Kiong Koe Berkicau – Tuhan Menghapus Airmata Derita

0
314 views
Ilustrasi: Airmata by chucklarson

Apau kayan, 13-9-2022

Luk 7:11-17

TAHUN 2010 adalah tahun kesedihan bagi ibuku. Di tahun itu, anak sulung laki-laki yang begitu dekat dan dia sayangi dipanggil Tuhan. Ia meninggal di Rumah Sakit Umum Tarakan (Kaltara).

Jenazahnya tidak bisa di bawa pulang ke Manggarai, karena isterinya meminta kubur di Kabupaten Malinau. Alasan sederhana yaitu, biar dekat dengan anak-anaknya.

Seorang anak meninggal di tanah perantauan tanpa jenazah anaknya bisa dia lihat dan dia peluk adalah pukulan terberat bagi ibuku. Kala itu, ia benar-benar mengalami keguncangan iman yang luar biasa.

Kami semua memang merasa benar-benar kehilangan. Ayahku dengan tulus menerima pengalaman kehilangan itu, sedang ibuku begitu berat.

Saya tidak tahu mengapa ia begitu berat menerima kondisi itu. Saya juga tidak berani bertanya, mengapa?

Sejak kehilangan anak sulungnya itu, ibuku mulai merosot dan menurun kesehatannya. Ia mudah jatuh sakit. Kami tidak tega melihat kondisi ibu seperti itu.

Kami bilang, “Sudahlah ikhlaskan saja”.

Saya pernah mencoba mendekati ayahku dan bertanya mengapa ibu begitu berat untuk menerima kehilangan kakakku?

Ayahku menjawab begini, “Dulu saat kami menikah, tidak begitu mudah ibumu untuk hamil. Ada 10 tahun lebih kami berdua tidak diberi anak oleh Tuhan. Saat itu adalah saat yg paling “gelap” dalam hidup perkawinan kami.

Kami terus berharap dan terus berdoa setiap hari. Kadang hidup di tengah berharap dan berdoa yang tak kunjung terkabul itu, ibumu menangis dan berkata, “Kita berdua ini jodoh apes, anak yatim ketemu anak yatim dan cepat atau lambat kita akan mati tanpa meninggalkan keturunan.”

Berkat ketekunan mereka berdua berharap dan berdoa, akhirnya Tuhan memberikan mereka berdua 13 orang anak. Tuhan tidak lagi memberi dengan jumlah yang sedikit tetapi memberi dengan jumlah yang banyak.

Credo” yang berlaku zaman itu, ya… banyak anak banyak rezeki. Untuk zaman ini, mungkin lain “credo-nya”. Banyak anak, ya… banyak pengeluaran kebutuhan. Bahkan banyak keributan dan kesusahan.

Saat mendapati kami semua, ibu begitu bahagia. Senada dengan pengalaman sukacita Sara yang sempat frustrasi karena merasa mandul, tetapi begitu Allah membuka rahimnya, Dia berkata, “Allah telah membuat aku tertawa; setiap orang yang mendengarnya akan tertawa karena aku.”

Lagi katanya: “Siapakah tadinya yang dapat mengatakan kepada Abraham: Sara menyusui anak? Namun aku telah melahirkan seorang anak laki-laki baginya pada masa tuanya.” (Kej 21:6-7).

Saat mendapati kami inilah, saat di mana Allah mengambil semua air mata dan beban-beban hidup yang dipikul oleh orang tua kami.

Itulah saat Allah berkata, “Ibu, jangan menangis lagi.”

Di Injil hari ini, kita bisa mengamati dan menemukan kembali seruan Allah itu. Kita bisa temukan seruan itu dalam pengalaman seorang ibu janda yang kehilangan anak satu-satunya. Kehilangan anak baginya adalah kehilangan pegangan dan sandaran hidup.

Bahkan bagi dia kehilangan seorang anak adalah kehilangan segala-galanya.

Saat kehilangan sebagai kehabisan total dalam hidupnya itu, dia benar-benar merasa hidup dalam “kegelapan”.

Tetangganya cuma bisa memberikan penghiburan psikologi dan rohani di bagian permukaan hidupnya. Akan tetapi, rasa sakit yang tidak bisa disentuh dan bersuara dalam hatinya, itu yang tidak mudah diobati.

Tangisannya yang terurai ke publik adalah rintihan dan bentuk “perlawanannya” dalam menuntut perasan ketidakadilan yang menimpa atas hidupnya.

Namun, saat di mana dia sudah kehabisan airmata untuk meratap dan menangis penderitaanya, saat itulah dia bertemu dengan sosok yang bisa menghapus total air matanya yaitu, Tuhan Yesus.

Kata Tuhan Yesus, “Jangan menangis.”

Beban hidup dan air mata dalam hidupmu tidak saja Aku hapus tetapi Aku ambil”. Inilah seruan yang menghidupkan kembali semangat hidupnya.

Melalui dan dalam kata-kata itulah, si ibu mendapati kembali anaknya yang mati dan kini hidup kembali.

Betul kata orang bijak dalam Tuhan Yesus, “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya.” (Mat 12:20).

Refleksi: “Coba amati kembali jejak dalam hidup kita, di mana Allah berkata, “Jangan menangis.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here