SELAMA sepekan ini, kecuali 29 September dan 1 Oktober, kita merenungkan Kitab Ayub. Setelah merenungkan kitab Amsal dan Pengkhotbah, kita masuk ke dalam Kiitab Kebijaksanaan. Salah satunya adalah Kitab Ayub.
Kitab ini mewartakan tentang tema fundamental untuk kaum beriman, yakni penderitaan. Tepatnya, masalah penderitaan dari orang baik dan bersih dari dosa (innocent).
Dalam tradisi Yahudi, orang baik dan tak berdosa berkenan di hati Tuhan. Mereka diberkati dengan kekayaan berlimpah. Ayub memang orang yang amat kaya (Ayub 1: 3). Namun, dalam waktu sekejap semua harta dan anak-anaknya lenyap karena ulah setan yang menimpakan pencobaan (Ayub 1: 12-19).
Menghadapi itu semua Ayub mengoyak jubahnya dan mencukur kepalanya (Ayub 1: 20). Lebih dari itu, dia mengungkapkan iman amat mendalam dengan berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya.
TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN.” (Ayub 1: 21).
Seluruh kehilangan itu tidak membuat Ayub marah dan memprotes Tuhan. Sebaliknya, dia memuliakan Tuhan. Dalam kesengsaraannya Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang tidak patut (Ayub 1: 22).
Ternyata, orang baik dan benar (beriman) juga mengalami penderitaan yang berat dalam kehidupan ini.
Penderitaan itu bisa menjadi ujian bagi imannya. Sejauh mana dia setia kepada Tuhan?
Di samping itu, penderitaan menegaskan bahwa manusia tidak sanggup memahami sepenuhnya pikiran Tuhan dan tak mengerti mengapa hal-hal itu terjadi.
Pertanyaan-pertanyaan dari kaum beriman atas penderitaan yang menimpanya terasa lebih menyakitkan tatkala manusia menolak adanya Tuhan atau memisahkan Dia dari sana.
Lalu, solusinya bagaimana? Ikuti renungan berikutnya.
Senin, 26 September 2022