Home BERITA Kiat Bertahan Sampai 50 Tahun Perkawinan

Kiat Bertahan Sampai 50 Tahun Perkawinan

1
Ilustrasi: Cincin nikah.

BAPERAN-BAcaan PERmenungan HariAN

Tema: Segala sesuatu ada akhirnya.

  • Dan 2: 31-45.
  • Luk. 21: 5-11.

KEKAGUMAN. Awalnya bisa jadi sebuah kegembiraan. Sebuah kerinduan, bahkan sebuah impian. Ia dapat menggairahkan hidup manusia dengan pengurbanan apa pun.

Tetapi di balik semua itu, ada yang mengatakan itulah awal dari penderitaan.

Dan memanglah demikian.

Segala sesuatu ada batas. Ada akhirnya. Tidak bisa digenggam begitu lama. Karena manusia pun mahkluk yang terbatas.

Segala yang nampak bukanlah sesuatu yang sesungguhnya. Hanya sebuah cerminan, bahkan pantulan. Dan dalam perjalanan, manusia menambahkan begitu banyak aksesoris kehidupan yang dianggap penting.

Sebuah peng-abadi-an dari sesuatu yang bukan hakiki.

Jauh di lubuk hati yang terdalam, hanya ada sesuatu yang sangat diharapkan. Sesuatu yang sangat dirindukan, bahkan ingin di-abadi-kan.

Tak ada sesuatu pun yang dapat mengetahuinya, selain dirinya sendiri dan itu pun terbatas.

Menyadari diri sebagai yang terbatas itulah ketulusan dan ke-iklas-an hidup.

“Romo, kami akan merayakan ulang tahun perkawinan yang ke-50, bisakah romo datang? Kami mohon Perayaan Ekaristi sekaligus syukuran. Mohon ya Mo,” pinta seorang ibu untuk orangtua mereka.

“Baiklah.”

Ada suasana sukacita. Tidak hanya pada dekorasi yang sengaja dibuat. Juga acara dan perjamuan yang diadakan. Pesta kebun. Mereka memiliki kebun di belakang rumah. Tertata dengan baik dan asri.

Selesai ekaristi dan sambil menyantap makanan ringan dan minuman pembuka, saya bertanya, “Apa yang dirasakan saat ini?”

‘Iya, kami tidak menyangka. Kami bisa bersama dan merayakan ulang tahun perkawinan yang ke-50. Puji Tuhan. Kami dapat menikmati hidup, walaupun tidak mulus dalam melakoninya.

Itu semua karena kebaikan Tuhan, kasih dari anak, menantu, cucu.  yang selalu menghibur dan menguatkan kami.

Anak kami lima. Semua selalu berkata, “Papa, mama jaga kesehatan. Saya ingin papa mama bisa lihat cucu lagi. Semua anak saya menghadiahkan cucu masing-masing keluarga empat atau lima cucu. Dan kami pun sudah dianugerahi cicit.

Kami tetap bergembira kendati tenaga kami berkurang. Kini, kami hanya bisa memandang dengan hati. Tangan pun sulit menggenggam atau menggapai. Masih ingin banyak hal, tetapi tenaga terbatas.

Semua tergantung pada kebaikan orang,” kata pasutri sepuh itu.

“Bagaimana dulu bisa berjumpa?”

“Dijodohkan. Kami sudah saya kenal sejak kecil. Rumah berdekatan.

Dulu, ia cantik dan baik. Sampai sekarang pun, ia baik dan masih ada sisa-sisa kecantikan di raut wajahnya,”kata sang bapak.

Ia melirik isterinya. Isterinya hanya bisa tersenyum.

“Biasalah Romo, kalau lagi senang, gombalnya keluar. sela isterinya. Hadirin pun tertawa.

“Apakah Papa masih menunjukkan cinta dan kebaikannya Ma?”

“Ya begitulah, Mo. Apalagi sudah tua. Semua serba terbatas. Kalau kami pergi selalu bersama-sama. Akhir-akhir ini, malah dia yang takut. Baru ditinggal sebentar ke kebun sudah dicari-cari. Tidak mau ditinggal sendirian.

Sekarang lebih manja. Terus ingin dilayani; ingin berdekatan. Rasaya semakin tua, semakin terikat. Lebih banyak merawatnya,” jelas sang bapak.

“Kasihan juga Mo. Suami dulu mati-matian bekerja mencukupi kebutuhan keluarga. Hasilnya lebih dari cukup sampe sekarang,” begitu timpal ibu.

Si bapak hanya mendengar. Terdiam. Mencoba tersenyum. Matanya agak berkaca-kaca.

“Kenapa Pa?”

“Saya ingat masa-masa sulit, Romo. Bahkan pertengkaran. Dulu saya dominan dan mengatur. Sekarang saya tergantung sama sekali dengan isteri. Ia baik dan setia Romo,” sela sang papa.

Ada keharuan dalam hidup. Semua menjadi kenangan.

Tiba-tiba anak puterinya yang ragil memberi tisu, “Pa jangan nangis dong. Kita kan lagi hepi, Pa.”

Si mama berkata, “Biarin aja. Nggak apa-apa. Itu kan airmata kebahagiaan. Airmata kelegaan. Airmata cinta.”

Ada keharuan yang melegakan. Ada kegembiraan yang memberi makna lebih dalam. Ada kesadaran, semua yang terjadi akhirnya merupakan anugerah sekaligus pergulatan; kebersamaan dan saling menitipkan hidup.

Semua serba terbatas.

“Waspadalah supaya kamu jangan disesatkan” ay 8, kata Yesus.

Tuhan, aku semakin percaya Engkau menciptakan dan mencintaiku.

Amin.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version