Eklesiologi Kristosentris Paus Leo XIV: Pandanglah Kristus, Datanglah Mendekat Dia

0
60 views
Paus Leo XIV memulai masa kepausannya dengan merayakan ekaristi meriah di Lapangan Santo Petrus Vatikan, Minggu 18 Mei 2025. (Romo Agustinus Purnama MSF)

KETIKA artikel ini ditulis, Gereja Katolik baru 28 hari (8 Mei–4 Juni 2025) mempunyai seorang pemimpin tertinggi yang hadir dalam sosok Kardinal Robert Francis Prevost OSA dengan mengambil nama Paus Leo XIV. Sepanjang waktu 28 hari itu telah muncul ragam tulisan yang coba menganalisa visi kepausan Paus Leo XIV.

Kata-kata yang disampaikan Bapa Suci ketika pertama kali tampil di balkon Basilika St. Petrus menjadi rujukan utama dalam upaya analisa itu. “Kita harus bersama-sama mencari cara untuk menjadi:

  • Gereja yang misioner.
  • Gereja yang membangun jembatan dan dialog.
  • Gereja yang selalu menerima dengan tangan terbuka mereka yang membutuhkan.”

Bila kita melihat kembali video pidato itu secara keseluruhan, kita akan menyadari kalau kata-kata dalam kutipan di atas disampaikan oleh Bapa Suci secara khusus kepada Gereja di Roma. Seperti Lapangan Basilika St. Petrus yang selalu terbuka menerima siapa pun, begitu jugalah seharusnya jemaat Gereja di Roma.

Selain kutipan di atas, kata-kata berikut juga kerap dirujuk dalam rangka menginterpretasi visi kepausan Paus Leo XIV: “Gereja yang selalu mencari perdamaian dan keadilan”.

Dengan melandaskan diri pada kutipan-kutipan itu, ada bagian esensial yang kita abaikan dalam menafsir wajah Gereja seperti apa yang hendak ditampilkan oleh Paus Leo XIV.

Bagian esensial yang saya maksudkan ialah kata-kata Paus Leo XIV yang mendahului kedua kutipan di atas. Kata-kata yang lewatnya Bapa Suci ingin menegaskan bahwa visi dan program kepausannya itu ialah kristosentris. Kristus baginya adalah pusat bagi hidup dan karya misi Gereja.

Penegasan itu kita jumpai dalam kata-kata Bapa Suci berikut ini.

Pertama, saat beliau menyapa Gereja semesta dengan kata-kata dari Tuhan yang sudah bangkit mulia: “Damai sejahtera bagi kamu.”.

Gereja memang dipanggil untuk mengupayakan perdamaian. Akan tetapi, Paus Leo XIV hendak mengingatkan bahwa damai yang ditawarkan oleh Gereja adalah damai yang berasal dari Kristus sendiri. Bukan seperti damai yang diberikan oleh dunia (bdk. Yoh 14:27).

Damai, yang dalam kata-kata Bapa Suci sendiri, adalah damai “that is unarmed and disarming, humble and persevering. A peace that comes from God, the God who loves us all, unconditionally.”

Kedua, saat Paus Leo XIV mengatakan, “Oleh karena itu, dengan tanpa takut, bersatu, bergandengan tangan dengan Tuhan dan dengan sesama, marilah kita berusaha maju. Kita adalah murid-murid Kristus. Kristus berjalan di depan kita. Dunia membutuhkan cahaya-Nya. Kemanusiaan membutuhkan Kristus sebagai jembatan untuk dapat digapai oleh Allah dan oleh kasih-Nya”.

“Dunia membutuhkan cahaya-Nya”

Perkataan Bapa Suci ini mengingatkan kita akan dokumen Konsili Vatikan II Lumen Gentium: Konstitusi Dogmatis tentang Gereja. Di dalamnya para Bapa Konsili menegaskan bahwa, “Terang para bangsalah Kristus itu. Maka Konsili suci ini, yang terhimpun dalam Roh Kudus, ingin sekali menerangi semua orang dengan cahaya Kristus, yang bersinar pada wajah Gereja, dengan mewartakan Injil kepada semua makhluk (lih. Mrk 16:15) (LG, 1).

Rujukan kepada ajaran Konsili mau merefleksikan komitmen Paus Leo XIV terhadap pembaharuan -bukan diskontinuitas- yang dicita-citakan oleh para Bapa Konsili.

Digemakan kembali saat Misa Inaugurasi

Gema eklesiologi kristosentris yang telah disuarakan dari balkon Basilika St. Petrus, kembali digaungkan oleh Paus Leo XIV saat perayaan Misa Intronisasinya sebagai Paus. Di tengah dunia kita sekarang ini ada banyak perselisihan.

Ada banyak luka yang disebabkan oleh kebencian, kekerasan, prasangka, rasa takut akan perbedaan. Juga oleh paradigma ekonomi yang mengeksploitasi dan memarginalkan kaum miskin.

Di tengah situasi dunia yang sedang terluka itu, Bapa Suci mengajak kita untuk mengatakan kepada dunia: “Pandanglah Kristus. Datanglah mendekat kepada-Nya. Sambutlah sabda-Nya yang menerangi dan menghibur.

Lewat ajakannya itu, Paus Leo XIV menunjukkan sebuah sikap yang sangat berani. Akan tetapi, justru pada poin inilah menjadi jelas bagi kita mengapa beliau memilih nama Paus Leo XIV.

