Film “Soegija”: Kemanusiaan Itu Satu (1)

2
3,659 views

 “Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal usul, dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan sebuah keluarga besar.” – Soegija.

JIKA Anda ingin menonton film Soegija karya Garin Nugroho, sebaiknya Anda terlebih dulu menanggalkan segala atribut film Hollywood -gaya bertutur linear, naratif, heroik- di kepala Anda. Jika tidak, percayalah, Anda hanya akan kecewa dan mungkin memaki-maki Garin sebagai sutradara enggak jelas saat keluar dari gedung bioskop.

Gaya bertutur Garin jauh dari Holywood. Ia lebih mirip sutradara teater panggung. Ia memindahkan panggung itu ke dalam karya visual layar lebar. Garin bukan seorang realis ala pelukis Basuki Abdullah. Ia mungkin mirip Putu Wijaya dengan aneka simbolnya di panggung teater. Para penikmat teater pasti akan lebih mudah menikmati Soegija.

Garin tidak menampilkan sosok Soegija seperti Holywood menampilkan Benjamin Martin yang diperankan Mel Gibson dalam The Patriot. Soegija tidak hadir dalam sosok pahlawan jagoan yang mengalahkan musuh dalam medan perang. Soegija tidak memanggul senjata juga tak pandai memanah.

Anda juga pasti akan kecewa jika berharap film berduras 115 menit ini akan bertutur tentang sosok biografis Soegija dalam gaya tutur film-film dokumenter. Ia  tak banyak bicara, malah tak banyak muncul. Soegija (Nirwan Dewanto) yang diramu Garin adalah sosok yang sangat manusiawi. Ketika Bruder Toegimin (Butet Kertaradjasa) bertanya pada Soegija apa yang harus dilakukan saat tentara Jepang mengosongkan gereja, Soegija menjawab, “Kadang kita tidak bisa berbuat apa-apa.”

Soegija berdiri diam. Ia menangis. Hatinya tercabik-cabik.

 “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tidak sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka” (‘Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini’ (7-12-65).

Solidaritas gereja yang dirumuskan Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes baru lahir pada 1967. Nah, Mgr. A. Soegijapranata telah menunjukkan solidaritas itu jauh sebelum Gaudium et Spes digagas.

Representasi gereja

Bagi saya, lebih dari sekadar seorang pribadi, sosok Soegija dalam film itu adalah representasi Gereja Katolik yang ikut teraniaya dan berjuang di masa kemerdekaan Indonesia. Gereja sebagai intitusi; Gereja sebagai umat; Gereja sebagai pemimpin, tidak berdiam di menara gading, melainkan hadir, terlibat bersama rakyat yang menderita akibat perang, bahkan gereja juga korban. Pada salah satu bagian Soegija berucap, “Ini saatnya kita memperjuangkan hak Allah, hak agama, dan hak negara.”

Apa yang menjadi hak Allah? Apa yang diperjuangkan Soegija (baca: Gereja Katolik)?

Ada beberapa bagian dalam film yang menunjukkan keterlibatan Soegija dalam mengupayakan gencatan senjata dan pengakuan diplomatik Vatikan akan kemerdekaan Indonesia. Bagi saya, upaya-upaya Soegija itu hanya cara dari tujuan yang lebih hakiki yaitu kemanusiaan yang satu.  “Sesungguhnya kemanusiaan itu satu apa pun latar belakangnya…” Kalimat ini diucapkan Soegija di awal dan di akhir film.

Seolah, spirit dalam kalimat itu adalah bingkai yang menjiwai seluruh narasi tentang Soegija. Yang dperjuangkan gereja adalah kemanusiaan. Kemanusiaan yang satu yang menempatkan manusia sebagai saudara besar hanya dapat terwujud jika perang berhenti. Indonesia merdeka.

Menjadi katolik, dalam spiritualitas Soegija, bukan soal membuat tanda salib; bukan sekadar ikut misa tiap akhir pekan; bukan soal meneriakkan asma Allah; bukan sekadar kebanggaan buta aku katolik dan Yesusku paling benar; jauh lebih hakiki dari itu. Menjadi katolik adalah soal mencintai kemanusiaan, bahkan mencintai musuh (ingat adegan saat Hendrik si wartawan Belanda dilempari batu dan dibela sama ibu pemilik hotel). Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri (Mat 22:39). Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat 5:44). (Bersambung)

2 COMMENTS

  1. Sayangnya, penonton film Indonesia dan umat katolik pada umumnya tidak seperti mas heru margianto ini, yang notabene mantan seminaris dan mantan frater KAJ sehingga bisa memiliki pengetahuan mendalam akan sejarah gereja, spiritualitas, teologi dan mengenal kultur hirarki dan Gereja Indonesia. Mas Heru bisa dengan mudah menghubungkan adegan demi adegan dalam konteks dokumen Gereja, spiritualitas, bahkan teologi dan sejarah gereja yang tentunya tidak mudah buat umat biasa.

    Ulasan Mas Heru ini sebenarnya semakin menunjukkan bahwa film Soegija hanya bisa dipahami dalam sebuah analisis terhadap representasi simbolis yang ditampilkan selama film berlangsung dan bukan merupakan film yang dituturkan dengan cara yang mudah dipahami umat dan penonton kebanyakan.

    Ada celah komunikasi ketika penonton bertemu dengan film Soegija di dalam bioskop. Ada gap yang tidak terjembatani ketika simbol dan sinematografi yang begitu indah ternyata tidak mudah dipahami, sehingga diinterpretasi sebagai cerita yang datar.Saya kira, tidak ada yang salah dengan tuturan ala Hollywood ketika umat dan penonton memang terbiasa dengan cara yang demikian. Toh juga bukan salah mereka juga kalau mereka terbiasa dengan tuturan yang seperti itu.

    Sebagian besar orang yang saya temui, tua-muda, katolik-non-katolik merasa kecewa dengan film ini. Mungkin Puskat Pictures atau Sesawi.Net bisa membuat survey tentang tingkat kepuasan tentang film Soegija ini.

  2. justru disini kita diajak untuk nonton sekaligus belajar…….katakan ini sebuah buku yg harus dibaca dipelari pertema2 /bab dijelaskan diuraikan….biar semakin mengenal sosok Rm Kanjeng itu ….dengan itu semua ….aku yg belum nonton den belum ngerti banget ttg Rm Kanjeng semakin penasaran…..Berkat Tuhan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here