Injil Minggu Adven III/A 17 Desember 2024 – Kesaksian Yohanes Pembaptis

0
976 views
Yohanes Pembaptis dalam penjara, by Josef Anton Hafner, 1750.
  • Yoh 1:6-8;19-28.
  • 1Tes 5:16-24

Rekan-rekan yang baik.

Seperti hari Minggu yang lalu, juga kali ini Injil Minggu Adven III/B (Yoh 1:6-8;19-28) hampir seluruhnya mengenai Yohanes Pembaptis. Tapi yang sekarang ditonjolkan ialah kesaksiannya.

Pertama-tama ia ditampilkan sebagai yang diutus Yang Mahakuasa untuk menjadi saksi bagi sang “terang”, dan bukan terang itu sendiri (ay. 6-8). Kemudian kepada orang-orang yang datang kepadanya Yohanes menegaskan bahwa dirinya bukan Mesias, bukan Elia, bukan nabi, melainkan orang yang berseru-seru di padang gurun menghimbau agar jalan bagi Tuhan diluruskan (ay. 19-23). Ia membaptis dengan air untuk membantu orang mengungkapkan niatan untuk hidup bersih menyongsong dia yang akan datang.

Yohanes juga tegas-tegas menyatakan dirinya tak pantas melepas tali sandal dia yang bakal datang ini (ay. 27). Seperti diuraikan Minggu lalu, ungkapan ini berarti Yohanes merasa tidak patut menjalankan urusan yang menjadi hak dia yang akan datang itu.

Juga di sini akan secara ringkas dibicarakan bacaan kedua: 1Tes 5:16-24.

Menumbuhkan harapan

Yohanes Pembaptis memang sudah sedemikian dikenal sebelum orang mulai mendengar tentang Yesus. Banyak orang datang kepadanya karena warta serta tindakannya amat komunikatif bagi orang-orang pada zaman itu. Maklum, suasana di Tanah Suci waktu itu terasa semakin tak menentu.

Zaman edan. Ada krisis identitas nasional. Ajaran nenek moyang bahwa mereka bangsa terpilih makin menjauh dari kenyataan sehari-hari. Juga tak banyak hasilnya usaha menyegarkan kembali kepercayaan itu. Kata-kata para nabi terdengar makin lirih, makin jauh. Sepi. Orang makin kecewa, apatis. Orang merasa semakin menjadi mangsa kekuatan-kekuatan yang menghimpit cita-cita mereka sebagai umat Tuhan.

Harapan satu-satunya yang masih memberi mereka pandangan ke depan ialah Mesias yang bakal datang. Yang Terurapi, utusan Yang Maha Kuasa akan datang untuk memimpin mereka. Kedatangannya juga akan mengakhiri zaman ini dan mengawali era baru.

Itulah saatnya bangsa terpilih akan dipimpin sang Mesias baru ini ke dalam Tanah Terjanji surgawi. Mereka yang tidak ada bersama mereka akan binasa bersamaan dengan kiamat. Begitulah ringkasnya alam pikiran yang kerap pula disebut “mesianisme apokaliptik”.

Ada orang-orang yang mulai menjalani hidup bertapa menyepi di padang gurun.

Beberapa tulisan dari masa itu menyebut mereka Kaum Esseni. Banyak dari mereka yang hidup di pertapaan sekitar Laut Mati. Salah satu di antaranya ialah Komunitas Qumran yang dikenal kembali dari penemuan arkeologi sejak tahun 1947. Mereka hidup menantikan Mesias dan mengusahakan diri agar siap menghadapi bagi peristiwa besar yang bakal datang itu.

Yohanes Pembaptis ada dalam gerakan kerohanian ini walau ia tidak memutuskan hubungan dengan dunia luar. Ia malah membantu banyak orang agar semakin dapat memusatkan perhatian kepada yang mereka nanti-nantikan itu.

Menantikan Mesias
Dalam tradisi Perjanjian Lama ada kepercayaan bahwa nabi besar Elia, yang dalam 2Raj 2:1-18 diceritakan diangkat naik ke surga, akan datang kembali. Ada pula anggapan, seperti tercermin dalam Mal 4:5, bahwa kedatangan Elia kembali nanti itu menandai akhir zaman yang diawali oleh Mesias segera tiba.

Dalam Mrk 1:6 dan Mat 3:4, Yohanes digambarkan berpakaian jubah bulu dan ikat pinggang kulit, mirip dengan cara berpakaian Elia yang disebutkan 2Raj 1:8. Memang Yohanes Pembaptis sering dianggap Elia yang kini telah kembali ke dunia. Pandangan ini kiranya hidup di dalam umat Injil Sinoptik (Mrk, Mat dan Luk).

Injil Yohanes lain. Di situ sang Pembaptis justru menyangkal pendapat bahwa dirinya ialah Elia yang datang kembali (Yoh 1:21)
Sudut pandang yang berbeda ini menggambarkan dinamika perkembangan gagasan mengenai akhir zaman.