Ajakannya untuk memandang Kristus, datang mendekat kepada-Nya dan menyambut sabda-Nya adalah ajakan yang dulu juga disampaikan oleh Paus Leo XIII dalam Ensiklik Rerum Novarum.

Ajakan Paus Leo XIII ini sepertinya kurang begitu disuarakan karena memang bisa menjadi batu sandungan dalam menjalin kerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik dalam membangun tata hidup bersama yang semakin adil dan damai.

Ajakan dari Paus Leo XIII yang saya maksudkan ialah ini:

“Pantang diragukan: berkat terang Injil warta misteri agung penjelmaan Sang Sabda dan penebusan umat manusia disebarluaskan ke seluruh dunia.

Masyarakat dirasuki oleh kehidupan Yesus Kristus Sang Allah-manusia, dan diresapi dengan iman akan Dia, ajaran-Nya dan hukum-hukum-Nya. Kalau masyarakat memang membutuhkan penyembuhan, itu hanya dapat terlaksana bila orang-orang kembali menganut hidup dan ajaran Kristiani” (Rerum Novarum, 27).

Ajakan yang diserukan oleh Paus Leo XIV barangkali juga tidak akan begitu dikumandangkan. Dua buah kutipan yang sudah saya singgung di awal tulisan ini, yang dijadikan sebagai rujukan utama dalam menginterpretasi visi dan program kepausan Paus Leo XIV; setidaknya memberi sedikit bukti kalau menyebut nama Yesus Kristus dan ajaran-ajaran-Nya seakan menjadi penghalang bagi Gereja dalam perutusannya mengupayakan perdamaian dan keadilan.

Ajakan itu memang terdengar dapat menjadi batu sandungan. Sebab, tidak mungkin masyarakat dunia memandang Kristus, datang mendekat dan menyambut sabda-Nya. Tidak mungkin juga orang-orang menganut hidup dan ajaran Kristiani.

Sadar akan hal itu, Paus Leo XIV menandaskan kalau ajakan itu disampaikan dengan sukacita dan rendah hati. Bukan dimaksudkan untuk menempatkan Gereja superior terhadap dunia.

“Kita dipanggil untuk menawarkan kasih Allah kepada setiap orang, supaya mencapai persatuan yang tidak meniadakan perbedaan tapi menghargai sejarah personal dari setiap pribadi dan kultur sosial serta religius setiap orang.”

Bahwa ajakannya itu bukan untuk menunjukkan superioritas Gereja terhadap dunia, Paus Leo XIV sejatinya hanya ingin menyuarakan kembali apa yang diajarkan oleh Paus Leo XIII.

Paus Leo XIII memang menegaskan kalau penyelesaian terhadap persoalan-persoalan sosial akan sia-sia kalau Gereja tidak diikutsertakan (lih. RN, 14). Akan tetapi dengan penegasannya itu, beliau tentu tidak hendak mengatakan kalau Gereja-lah satu-satunya yang bisa menyelesaikan segala persoalan kemanusiaan.

Beliau menulis demikian: “Siapa pun yang berlagak mampu membebaskan rakyat pada umumnya dari segala duka-derita, dan membawa damai serta hidup penuh kenikmatan yang tak pernah berakhir, berbohong besar-besaran. Ia memancangkan prospek palsu, yang hanya dapat menimbulkan ledakan kejahatan, yang malahan masih lebih dahsyat lagi dari yang diderita umat manusia sekarang”.

Untuk mengingatkan Gereja agar membangun kerja sama dengan setiap orang, Bapa Suci melanjutkan, “Langkah terbaik yang dapat ditempuh ialah menerima kenyataan, dan dengan cara-cara lain mencari upaya-upaya yang cocok untuk meringankan kesulitan-kesulitan mereka.” (RN, 15).

Sampai pada titik ini, baik Paus Leo XIII maupun Paus Leo XIV, sama-sama hendak meneruskan cita-cita dan semangat Konsili Vatikan II yang tertuang dalam dokumen Gaudium et Spes:

“Konsili menawarkan kepada umat manusia kerja sama Gereja yang tulus, untuk membangun persaudaraan semua orang, yang menanggapi panggilan itu.

Gereja tidak sedikit pun tergerakkan oleh ambisi duniawi; melainkan hanya satulah maksudnya: yakni, dengan bimbingan Roh Penghibur melangsungkan karya Kristus sendiri, yang datang ke dunia untuk memberi kesaksian akan kebenaran; untuk menyelamatkan, bukan untuk mengadili; untuk melayani, bukan untuk dilayani.” (GS, 3).

Gereja Katolik memang harus menjadi Gereja yang membangun jembatan dan dialog, Gereja yang terbuka terhadap mereka yang membutuhkan, Gereja yang mengupayakan perdamaian, keadilan. Akan tetapi, Paus Leo XIV hendak mengingatkan kita bahwa segala upaya itu tidak akan memiliki makna jika Kristus disingkirkan dari pusat hidup dan misi Gereja.

Atau dalam bahasa Yves Congar OP, salah satu teolog yang dirujuk oleh Kardinal Prevost dalam disertasinya The Office and Authority of the Local Prior in the Order of Saint Augustine: “Gereja tidak mempunyai arti apa-apa, kecuali dalam hubungannya dengan Kristus dan dengan Injil yang membuat Kristus dikenal.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here