DALAM mengikuti berita Bapa Suci Francisco, saya membaca buku Sergio Rubín, El Jesuita. Conversaciones con el cardenal Jorge Borgoglio S J, Buenos Aires, 2010. Ini saya ceritakan ulang sepotong kisah perjalanan panggilan beliau.
Saya ambil dari Bab IV, “La primavera de la fe”: “mangsa tuwuh semining pengandel” – saat tumbuhnya iman – hlm. 45-50.
Ketika itu beliau berusia 17 tahun. Ini usia para pelajar untuk merayakan bersama teman-temannya hari mahasiswa. Beliau juga ada rencana merayakan hari tersebut bersama teman-teman dan akan bertemu di stasiun. Tetapi sebelumnya dia mampir di gereja paroki dan bertemu dengan seorang pastur yang tidak dia kenal sebelumnya. Dia memang sering ke gereja paroki tersebut.
Dirasakannya suasana rohani dalam perjumpaan itu dan selanjutnya beliau terdorong untuk mengaku dosa. Dia sendiri terkejut mengalami hal tersebut dan akhirnya bukan sebuah pengakuan, kecuali mengaku bahwa imannya hampir luntur. Tetapi saat itu pula dia merasakan panggilan religius dan memutuskan untuk tidak pergi ke stasiun kereta bertemu teman-temannya.
Beliau memilih pulang dengan keyakinan: saya mau menjadi imam.
“Pengalaman pengakuan ini itu rasanya aneh. Saya tidak tahu mengapa dan bagaimana, tetapi itulah yang terjadi”, demikian buku itu mencoba memahami dan menjelaskan.
Digambarkan pengalaman tersebut sebagai pengalaman keterkejutan dan sangat mengagetkan seperti orang pingsan ketemu seseorang yang di sana seseorang itu sedang menantinya.
Selanjutnya diakui bahwa dalam pengalaman macam ini Tuhan selalu yang pertama beraksi.
Menanggapi pengalaman tersebut beliau tidak langsung masuk ke Seminari. Dibiarkan tersembunyi dan mengalami kesunyian pasif memelihara keinginannya. Beliau melanjutkan dengan bekerja di laboratorium penelitian makanan.
Kisah panggilannya seakan berhenti di situ. Tidak bercerita kepada siapa pun. Di sini beliau merasa belajar hidup sunyi memelihara gerakan hati. Dan akhirnya empat tahun kemudian, ketika berusia 21 tahun masuk seminari.
Menjadi Jesuit
Saat ditanyai mengapa beliau masuk Jesuit, beliau mengingat bahwa pada mulanya orientasi panggilan religius belum jelas. Lalu masuk seminari keuskupan dan baru setelah itu bergabung dengan Serikat Yesus.
Hal yang menarik dari Serikat menurut beliau waktu itu adalah keberadaannya sebagai kekuatan Gereja, berbahasa dalam gaya militer serta berkembang oleh ketaatan dan disiplin.
Beliau juga tertarik menjadi misionaris di Jepang, tetapi karena kondisi kesehatan buruk sejak muda tidak memungkinkan menjadi misionaris.
Mengenai tanggapan keluarga dikisahkan bahwa ayahnya berpendapat positif dan gembira. Hanya ada komentar dengan menanyakan apakah sudah benar-benar mantab keputusannya.
Berbeda tanggapan sang ibu.
Ibunya berkata, “Saya tidak tahu. Saya tidak melihat itu. Kamu itu sulung. Mesti terus bekerja. Menyelesaikan perguruan tinggi”.
Beliau memahami reaksi kedua orang tuanya. Menurut beliau sang ayah memiliki tradisi kerohanian yang kuat dari ibunya (mbah puteri Bapa Suci) dan hidup dengan gembira meski dalam kesulitan. Sementara dalam hal ini ibu lebih merasa kehilangan. Karena itu ketika masuk Seminari sang ibu tidak mau menemani, tidak ikut pergi.
Selama beberapa tahun sang ibu tidak menerima keputusan Jorge. Tetapi diitambahkan oleh beliau bahwa hal itu tidak berarti ada pertengkaran dengan ibu. Cuma ibunya tidak ikut pergi ke Seminari. Dirasakan saat akhirnya menerima keputusan pun masih terasa ada jarak.
Sikap ibu dirasakan berubah saat di Novisiat. Sang ibu mengunjungi Jorge, anaknya. Menurut beliau sebenarnya ibu katolik tulen. Beliau ingat dan sangat terkesan bahwa ketika tahbisan ibunya berlutut meminta berkat.
Di si ni Sergio Rubín, pewancara menambahkan, “Seakan dia bukan miliknya lagi).
Tentang panggilannya beliau juga bercerita kepada neneknya.
Komentar neneknya, “Itu panggilan Tuhan. Tuham memberkati”. Lanjutnya, “Tetapi jangan lupa, pintu rumah tetap terbuka, dan kalau memutuskan pulang tak seorang pun akan mengejekmu”.