Pada mulanya memang besar anggapan bahwa akhir zaman segera akan tiba. Kemudian semakin disadari bahwa peristiwa itu baru akan terjadi jauh di masa depan. Yang penting ialah masa kini ini. Perkembangan selanjutnya ialah tidak lagi menghitung-hitung kapan akhir zaman itu tiba.

Dalam Injil Yohanes, gagasan yang menyibukkan perhatian orang itu dikatakan sudah terjadi. Era baru dengan kehadiran terang ilahi di dunia inilah zaman akhir jagat. Tidak lagi perlu memikirkan kapan, di mana, dan bagaimana. Sudah hadir dan kini sedang membuat kegelapan tersingkir. Yang perlu ialah menerimanya.

Inilah pandangan Injil Yohanes.

Yohanes Pembaptis ditampilkan dalam Injil Yohanes lebih sebagai tokoh yang memberikan “martyria”, yaitu kesaksian mengenai siapa Yesus itu. Injil ini tidak memakai sebutan “Pembaptis” baginya, karena yang ditonjolkan ialah perannya memberi kesaksian mengenai siapa Yesus itu.

“Martyria” Yohanes
Apa “martyria” atau kesaksian Yohanes?

Tokoh yang dikenal banyak orang itu disebut sebagai yang datang diutus Tuhan untuk memberi kesaksian akan terang yang sudah bersinar dalam kegelapan. Ditandaskan bahwa ia bukan terang itu sendiri.

Dari penjelasan di muka mengenai latar belakang zaman itu, maka amat berartilah penegasan bahwa ada “terang bercahaya dalam kegelapan, dan kegelapan tidak menguasainya” (Yoh 1:5) Apakah orang-orang langsung menerimanya dan mempercayainya?

Bacaan hari ini mulai dengan kedua ayat berikutnya. Yohanes diutus untuk menjadi saksi bagi terang itu agar dengan demikian orang mulai percaya kepada terang itu sendiri. Dan dalam bagian kedua Injil hari ini (Yoh 1:18-28) dijelaskan lebih lanjut kesaksiannya itu.

Pertama-tama ada serangkaian pernyataan negatif. Yohanes bersaksi bahwa:

  • ia bukan Mesias, yaitu orang yang resmi diutus Tuhan kepada umatNya untuk menuntun mereka kembali kepada-Nya;
  • ia bukan juga Elia, artinya ia bukan menjadi pertanda bahwa akhir zaman sudah di ambang pintu.
  • Ia menyatakan diri bukan pula sebagai nabi yang pada waktu itu dipercaya sebagai orang yang menyadarkan orang bahwa akhir zaman akan segera terjadi.

Dengan penyangkalan itu ia membuat orang mulai kritis terhadap harapan-harapan saleh yang sudah menjadi gaya berpikir pada masa itu. Apakah harapan seperti itu sebetulnya bukan hanya impian yang menjauhkan orang dari kenyataan?

Kecenderungan untuk melarikan diri ke dalam janji-janji dan rasa aman yang diberi warna agama memang ada di mana-mana di sepanjang zaman, terutama di masa-masa sulit. Orang-orang berdatangan menemui Yohanes belum tentu dengan maksud untuk belajar darinya. Banyak yang datang kepadanya untuk mendengarkan harapan-harapan mereka sendiri. Tetapi sang Pembaptis tidak meninabobokan mereka.

Kemudian Yohanes bersaksi mengenai yang dilakukannya. Ia itu suara orang yang berseru-seru di padang gurun, tempat dulu umat Perjanjian Lama hidup dalam bimbingan Tuhan sendiri, tetapi yang kini terasa tidak lagi banyak artinya. Hubungan dengan Tuhan terasa sudah amat renggang.

Tetapi justru dalam keadaan itu terdengar Yohanes yang berseru “Luruskanlah jalan Tuhan.” Seperti dalam Yes 40:3, seruan itu bukan ditujukan kepada manusia, melainkan kepada kekuatan-kekuatan surga – tersirat amatan bahwa manusia sudah terlalu kering, sudah tak lagi peka. Dan siapa yang bakal bisa melawan kekuatan-kekuatan itu?

Mereka sendiri akan bertindak menyiapkan kedatangan Tuhan. Yang diharapkan dari manusia ialah membiarkan diri dibimbing. Dan Yohanes mengajak orang menghidupi iman ini, bukan membuai diri dengan harapan-harapan saleh akan kedatangan seorang Mesias menurut idealisme mereka sendiri.

Yohanes juga menjelaskan kepada orang-orang yang bertanya mengapa ia membaptis. Ia berkata, yang mereka harap-harapkan itu sudah datang. Terang sudah bersinar, hanya perlu mengenalinya! Itulah puncak kesaksiannya.

Membangun kesaksian kaum beriman di Indonesia
Tema pokok dalam Injil Minggu ini ialah kesaksian Yohanes Pembaptis akan siapa yang bakal datang itu, yakni yang sudah ada di tengah-tengah umat yang tidak mereka kenal. Dia itu cahaya yang telah menerangi jalan-jalan baru.

