“Mbak dari Komnas juga?”
“Bukan, Pak.”
“Oh, mahasiswa ya, Mbak?”
Saya tidak menjawab pertanyaan bapak berusia paruh baya tersebut dan membiarkannya menggantung. Percakapan ini terjadi di TPU Pondok Ranggon, lokasi terakhir Napak Reformasi 2025 – kegiatan tahunan Komnas Perempuan memperingati reformasi dan berbagai peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Saya merasa canggung.
Selama lebih dari 30 tahun saya hidup dan tumbuh besar di ibu kota, namun baru di peringatan ke-27 tahun reformasi saya berani mendekati jejak sejarah. Keinginan untuk mendekat tersebut kerap terbentur rasa khawatir akan terpicunya trauma lantaran mengetahui secara lebih rinci kekejaman negara terhadap warganya sendiri.
Di tengah rasa gamang sebagai salah satu warga negara perempuan urban milenial yang kerap me-repost meme: “Ayah, kenapa aku terlahir WNI” serta mencuitkan #IndonesiaGelap, saya memutuskan ikut Napak Reformasi 2025. Suasana penuh harapan pasca Konklaf tampaknya sedikit banyak memengaruhi saya, sehingga lebih berani mendekat ke ruang-ruang ‘gelap’ kota kelahiran, meski interaksi saya dengan sesama peserta sangat terbatas.

Sebagai gambaran, saya bersama lebih dari seratus peserta -hampir semuanya perempuan- berangkat dari kantor Komnas Perempuan di Menteng, Jakarta Pusat. Rombongan terbagi dalam empat bus dan melewati Rutan Jalan Guntur (penjara tahanan politik Tanjung Priok 1984), lalu mengunjungi Monumen dan Museum Tragedi 12 Mei 1998.
Selanjutnya, rombongan berhenti di Unika Atma Jaya untuk mengenang Wawan, salah satu mahasiswa Fakultas Ekonomi yang tewas tertembak pada tragedi Mei 1998. Hingga kini, Sumarsih -ibu almarhum Wawan— konsisten melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara.
Usai makan siang, rombongan melanjutkan perjalanan ke Plaza Yogya Klender – sekarang Mal City Plaza (Ciplaz) Klender. Di sana, keempat komisioner Komnas Perempuan mengumpulkan peserta, korban dan keluarga korban, serta para aktivis HAM, untuk mendoakan korban tak teridentifikasi. Selama ini, pengetahuan saya tentang korban Kerusuhan Mei 1998 terbatas pada mahasiswa dan perempuan Tionghoa; padahal banyak anak-anak sekolah yang menjadi korban kebakaran di Mal Klender.
Tujuan terakhir Napak Reformasi 2025 adalah TPU Pondok Ranggon. Di sana, Dialita -kelompok perempuan lansia penyintas tragedi 1965-mempersembahkan tiga lagu yang dibawakan bersama staf Komnas Perempuan dan PINTI (Perempuan Indonesia Tionghoa). Di sela lantunan lagu, saya memberanikan diri bertanya kepada bapak di sebelah: “Bapak keluarga korban tragedi apa?”
Percakapan tersebut mengungkap bahwa bapak di sebelah saya adalah korban langsung peristiwa Tanjung Priok 1984. Ia menyampaikan sulitnya mengawal keadilan: hanya 15 dari 87 korban yang tetap gigih mengurus kasus ke pengadilan; yang lain banyak menarik laporan dan ‘menghilang’ setelah mendapat tawaran uang.
Mendengar itu, saya bertanya lagi, “Kenapa Bapak tidak terima uang saja seperti mereka? Apa yang Bapak perjuangkan? Kita tahu keadilan sulit didapat.”
Bapak menegaskan, “Di pengadilan kita akan ditanya, ‘ada penembakan, nggak?’. Saya tidak bisa bilang enggak ada, padahal ada. Kalau saya terima uang, saya nggak akan berkumpul di sini bersama mereka (yang masih memperjuangkan keadilan).”
Saya tertambat oleh keteguhan Bapak – rela memilih jalan sunyi, menolak kompromi ‘uang penenang’, demi menegakkan integritas dan keadilan yang semakin langka. Di antara 113 nisan massal korban Kerusuha Mei ’98 di TPU Pondok Ranggon, kata-kata beliau ibarat nyala lilin kecil di kegelapan: rapuh, tapi teguh menantang angin.
Saya menyadari ada jarak yang memisahkan saya dari tragedi Mei 1998—bukan sekadar ruang waktu tiga dekade, tapi juga lapisan kenyamanan kehidupan kota yang kerap mendistraksi nurani.

Momen Napak Reformasi 2025 membuat saya belajar bahwa jarak itu dapat dipendekkan hanya dengan satu langkah: membuka hati untuk bertanya dan bersaksi.
Sebagai seorang Katolik sejak lahir, saya merasakan bagaimana keyakinan atas hari depan yang lebih adil mengajak semua orang yang berada di TPU Pondok Ranggon agar tidak sekadar menangis atas luka sejarah, tetapi juga menyalakan kembali harapan akan kebangkitan keadilan.
Hingga hari ini, ketakutan akan pengulangan kekerasan oleh negara tetap menyelinap—seperti bayang-bayang di lorong pemakaman—tapi ia tak lagi membuat saya apatis. Sebaliknya, ia mengajarkan bahwa mengenang adalah sebentuk doa: tidak ada derita yang sia-sia, baik yang dialami mereka di masa lalu maupun kami yang sekarang masih memperjuangkan kehidupan.
Di Tahun Peziarah Harapan ini, saya memilih berjalan bersama kenangan, melewati patahan sejarah dengan keyakinan bahwa setiap langkah—betapapun pelan dan lelah—adalah iman yang mampu merawat luka bangsa.