NAMA lengkapnya Aloysia Susbandiah. Kerabat dan keluarganya memanggilnya “Suster Aloysia”. Benar, Aloysia Susbandiah memang seorang suster biarawati.
Dulu, keluarga kami memanggil dengan nama kesayangan, “Mbak Oes” (Baca: Mbak Us). Entah dari mana nama itu didapat. Mungkin panggilan kesayangan dalam keluarga besar.
Suster Aloysia adalah bulik (tante) saya. Beliau anak keempat dari enam bersaudara. Satu-satunya perempuan dalam keluarga itu. Bapak saya anak tertua.
Selain sebagai bulik, yang istimewa dari beliau adalah statusnya sebagai suster biarawati. Selain itu, ketangguhannya dan konsitensi dalam melayani, baik di dalam komunitas susteran mau pun di kalangan masyarakat sekitar, dilakukan dengan sabar dan tulus. Masih berlangsung sampai sekarang.
Tanggal 11 Januari 2023, Suster Aloysia merayakan ulang tahun yang ke-95. Jangan terkejut. Saya tidak keliru menulis. Memang benar, yang ke-95.
Niliki Sr. Aloysia BKK di Solo
Dua bulan lalu, saya menengok beliau di rumah biara Kongregasi Biarawati Karya Kesehatan (BKK) Solo. Mumpung sedang di Jawa Tengah dan lama (sekali) tak jumpa, saya sowan mampir.
Meski tidak saya beritahu sebelumnya, Suster Aloysia sudah menanti kedatangan saya sejak pagi. Mungkin ada “intel” yang membocorkan kunjungan saya. Saya mengetuk pintu pagar rumah biara ya sekira pukul 10.00, Suster Aloysia sudah siap di teras depan.
Kami duduk rapat di sofa ruang tamu. Ngobrol gayeng, ngalor-ngidul, dengan beliau. Obat rindu karena lama tak jumpa.
Duduk berdekatan. Selain kangen, juga karena pendengarannya mulai berkurang. Mulut saya harus dekat dengan telinga beliau.
Tak parah-parah amat untuk menangkap kata demi kata yang saya ucapkan. Bercengkerama begitu asyik.
Kegiatannya sehari-hari menjadi bahan perbincangan kami.
Buat saya agak mengherankan. Sosok sepuh tapi masih bugar. Ingatannya masih tajam dan urutan ceritanya sangat runtut. Dan (ini yang paling mengagumkan) beliau masih aktif berkarya, dalam bentuk pelayanan.
“Aku tangi esuk jam setengah limo. Terus doa. Niliki suster sing lagi gerah nang kamare, karo ngeterke unjukan”.
(Saya bangun pagi pukul 04.30. Terus berdoa pagi. Kemudian, menengok suster yang sedang sakit, sekalian mengantar minum pagi bagi mereka)
Harap dicatat, suster-suster yang sedang gerah itu usianya jauh lebih muda daripada beliau.
Pekerjaan beliau lainnya tak kalah menantang. “Menulis” perlu pasokan ingatan dan energi yang spesial.
Beliau membuat artikel dan surat dalam Bahasa Inggris dan Belanda. Biasanya “laporan” kepada rumah biara pusat di London. Itu dikerjakan dengan tulisan tangan dan disalin ulang oleh rekan-rekan suster di komputer milik biara.
Selain itu, kadang Suster Aloysia menerima tamu. Para kerabat dan sahabat, kadang juga kenalan datang untuk tukar pikiran.
Sering menjadi tumpuan untuk curhat. Meski tak semua mendapat jalan keluar, setidaknya meredakan kegalauan sang tamu.
Masih topik dalam pertemuan siang itu. Suster Aloysia fasih berkisah tentang keadaan masyarakat saat ini yang sedang hangat.
Salah satu yang diceritakan adalah tentang kemeriahan “pawai” dan upacara pembukaan Muktamar Muhammadiyah di Stadion Manahan, Solo. Keramaian yang terjadi persis di depan rumah biara, Jalan Adi Sucipto, sehari yang lalu. Banyak sekali umat yang berlalu-lalang menambah semarak acara suci itu.
Wajahnya berbinar dan penuh antusias saat berkisah. Mungkin karena mempunyai kenangan khusus terhadap Perkumpulan Muhammadiyah. Konon, bapaknya (eyang kakung saya) adalah tokoh organisasi ini untuk lingkup sekitar Ambarawa.
Waktu berlalu begitu cepat. Saya pamit untuk meninggalkan Solo dan kembali ke Semarang. Pelukan dan ciuman pipi terasa hangat. Lambaian tangannya yang lemah membekas awet dalam ingatan saya. Hampir dua jam melepas rindu dengan priyayi sepuh yang tak pernah lelah mengabdi dan melayani sesama, sejak muda.
Sejarah singkat karyanya, ditulisnya sendiri.
Melalui Suster Lely Kodrati BKK, saudari sekomunitas, saya minta tolong agar beliau berkenan menceritakan “riwayat hidupnya”.
“Terlalu” singkat untuk sebuah perjalanan kehidupan yang “kaya raya” dan penuh makna. Mungkin banyak peristiwa di masa lampau yang sudah terlupakan karena sudah lama.
Beberapa editan, tambahan dan revisi saya tambahkan di sana sini, tanpa mengurangi hakekat cerita. Moga-moga menginspirasi.
Inilah kutipan tulisan Sr. Aloysia BKK
Bersama Keluarga Tercinta
“Saya lahir di Lhokseumawe, Aceh, 11 Januari 1928, dengan tiga kakak dan dua adik laki-laki. Saya perempuan sendirian di antara lima saudara laki-laki. Mirip judul novel karya Sutan Takdir Alisyahbana, Anak Perawan di Sarang Penyamun.