Yohanes mempersaksikan bahwa terang itu bersinar, sehingga orang percaya dan dapat memperoleh hidup dari terang itu sendiri. Berbagi hidup dengan terang itu sendiri. Kaum beriman dapat semakin belajar dari cara Yohanes bersaksi. Ia menyadarkan betapa pentingnya mengenali terang kehidupan agar supaya tidak hidup dirundung kegelapan.

Kesaksian Yohanes dapat menjernihkan batin serta memberi kekuatan baru. Batin kita dipenuhi dengan macam-macam pengharapan dan niatan. Juga dengan pelbagai gambaran mengenai tokoh-tokoh besar. Pimpinan Gereja, pendiri tarekat, santo pelindung, pembimbing rohani….

Semua tokoh panutan ini akan semakin mendekatkan ke inti kehidupan batin bila dihayati sebagai “martyria” atau kesaksian seperti yang dijalankan Yohanes. Ada gunanya mendalami perutusan mereka sebagai perutusan Yohanes: mempersaksikan bahwa terang sudah menyinari kegelapan.

Kesaksian seperti ini dapat juga menjadi “martyria” kaum beriman – Gereja – di Indonesia: dalam ikutserta membangun wahana dan lingkungan hidup dan tidak membiarkan kesetujuan-kesetujuan dasar dalam hidup bermasyarakat di negeri ini menjadi kabur, mengajak semua orang yang berkehendak baik membangun wahana terang yang baru bagi kehidupan bersama.

Itulah “martyria” bagi kaum beriman kini dan di sini.

Dari bacaan kedua: 1Tes 5:16-24
Ayat 16-22 memuat seruan Paulus agar umat di Tesalonika tetap bersukacita, tekun dalam doa, bersyukur dalam keadaan apapun. Waktu itu orang berpendapat bahwa akhir zaman akan segera terjadi dan para murid dan pengikut berusaha agar siap dan layak untuk itu. Inilah konteks surat Paulus kali ini.

Sekaligus Paulus mengarahkan perhatian umat ke masa kini mereka. Umat diajaknya menumbuhkan kepekaan akan Roh yang menggerakkan batin. Ini semua bakal menjauhkan orang dari “segala jenis kejahatan”.

Pernyataan ini bukan sekadar nasihat agar menjauhi yang tak baik. Dalam ungkapan Paulus, bentuk perintah seperti itu menjadi cara untuk mengatakan hasil ketekunan menjalani hidup dalam bimbingan Roh.

Dengan kata lain, menjaga diri agar tidak kehilangan kegembiraan hidup, menemukan arti doa dan syukur dalam keberuntungan maupun kesukaran, tetap terbuka bagi Dia yang menggerakkan batin – semua ini akan menjauhkan orang dari “segala yang jahat”.

Yang jahat bukanlah semata-mata perkara hukum atau moral belaka melainkan kenyataan rapuhnya kehidupan manusia dan besarnya kekuatan-kekuatan yang mengancamnya. Sering tidak begitu langsung terlihat, tetapi ada kekuatan dalam masyarakat yang justru membawanya ke kemerosotan.

Ada arah-arah yang melawan keadaban, ada arus-arus yang membuat kemanusiaan menjadi timpang – yang diketahui bila diperiksa dengan kepekaan rohani.

Ajakan Paulus masih bisa menyapa orang sekarang, juga di Indonesia kini. Dan Gereja di Indonesia boleh merasa disapa oleh Paulus sendiri.

Dalam ayat 23-24 terungkap kepercayaan akan Yang Maha Kuasa yang menjaga kemanusiaan dari kecenderungan-kecenderungan yang membuat kemanusiaan timpang dan cacat. Paulus mengungkapkan kemanusiaan dalam cara pandang waktu itu: sebagai yang memiliki ujud rohani (“roh” – pneuma) dan berkekuatan hidup (“jiwa” – psyche) dalam badan yang nyata (“tubuh” – sooma).

Berarti juga kemanusiaan ini bisa cacat – dimatikan – dihilangkan kekuatannya – sehingga punah kerohaniannya dan menjadi barang kasar belaka. Inilah yang amat menakutkan. Hanya kekuatan ilahi sendiri sajalah yang dapat menolong. Mereka yang kurang membiarkan diri disertai kekuatan ini akan menjadi mangsa daya-daya maut tadi.

Dalam ayat 23-24 terungkap kepercayaan akan Yang Maha Kuasa yang menjaga kemanusiaan dari kecenderungan-kecenderungan yang membuat kemanusiaan timpang dan cacat. Paulus mengungkapkan kemanusiaan dalam cara pandang waktu itu: sebagai yang memiliki ujud rohani (“roh” – pneuma) dan berkekuatan hidup (“jiwa” – psyche) dalam badan yang nyata (“tubuh” – sooma).

Berarti juga kemanusiaan ini bisa cacat – dimatikan – dihilangkan kekuatannya – sehingga punah kerohaniannya dan menjadi barang kasar belaka. Inilah yang amat menakutkan. Hanya kekuatan ilahi sendiri sajalah yang dapat menolong.

Mereka yang kurang membiarkan diri disertai kekuatan ini akan menjadi mangsa daya-daya maut tadi.

A. Gianto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here