Beliau merasakan sikap nenek tersebut ternyata mempengaruhi cara beliau bersikap terhadap orang yang memiliki pengalaman rohani dan panggilan religius.
Ada jarak empat tahun antara suara yang memanggil dari dalam dan peristiwa masuk Seminari. Beliau sendiri mengakui bahwa meskipun berasal dari keluarganya katolik tulen (practicante) pikirannya tidak hanya terpaku pada panggilan religius. Beliau juga merasakan kegelisahan politik meski tidak sampai mengisi seluruh pikirannya. Beliau membaca buku keluargan partai komunis, Nuestra palabra y propósitos. Menyukai artikel-artikel dalam buku tersebut dan bacaan tersebut mengingatkan dirinya akan budayawan Argentina Leónidas Barletta yang mempengaruhi pandangan politiknya. Tetapi beliau tidak pernah menjadi anggota partai komunis.
Misericordiendo y elegiendo
Masih mengenai riwayat panggilan, ditanyakan juga hal mengenai sejauh mana panggilan itu merupakan keputusan pribadi dan pilihan Tuhan. Menurut beliau panggilan religius merupakan panggilan Tuhan bagi hati yang sedang menanti entah sadar atau tidak. Dalam hal ini beliau selalu terkesan oleh bacaan brevir tentang panggilan Mateus. Dikatakan bahwa Yesus memandang Mateus dengan suatu sikap yang bisa diterjemahkan “dengan belas kasih – dengan mengasihi dan memilih” (misericordiendo y elegiendo).
Ungakapan ini beliau pilih untuk tagline tahbisan uskup. Disadarinya itulah pengalaman Tuhan memandanginya dalam pengalaman pengakuan di usia 17 tahun. “Ini pula cara yang Tuhan minta kepada saya, yaitu supaya memandang orang lain dengan penuh kasih dan seakan-akan saya sedang memilih orang-orang untuk Tuhan sendiri. Dan ini tidak mengecualikan siapa pun karena semua dipilih untuk dikasihi Tuhan. Beliau menegaskan bahwa hal itu kunci pengalaman rohaninya”.
Tentang panggilan, beliau juga menggaris bawahi Tuhan sebagai yang pertama memulai. Dengan merujuk ke Yeremia (bab 1) dan Yohanes (1Yohanes 4:10) beliau menjelaskan bahwa Allah selalu bertindak lebih dulu; Allah lebih dulu mencintai.
Menurut beliau pengalaman rohani tanpa rasa tersentuh, terkejut bahkan hampir pingsan, tanpa kasih menjadi dingin dan tidak menggerakkan diri kita untuk melibatinya secara total. Pengalaman rohani macam ini menjadi mengalaman rohani yang berjarak serta tidak membawa ke wilayah Tuhan. Ditegaskan bahwa kita semua sepakat tentang sulitnya masuk ke wilayah transcenden oleh karena hidup yang bikin pusing, perubahan begitu cepat dan kurang memandang dalam perspektif jangka panjang.
Karena itu bagaimana pun juga pengalaman rohani untuk undur diri itu penting. Beliau terkesan oleh komentar Ricardo Gϋiraldes dalam Don Segundo Sombra bahwa hidupnya ditandai oleh air. Saat dirinya sebagai anak muda, di aliran sungai melompat dari batu ke batu; saat menjadi dewasa, di air dengan tekanan deras dan ketika tua, perlu banyak undur diri.
Ketika ditanyakan maksud undur diri dan bagaimana dibangun, beliau menunjuk retret. Retret merupakan undur diri yang dirancang dan di sana ritme harian dibuat berhenti lalu ada kesempatan berdoa. Tetapi, lanjutnya, bukan model retret mendengarkan kaset untuk mencari stimulasi supaya bisa memperoleh jawaban-jawaban sesaat. Model seperti ini tidak banyak bermanfaat untuk menenangkan dan menjernihkan batin. Menurut beliau perjumpaan dengan Tuhan mesti muncul dari dalam. Menempatkan di hadirat Tuhan dengan bantuan Kitab Suci dan berjalan maju mengikuti yang Tuhan kehendaki. Yang ada di balik ini adalah pertanyaan mengenai doa yang mesti didekati dengan jiwa besar.
Pertanyaan mengenai penyebab kurangnya waktu undur diri apakah kekurangan waktu atau orang mulai tidak menyadari kebutuhan rohani ditanggapi dengan menunjuk yang kedua. Melunturnya kesadaran akan kebutuhan rohani. Ditegaskan bahwa kita sering kurang menyadari kebutuhan akan hal yang rohani ibaratnya hingga akhirnya menginjak kulit pisang bosok dan terpeleset jatuh.
Salam dan saling doa. Mari kita terus mendukung Bapa Suci dengan doa-doa dan membuka diri terhadap inspirasi serta teladan-teladannya.
Leo Sardi SJ di Spanyol