Bapak saya bernama Soepandi Tjokrodarsono dan ibu bernama Soemani. Kakak laki-laki (Mas) tertua adalah Mas Soesmono. Kemudian Mas Soesmadi dan Mas Soesdarjono.
Adik-adik saya, Dik Soesmojo dan yang bungsu Dik Soesdarjanto. Di kemudian hari, setelah kami beranjak dewasa, di depan nama kami masing-masing mendapat tambahan nama baptis Katolik.
Bapak bekerja di Jawatan Kereta Api di Aceh. Ketiga mas tinggal dan melanjutkan sekolah di Jawa, ikut keluarga dari bapak atau ibu.
Kami berkumpul lagi setelah keluarga pindah ke Jawa. Soca (Bahasa Jawa halus yang dalam Bahasa Indonesia berarti mata. Dalam Bahasa Jawa, kata “mata” bisa dianggap kasar) bapak mulai bermasalah. Mungkin karena banyak terkena asap dan pletikan bara Kereta Api semasa beliau bekerja di sekitar Kereta Api.
Kala itu, Kereta Api masih mengeluarkan asap hitam pekat yang penuh polusi.
Meski penglihatannya kurang sempurna, kesehatan bapak relatif bagus. Badannya tinggi dan tegap, suaranya lantang. Apalagi kalau sedang diskusi dengan lawan bicaranya mengenai masalah-masalah politik, sosial atau agama.
Di Jawa, kami tinggal di rumah eyang dari pihak ibu, di Desa Bejalen, Ambarawa.
Saya kagum karena dalam waktu singkat kami bisa membaur dengan masyarakat desa. Bahkan dianggap sebagai “sesepuh” mereka. Mungkin karena bapak terlihat lebih terpelajar dan mempunyai pemahaman agama yang relatif lebih tinggi daripada kebanyakan tetangganya.
Betapa “hormat”-nya tetangga-tetangga di Desa Bejalen, tergambar waktu bapak seda.
Meskipun sudah disediakan mobil jenazah, para tetangga desa meminta dengan sangat agar boleh mengusung jenazah bapak ke peristirahatannya terakhir.
Beliau dimakamkan di sarean (kuburan) keluarga, sehalaman dengan Dokter Tjipto Mangoenkusumo, di Desa Watu Ceper, Ambarawa. Makam itu sekitar 15 kilometer jauhnya dari rumah kami di Bejalen.
Selama tinggal di Ambarawa, bapak mengikuti dengan ketat jadwal harian yang dibuatnya sendiri.
Disiplin waktu menjadi ciri khasnya. Kegiatan-kegiatan rutin, seperti salat, makan, olahraga ringan, jalan-jalan di halaman depan rumah, merawat tanaman pisang dan salak, dijalankan tanpa jeda, sampai beliau sakit.
Desa Bejalen pada waktu itu terkenal sebagai daerah penghasil buah salak yang manis dan besar.
Bapak melakukan aktivitas rutin untuk terus mengasah dan memahami keadaan politik dan kemasyarakatan di seluruh Indonesia; bahkan dunia.
Beliau selalu mendengarkan radio, terutama acara Siaran Berita, melalui radio transistor yang berantena tinggi. Maklum, aliran listrik belum menjamah Desa Bejalen. Berita dari dalam negeri dan manca negara. Tak pernah ketinggalan dibacakan koran setiap hari. Itu menjadi tugas ibu.
Tidak heran kalau mereka up to date dengan situasi negara; bahkan dunia.
Banyak waktu yang diluangkannya bersama masyarakat. Tak segan untuk mendengarkan dan meresapi perjuangan kehidupan desa. Sering para tetangga sowan bapak untuk ngangsu kawruh.
Ibu dengan setia melayani bapak. Tak pernah tugas masak untuk dhahar bapak diserahkan orang lain.
Tak hanya itu. Dari bangun tidur di pagi hari hingga tidur di malam hari, tak pernah ibu melepas perhatiannya kepada bapak. Apalagi berangsur-angsur penglihatan bapak mulai berkurang.
Ibu juga mengurus anak-anaknya dengan sangat telaten.
Itulah pertama kali saya menyaksikan peran ibu yang begitu lengkap. Melayani bapak yang setengah melihat, ngopeni keenam anaknya yang beranjak remaja dan dewasa dan mengelola kebutuhan rumahtangga.
Sampai kemudian hari, tak banyak saya melihat kiprah seorang ibu yang mengelola keluarganya hampir dari A hingga Z.
Ibu adalah orang sederhana dan rendah hati. Tak banyak bicara, tapi pemikirannya cerdas. Wajahnya manis dengan dagu yang maju ke depan (nyathis).
Semula pernikahan mereka tak disetujui eyang dari pihak bapak. Ini lantaran perbedaan latar belakang. Bapak tergolong keturunan ningrat dari Keraton Solo dan ibu orang biasa.
Karena sikapnya yang rendah hatinya dan selalu mengalah serta pandai menempatkan diri pada posisi yang pas, akhirnya ibu berhasil mengambil hati eyang.
Bahkan waktu sakit, sebelum seda, Eyang memilih ditunggu dan dilayani ibu. Kasih sayang dapat melumerkan dan menghancurkan batu karang penghalang, sekeras apa pun.
Di masa Perang Kemerdekaan, ibu aktif dalam perjuangan dan tergabung dalam “laskar wanita“.
Tugasnya mengantar makanan untuk para gerilyawan di pinggir medan pertempuran. Tak tahu mengapa surat penghargaan sebagai pejuang tak pernah diperolehnya“. (Berlanjut)
PM Susbandono
10 Januari 2023
Baca juga: 90 Tahun Sr. Aloysia BKK, Jadi Suster Biarawati tanpa Izin dan Restu Orangtua (2)