Kasih yang Mengalir dari Salib

0
9 views
Salib Suci Kristus

Jumat, 27 Juni 2025

Hos 11:1,3-4,8c-9;
Mzm Yes 12;
Ef 3:8-12,14-19;
Yoh 19:31-37

KITA hidup di tengah dunia yang lelah, lelah karena pertengkaran, lelah karena saling curiga, lelah karena suara yang saling meninggikan ego, tetapi miskin akan suara kasih.

Di saat seperti ini, dunia tidak butuh lebih banyak perdebatan, melainkan butuh lebih banyak kehadiran yang menyejukkan.

Bukan orang-orang yang pandai bersilat lidah, tetapi mereka yang mampu menebarkan senyum perdamaian dan mengungkapkan kasih yang tulus, kasih yang tak bersyarat, yang hadir hanya karena ingin menghadirkan kebaikan.

Bayangkan dunia di mana kita semua berlomba untuk menyembuhkan, bukan menyakiti. Di mana kehadiran kita membuat orang merasa aman, bukan terancam.

Di mana kita bicara untuk membangun, bukan menjatuhkan. Di mana tangan kita mengangkat, bukan menunjuk dengan kemarahan.

Menjadi pembawa damai bukan perkara besar, tetapi perkara setia. Setia menyapa ketika orang lain memilih diam,
setia tersenyum ketika dunia mulai pahit, setia mengampuni meski terasa perih.

Dunia tidak sedang kekurangan orang pintar, tetapi sedang haus akan orang-orang berhati lembut yang mampu hadir dengan kasih.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air.

Dan orang yang melihat hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini dan kesaksiannya benar, dan ia tahu, bahwa ia mengatakan kebenaran, supaya kamu juga percaya.”

Ada sebuah cerita tradisi yang berkembang tentang prajurit yang menikam lambung Yesus dengan tombak. Konon, namanya adalah Longinus.

Ia adalah seorang prajurit Romawi yang mengalami gangguan mata. Menurut cerita itu, saat menombak lambung Yesus maka mata Longinus terkena tetesan darah Yesus. Dan, seketika sembuhlah matanya.

Cerita di atas semakin menunjukkan bahwa kutipan Injil ini adalah salah satu momen yang paling hening namun sangat dalam dari seluruh kisah sengsara Kristus.

Yesus telah wafat, kepalanya tertunduk, dan tubuh-Nya tak bergerak. Namun dari lambung-Nya yang ditikam oleh seorang prajurit, mengalir darah dan air, sebuah peristiwa yang tidak hanya biologis, tetapi memiliki makna rohani yang sangat besar.

Darah dan air yang keluar dari lambung Kristus menjadi simbol dari dua hal paling penting dalam hidup Gereja:

Darah, melambangkan Ekaristi, cinta yang tercurah, tubuh-Nya yang diberikan bagi keselamatan kita.

Air, melambangkan pembaptisan, air hidup yang menyucikan kita dan menjadikan kita anak-anak Allah.

Dengan kata lain, Yesus memberikan seluruh diri-Nya, sampai tetes terakhir. Ia tidak menahan apapun. Bahkan setelah mati, kasih-Nya masih “mengalir.”

Inilah cinta sejati: cinta yang tetap memberi, bahkan ketika dunia sudah tidak mau menerima. Cinta yang tidak mengharapkan imbalan. Cinta yang tidak berhenti di ambang penderitaan, tapi justru mengalir dari luka.

Dan Yohanes, sang murid yang setia berdiri di kaki salib melihat semua itu. Ia bersaksi, katanya, “Kesaksiannya benar, supaya kamu juga percaya.”

Yohanes melihat Hati Allah yang terbuka. Ia ingin kita percaya bukan hanya bahwa Yesus mati, tetapi bahwa dari kematian-Nya mengalir kehidupan.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku percaya pada kasih yang “mengalir” dari salib itu?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here