KEKUASAAN tak jarang suka berganti wajah alias bermetamorfose. “Wajah” di sini bisa berwujud ganti situasi, ganti objek penderita, caranya berubah, dan berubahnya motivasi orang mempraktikkan kekuasaan itu sendiri. Kisah di bawah ini semoga bisa membantu percikan permenungan tentang betapa mengerikan ketika kekuasaan “jatuh” dan dipraktikkan sebagai mainan oleh orang yang tidak bertanggungjawab.
Memainkan Kuasa
Saya mempunyai seorang teman. Hidupnya sangat tertekan. Sedari pagi hingga malam, ia tidak pernah luput dari pengaruh “kekuasaan” orangtuanya. Manakala orangtuanya pergi, tanpa sadar ia malah memainkan peluang berkuasa itu dengan sewenang-wenang.
Maka, dipraktikkannya kekuasaan itu sebagai “mainan” untuk menguasai pembantunya di rumah. Tak ayal, sang pembantu juga dibebani perasaan tertekan lantaran menjadi “makanan” temanku ini setiap hari.
Ia menikmati suasana ketika pembantunya ketakutan dia bentak, kesakitan ketika dia pukul, minder ketika dia caci-maki, dihina, dan harga dirinya hilang mana kalai dia jadikan bulan-bulanan ejekan.
Namun, ceritanya menjadi lain ketika sekali waktu sang pembantu ini berani unjuk gigi. Saking sudah tidak tahannya hidup dalam bingkai penderitaan akibat tekanan psikis dan fisik, maka mulailah sang pembantu ini pasang kuda-kuda. Ia berani menghardik anak majikannya ini namun tidak secara frontal.
…kompensasi tak lain merupakan proses reaksi psikologis dari perasaan inferior (rendah diri) seseorang.”
Ia memiliki cara lain yang tak kurang cerdik. Dengan bersaput amarah dan dendam, ia pukuli kucing kesayangan anak tuannya itu hingga sang meong lari terbirit-birit mengindari pukulan agar tak keok mati.
Kompensasi
Psikiater Alfred Adler (1870-1937) merangkai teori ini untuk merumuskan “permasalahan” di atas dengan istilah kompensasi. Menurut dia, kompensasi tak lain merupakan proses reaksi psikologis dari perasaan inferior (rendah diri) seseorang.
Orang yang terkena sindrom inferior cenderung bertindak agresif terhadap orang lain. Rasa mindernya ini ingin dia tutupi dengan rasa percaya diri berlebihan.
Melalui analisis psikologis Adler ini, kita bisa menyaksikan hamparan realitas hidup keseharian yang kurang lebih sama. Dan mekanisme kompensasi itu tak jarang juga dipraktikkan oleh para penguasa politik. (Bersambung)