KITA hidup di tengah situasi sosial yang semakin menyayat nurani. Harga kebutuhan pokok melonjak, tetapi pendapatan rakyat kecil tetap stagnan. Seperti dicatat oleh Rezki, et al. (2025), daya beli masyarakat terus melemah, menyebabkan konsumsi rumahtangga turun drastis dan kontribusinya terhadap ekonomi nasional ikut merosot.
Ironisnya, di tengah himpitan ekonomi itu, praktik korupsi justru semakin dimaklumi. Dalam laporan Kartel Politik (2025), muncul wacana memaafkan koruptor hanya dengan mengembalikan uang negara – sebuah bentuk pelecehan terhadap keadilan dan moral publik. Hukum pun tampak hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Jutaan warga kehilangan pekerjaan, sementara inflasi pangan menghantam dapur rakyat kecil (Sayekti & Sari, 2025). Mereka yang bekerja keras, antrI minyak dan beras, berjuang hidup dari hari ke hari, seolah tidak lagi menjadi prioritas dalam arah kebijakan publik. Padahal, seperti kata para nabi, suara mereka adalah suara Tuhan yang menanti dijawab oleh hati nurani kita.
Oscar Romero, “nabi” El Salvador di zaman modern
Uskup Agung Mgr. Oscar Arnulfo Romero lahir15 Agustus 1917 di Ciudad Barrios, El Salvador. Ia ditahbiskan menjadi imam tahun 1942 dan dikenal sebagai sosok konservatif dan patuh pada hierarki Gereja. Namun segalanya berubah, ketika sahabatnya, Pastor Rutilio Grande -seorang imam Jesuit yang membela petani miskin- dibunuh secara brutal oleh rezim militer El Salvador.
Peristiwa itu menjadi titik balik bagi Romero. Ia sadar bahwa Injil bukan hanya tentang keselamatan jiwa, tetapi juga tentang keadilan sosial dan pembelaan terhadap yang tertindas. Sejak saat itu, Romero menggunakan mimbar sebagai alat perjuangan: menegur keras kekuasaan yang lalim, menyebut pelaku kekerasan secara langsung, dan dengan lantang membela mereka yang tak bersuara (Koten et al., 2023).
Ia menolak fasilitas dan perlindungan negara, hidup sederhana di tengah rakyat, dan menolak tinggal di rumah dinas keuskupan. Khotbah-khotbah minggunya yang disiarkan melalui radio menjadi satu-satunya suara kebenaran di tengah gelapnya rezim militer El Salvador. Ia tahu risikonya, tetapi memilih tetap setia.
Pada 24 Maret 1980, saat memimpin perayaan ekaristi di Kapel Rumah Sakit Divina Providencia, sebuah peluru menembus tubuhnya tepat saat ia mengangkat Tubuh Kristus. Darahnya membasahi altar – tanda kesetiaan tertinggi seorang gembala yang tidak meninggalkan domba-dombanya.
Spiritualitas dan profetisme yang hidup
Romero bukan hanya imam, ia adalah saksi kenabian. Imannya tak diam dalam keheningan, tapi bergerak dalam keberanian. Ia menemukan kekuatan dalam Ekaristi dan doa, tetapi juga menjadikan iman sebagai dasar tindakan.
Kalimat terkenalnya, “Jika mereka membunuh saya, saya akan bangkit dalam rakyat El Salvador,” bukan sekadar retorika, melainkan buah dari iman yang teruji.
Romero menunjukkan bahwa kesalehan tidak bertentangan dengan perjuangan sosial. Justru dari keheningan batin, lahirlah keberanian untuk berkata benar. Ia tidak memanfaatkan agama untuk menghindar dari realitas, tetapi menjadikannya sumber energi moral dalam menegakkan keadilan.
Relevansi Romero untuk Indonesia Hari Ini
Kita butuh lebih banyak pemimpin seperti Romero -baik di ruang Gereja maupun dalam ranah politik. Di Indonesia, banyak janji politik terdengar manis di atas kertas, namun pelaksanaannya jauh dari harapan.
Program-program seperti makan bergizi gratis dan renovasi sekolah, menurut Rezki (2025), masih bermasalah dalam distribusi, koordinasi, dan rentan dipolitisasi.
Uskup Romero mengajarkan bahwa jabatan bukanlah alat meraih keuntungan, melainkan sarana pelayanan sejati. Ia setia pada suara Injil, bukan suara kekuasaan. Sikap ini sangat relevan di tengah budaya kompromi dan kepentingan pragmatis yang menjangkiti kepemimpinan hari ini.
Suara Tuhan dalam bangsa yang luka
Tulisan ini bukan sekadar penghormatan bagi Romero, tetapi undangan untuk berefleksi: apakah kita masih mendengar suara kaum miskin yang terluka? Apakah hati nurani kita masih terusik oleh ketidakadilan yang terjadi di sekitar?
Romero hidup dalam tekanan dan ancaman, namun tidak mundur. Ia berdiri tegak bukan karena kuat, tetapi karena setia. Ia melihat wajah Kristus dalam wajah rakyat kecil. Ia mengubah mimbar menjadi ruang perjuangan, dan altar menjadi medan keberanian.
Hari-hari ini, darah kaum miskin masih menangis – bukan hanya karena lapar, tetapi karena dilupakan. Mereka menjerit, namun terlalu banyak pemimpin memilih diam. Maka, kita semua dipanggil bukan untuk menjadi Romero, tetapi untuk mewarisi nyalinya: berani bersuara, berani menolak kompromi, dan berani membela kebenaran.
Iman sejati bukan sekadar ritual, tetapi keberpihakan pada martabat manusia. Dan di tengah bangsa yang terluka ini, Tuhan masih berseru. Pertanyaannya: masihkah kita punya nyali untuk menjawab-Nya?