Jumat 26 Mei 2023
- Kis. 25:13-21
- Maz. 103:1-2,11-12,19-20b
SETIAP kita tentu berhak untuk mencintai dan dicintai.
Yoh. 21:15-19
Kemampuan mencintai adalah kemampuan untuk menaruh rasa empati terhadap orang lain. Mampu merasakan apa saja yang dialami oleh orang lain, baik dalam suka atau pun duka.
Cinta itu tidak egois, tidak memaksakan kehendak sendiri dan juga tidak menyombongkan diri. Mencintai adalah kata yang mudah diucapkan, apalagi dalam kondisi baik dan ideal. Kemurnian cinta kasih kita pada sesama baru tampak jelas, manakala kita menemukan sesama yang tidak sesuai dengan pikiran dan harapan kita.
Ketika sesama dalam situasi yang diwarnai kesulitan, penderitaan, kesedihan, rasa sakit, kekecewaan dan kegelisahan. Dalam situasi negatif seperti itulah komitmen dan cinta kita itu diuji.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
“Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: “Apakah engkau mengasihi Aku?”
Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.”
Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
Perintah Yesus kepada Petrus, “Gembalakanlah domba-domba-Ku,” merupakan sebuah perintah yang dapat dilakukan jikalau kasih dan komitmen dapat dengan sungguh dipegang oleh Petrus.
Jawaban Petrus menunjukkan kasihnya dan komitmennya kepada Yesus.
Jawaban Petrus menunjukkan bahwa dia telah berubah bukan lagi Petrus yang menyangkal Yesus, namun kali ini, Petrus yang lebih mendengar dan mengikuti kehendak Tuhan.
Yesus memberikannya perintah untuk menggembalakan komunitas iman yang adalah domba-domba Yesus.
Penggembalaan yang dimaksud adalah kesediaan Petrus untuk memberikan seluruh hidupnya, bahkan jika perlu mati untuk memelihara domba-domba Yesus, sebagaimana Yesus pun telah mati untuk domba-domba-Nya.
Cinta dan kasih kepada Allah, bukan sekedar terwujud dalam ketekunan dan kesetiaan dalam hidup doa dan berserah diri, namun juga terwujud dalam kesetiaan dalam berusaha dan perjuangan dalam mencinta sesama.
Bagaimana ketika di tengah situasi sulit, kita tetap mencintai Allah yang ada dalam diri sesama kita.
Ssperti Petrus kita pun dipanggil mengasihi sesama bukan semata karena diri manusiawinya, namun karena mereka milik Allah dan Allah juga hadir di dalam diri mereka.
Bagaimana dengan diriku?
Ketika melihat orang yang menderita dan sedang berkekurangan, apakah aku sanggup berbagi? Atau aku hanya memilih sebagai penonton atas derita mereka?