernah sekolah di Kolose Xaverius Muntilan pada tahun-tahun pendudukan Jepang tahun 1942-1943.
Lagi-lagi Muntilan, pusat misi Katolik Jawa Tengah, berperan pula bagi pendidikan seorang Drijarkara ini. Mungkin karena didikan Muntilan itulah, dia bisa menjadi orang besar setelah dididik para Yesuit dan kemudian masuk SJ pula. Setelah menjalani tahun novisiat, almarhum Romo N. Drijarkara lalu bertolak ke Negeri Belanda: di sana belajar filsafat dan teologi dan akhirnya belajar lanjut bidang filsafat hingga meraih gelar doktor di Universitas Gregoriana di Roma.
Ia juga pernah menjadi dosen terbang di Missouri, Amerika Serikat. Juga mengajar filsafat di beberapa universitas terkemuka di Indonesia yang sudah eksis pada zaman itu. Pernah menjadi anggota MPRS dan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI, zaman Presiden Soekarno.
Romo Nicolaus Drijarkara SJ ditahbiskan imam tanggal 6 Januari 1947 di Semarang oleh Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Dari Stasi Kedunggubah ini sampai sekarang hanya Romo Drijarkara saja yang merupakan imam pertama dan terakhir. Hingga sekarang, Kedunggubah belum ‘melahirkan’ satu calon imam, pun pula bruder atau suster.
Fenomena Drijarkara ini sungguh unik. Beliau melejit bagaikan meteor mencuat ke atas melewati celah-celah perbukitan yang mengelilingi rumahnya itu untuk menjadi orang terkenal dan berperan penting bagi Gereja dan Negara Indonesia.
Yang sebenarnya ingin kita ketahui juga adalah: dari mana ia mengenal agama katolik? Umur berapa ia dibaptis?
Nama orantuanya yakni Atmasenjaja. Sepertinya tanpa nama baptis. Mengapa ia sampai akhirnya masuk sekolah di Seminari Yogyakarta dan kemudian masuk Jesuit?
Siapa nama romo-romo misionaris Belanda yang waktu itu sampai blusukan masuk pergi ke Kedunggubah dan menarik hati Djentu untuk kemnudian menjadi katolik dan bahkan menjadi seorang romo? Dan kendatipun sudah ada Romo Drijarkara, namun Stasi Kedunggubah itu sampai sekarang masih tetap stabil. Maksud saya, juga tidak mengalami perkembangan berarti.
Sepertinya tidak ada pengaruh dari ketenaran salah satu anak stasinya itu.
Di depan Gereja Stasi St. Nicolaus Kedunggubah yang kecil dan sederhana itu kini berdiri patung setengah badan Romo Drijarkara SJ. Barangkali ini untuk menandakan bahwa beliau berasal dari situ. Namun melihat patung orang terkenal di bawah pohon-pohon bambu yang sederhana itu juga merupakan pemandangan yang kontras dan menyentuh hati.
Seolah-olah patung itu tidak cocok berada di tempat itu. Ia harus berdiri di depan STF Drijarkara Jakarta atau di depan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sepertinya Romo Drijarkara juga termasuk salah satu pendiri –waktu itu—IKIP Sanata Dharma. Atau jangan-jangan nama itu malah berasal dari beliau, mengingat bunyinya lebih berasal dari Bahasa Sansekerta dari pada kata bernuansa Katolik.
Namun… patung itu tetap di situ dan memang harus di situ, karena hal itu menunjuk pada kebenaran nyata bahwa Romo Drijarkara memang berasal dari desa itu. Namun, walaupun berasal dari desa terpencil dan sederhana itu, keluarga Romo Drijarkara masih ada garis keturunan raja Mataram.
Itu karena Agus menunjukkan kepada kami Silsilah Mataram yang dibuat tahun 1935 dengan ketikan rapi dan bahasa Jawa dengan ejaan lama (Soerat Koetipan Silsilah Mataram). Lembaran kertas yang mulai kusam itu dilapisi plastik dan menjadi dokumen keluarga. Namun surat itu pun hanya kutipan dari aslinya yang mungkin tersimpan di tempat lain yang terhormat.
Mungkin darah ningrat Kerajaan Mataram yang mengalir dalam diri Romo Drijarkara itu yang telah menjadikan Hirman alias Jenthu itu sampai memiliki talenta dan kepandaian luar biasa, meskipun terlahir di desa terpencil. (Bersambung)
Artikel terkait:
Tautan: Situs resmi STF Driyarkara Jakarta (www.driyarkara.ac.id)